Headlines
Loading...
Oleh. Ratty S Leman

Di era kapitalistik sekarang ini, semua dieksploitasi. Baik sumberdaya alamnya (SDA) maupun sumberdaya manusia (SDM). Manusia dan alam dianggap sama dan setara. Mereka dianggap berguna jika bisa memutar roda industri. Mereka adalah gerigi yang sama dan sederajat yang harus bersama-sama bergerak untuk memutar roda perekonomian demi menghasilkan kapital. 

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, mengungkapkan program Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang ada di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) rentan menjadi modus eksploitasi pekerja anak. Ai mengatakan banyak aduan yang masuk ke KPAI soal pelanggaran dari perusahaan yang memanfaatkan program PKL untuk mempekerjakan anak di luar kapasitas mereka. Ia memberi contoh pada 2022, sebuah hotel bintang 4 di Kota Bekasi, Jawa Barat, memanfaatkan program PKL untuk mempekerjakan anak di bawah umur.(Tempo.co, 9/10/2024)

Sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja berkedok magang di Jerman, pada Oktober hingga Desember 2023. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko mengungkapkan, pihak kepolisian tengah menyelidiki dugaan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tersebut (Kompas.com, 25/3/2024)

Kedua fakta di atas cukup membuat miris dan kekhawatiran kita semua sebagai orangtua terhadap nasib anak-anak kita yang sedang mendapat tugas magang dari sekolah atau perguruan tinggi tempat mereka mencari ilmu. Di satu sisi orangtua ingin agar anak mereka mempunyai ilmu dan ketrampilan hidup, di sisi lain pihak perusahaan memanfaatkan sumberdaya manusia ini dengan cara dieksploitasi. 

Program magang atau PKL (Praktek Kerja Lapang) baik pada pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Pendidikan Tinggi (Universitas, Politeknik, Institut) adalah program untuk menambah ketrampilan dengan cara magang pada sebuah perusahaan. Adanya program ini adalah  konsekuensi dari adanya sekolah vokasi  (tingkat menengah ataupun pada pendidikan tinggi yang merupakan realisasi 'link' dan 'match' dunia pendidikan dengan dunia industri (DUDI).

Dalam sistem kapitalisme, program ini rawan menjadi sarana eksploitasi pelajar dan mahasiswa oleh perusahaan karena mengejar keuntungan. Berbagai bentuk eksploitasi yang dapat terjadi adalah beban kerja yang tinggi, jam kerja 'overtime', tanpa gaji, tanpa jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya. 

Ini semua adalah dampak dari kapitalisasi pendidikan. Kapitalisme juga mengakibatkan hubungan antara perusahaan dan sekolah sebagai hubungan yang saling menguntungkan, namun merugikan peserta didik. Tujuan sekolah di sistem kapitalis adalah untuk mencari pekerjaan. Hal ini sangat berbeda dengan tujuan pendidikan di dalam Islam yakni untuk menjadikan peserta didik bersyakhsiyah Islam (berkepribadian Islam). Masalah mendapatkan pekerjaan menjadi mudah karena negara membekali peserta didik dengan ilmu dan ketrampilan hidup. Bahkan negara membuka banyak lapangan pekerjaan untuk semua rakyat yang membutuhkan pekerjaan. 

Eksploitasi tenaga terdidik demi pabrik atau perusahaan menimbulkan keresahan semua pihak, terutama peserta didik dan orangtuanya. Namun sistem kapitalistik hari ini tidak dapat memberi solusi. Justru merekah biang keladi munculnya masalah eksploitasi tenaga terdidik ini. Pelajar dan mahasiswa dimanfaatkan ilmu dan tenaganya tanpa upah yang jelas dan memadai. Semata-mata demi mendapatkan nilai di sekolah dan di kuliah mereka berkorban waktu, tenaga, pikiran, dana, dan lain-lainnya. 

Di dalam sistem pendidikan Islam, negara menyelenggarakan pendidikan untuk mencetak sumberdaya manusia (SDM) yang berkepribadian Islam (bersyakhsiyah Islami). Mereka adalah pemuda-pemudi yang unggul, agen perubahan, terampil dan berjiwa pemimpin yang akan membangun peradaban yang mulia.

Pelajar dan mahasiswa dididik dari tingkat dasar hingga sampai ke perguruan tinggi semata-mata untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan amal terbaik setelah mendapatkan ilmu. Ilmu dan ketrampilan mereka maksimalkan untuk beribadah kepada Allah, berguna bagi manusia, berkontribusi memelihara alam semesta, dan bermanfaat untuk kehidupan. 

Tujuan pendidikan di dalam Islam bernilai tinggi, yakni generasi yang berkepribadian Islam (bersyakhsiyah Islami). Generasi yang berkepribadian Islam adalah generasi yang pola berpikir dan pola perasaannya dibangun atas dasar nilai-nilai Islam. Akalnya dididik sesuai tujuan penciptaan manusia, dan perasaannya dijaga agar sesuai fitrah manusia. Generasi yang lahir dari sistem pendidikan Islam akan menjadi generasi yang akan membangun peradaban mulia dengan iman, ilmu, dan amal. 

Hal tersebut akan sangat berbeda jika negara menerapkan sistem kapitalisme seperti saat ini. Akibat keinginan perusahaan untuk melakukan pengorbanan yang sekecil-kecilnya demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Maka terjadilah liberalisasi, bebas semaunya ingin melakukan apa-apa termasuk eksploitasi terhadap pelajar dan mahasiswa.  

Di dalam sistem Islam, negara akan memfasilitasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mencetak sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas dan terampil. Hal ini akan mudah diwujudkan karena negara dalam sistem Islam memiliki sumber daya untuk membiayai semuanya, tanpa harus tergantung kepada pihak lain. 

Sistem ekonomi Islam akan menjadi pedoman dalam mengatur anggaran negara. Kalaupun ada kebutuhan, negara akan bekerjasama dengan pihak lain. Maka tidak akan terjadi penyalahgunaan program magang atau Praktek Kerja Lapang (PKL) yang merugikan peserta didik baik pelajar dan mahasiswa. Sistem pendidikan, sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem sosial akan bersinergi untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan semua warganya baik yang muslim maupun non muslim. [My]

Baca juga:

0 Comments: