OPINI
Pendaftaran dan Sertifikat, Solusikah untuk Tanah Ulayat?
Oleh. Rina Herlina
Mahyeldi selaku Gubernur Sumatera Barat, baru-baru ini mendapat penghargaan nasional. Dia diganjar penghargaan atas dukungannya dalam pendaftaran tanah ulayat di Sumbar. Penghargaan tersebut diberikan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanian Nasional (ATR/BTN) di The Trans Luxury Hotel Bandung. Kedepannya, tanah ulayat akan memiliki kepastian hukum yang diyakini bisa meminimalisir sengketa dan konflik (padek.jawapos.com, 09/09/2024).
Persoalan tanah ulayat masih sering menimbulkan sengketa dan konflik di berbagai daerah Indonesia, khususnya Sumbar. Menurut Wikipedia, tanah ulayat adalah tanah yang dimiliki secara bersama oleh masyarakat adat, yang hak penguasaannya disebut hak ulayat. Tanah tersebut meliputi tanah, air, tumbuhan liar, dan binatang liar yang hidup di hutan.
Beberapa Pemicu Persoalan Tanah Ulayat
Beberapa persoalan yang sering terjadi pada tanah ulayat di Indonesia adalah karena penggunaan tanah ulayat oleh investor yang tidak sesuai dengan aturan. Investor kerap mendapatkan tanah ulayat langsung dari pemerintah, tanpa berhadapan langsung dengan pemilik tanah atau masyarakat adat.
Pembagian tanah ulayat yang dilakukan tanpa adanya dokumen tertulis, seperti sertifikat atau akta kepemilikan tanah, juga bisa menimbulkan persoalan. Tanda-tanda pembagian tanah ulayat yang hanya berupa pagar bisa rusak bahkan hilang, sehingga menimbulkan klaim dan penyerobotan tanah ulayat oleh segelintir orang. Parahnya, tanah bekas ulayat juga seringkali diklaim menjadi tanah milik negara. Tanah bekas ulayat yang tidak lagi menjadi hak masyarakat hukum adat secara otomatis dikuasai oleh negara. Hal inilah yang seringkali menimbulkan sengketa lahan di beberapa daerah di tanah air.
Sementara, untuk diakui sebagai hak ulayat, tanah ulayat tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- masyarakat hukum adat masih ada,
- sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,
- tidak boleh bertentangan dengan peraturan dan undang-undang yang lebih tinggi.
Pertanyaannya sekarang, dengan adanya program pendaftaran tanah ulayat dan diberikan sertifikat oleh pemerintah, apakah benar-benar bisa menjadi solusi atau ini justru akal-akalan pemerintah agar bisa dengan mudah menguasai tanah-tanah ulayat untuk kemudian dijadikan ladang investasi?
Seperti kita ketahui bersama, bahwa dalam sistem demokrasi segala sesuatunya adalah keniscayaan. Ini karena orientasi penguasa bukan kesejahteraan rakyat tapi kesejahteraan untuk segelintir orang. Dalam sistem kapitalisme demokrasi, rakyat tidak akan pernah menjadi prioritas. Apalagi ada wacana pembuatan sertifikat untuk pendaftaran tanah ulayat secara online, yang jika dikaji secara mendalam itu justru bisa memudahkan pemerintah dalam mendata sekaligus mendeteksi luas dan banyaknya tanah ulayat yang tersebar di tengah masyarakat. Betapa pemerintah sudah mempersiapkan dengan matang rencana-rencananya. Hal tersebut dibuat seolah-olah untuk kepentingan rakyat, padahal selalu ada udang dibalik batu.
Islam Memandang
Dalam hukum Islam, kepemilikan tanah/lahan oleh manusia dianggap sebagai titipan sementara yang harus dijaga amanahnya, dan digunakan sesuai dengan aturan-aturan sunatullah. Sementara itu, tanah ulayat adalah tanah yang dimiliki secara komunal oleh masyarakat adat. Islam memiliki pandangan khusus tentang lahan. Hukum kepemilikan lahan mengikuti status kepemilikan secara umum dalam syariat Islam, yakni kepemilikan pribadi, kepemilikan umum, dan kepemilikan oleh negara (daulah).
Syariat Islam mengizinkan individu muslim atau orang kafir untuk memiliki lahan. Misalnya untuk keperluan tempat tinggal, usaha, ataupun pertanian. Dalam syariat, surat kepemilikan tanah tidak menjadi penentu kepemilikan lahan, akan tetapi untuk menghidupkannya bisa dengan cara seperti mematoknya atau mengelolanya di atas lahan yang memang tidak ada pemiliknya.
Ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, tanah ulayat termasuk kepemilikan komunitas tertentu, sehingga sama dengan kepemilikan pribadi pada umumnya seperti lahan yang diperoleh dengan patungan, atau bangunan yang didirikan dari hasil syirkah. Maka, berlakulah hukum-hukum kepemilikan lahan pribadi pada tanah tersebut. Wajib bagi warga yang memiliki tanah tersebut untuk mengelolanya seperti bercocok tanam atau didirikan bangunan, dan sebagainya.
Jika pada tanah ulayat itu ternyata ada hajat bersama bagi masyarakat seperti ladang gembalaan, hutan, mata air untuk kepentingan bersama, maka status tanah tersebut adalah menjadi kepemilikan umum. Sebagaimana hadis:
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram." (HR. Ibnu Majah).
Maka, negara maupun individu tidak boleh menguasai lahan yang menjadi kepemilikan umum karena memang sifat yang melekat pada tanah itu adalah menjadi hajat bersama masyarakat. Haram hukumnya bagi negara menguasai lahan tersebut atau memberikannya kepada investor.
Wallahuallam bissawab. [An]
0 Comments: