Headlines
Loading...
Oleh. Dira Fikri

Setiap 5 Oktober diperingati sebagai Hari Guru Internasional atau World's Teacher Day. Peringatan ini sudah dimulai sejak 1994 dalam rangka memperingati penandatanganan Rekomendasi UNESCO/ILO 1966 tentang Status Guru. Rekomendasi tersebut menetapkan hak serta tanggung jawab guru dan standar internasional untuk persiapan awal dan pendidikan lanjutan mereka sebagai pengajar. Guru yang dimaksud bermakna semua pengajar di sekolah baik umum maupun privat yang bertanggung jawab untuk pendidikan murid. Sedang pendidikan yang dimaksud oleh UNESCO adalah dalam rangka untuk membangun perdamaian, memberantas kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan.

Tema hari guru tahun ini adalah 'Valuing teacher voices: towards a new social contract for education' (menghargai suara guru: menuju kontrak sosial baru untuk pendidikan). Tema tersebut dipilih untuk menyoroti pentingnya ‘suara’ seorang guru. Hal ini dimaksudkan agar guru bisa memberikan pembinaan dan memanfaatkan potensi terbaik dari setiap anak didiknya. Begitu pentingnya peran guru justru berkebalikan dengan fakta di Indonesia. Gaji guru yang belum bisa merata menyejahterakan, kurikulum yang membingungkan, anak didik yang jauh dari harapan, serta infrastruktur pendidikan yang tidak merata.

Guru honorer terutama masih terbelit dengan masalah kesejahteraan karena gaji yang tidak bisa memenuhi kebutuhan. Tak jarang honorer masih harus mengambil pekerjaan sambilan yang berakibat kurang fokusnya guru untuk mengajar. Jika guru sejahtera, dia akan fokus untuk meningkatkan kompetensi tanpa dibayangi kesulitan ekonomi. Terus bergantinya kurikulum juga mengharuskan guru beradaptasi. Belum adanya titik temu masalah kurikulum karena belum tampak hasilnya terhadap perbaikan bagi peserta didik.

Kualitas karakter generasi semakin mengalami degradasi. Dari sisi akademik, Indonesia masih menempati peringkat PISA di posisi 66 dari 81 negara di tahun 2022 atau 15 terendah di dunia. Dari sisi moralitas pun juga tak kalah miris. Menurut BPS, tahun 2020 saja kasus kenakalan remaja mencapai 12.944,47 kasus dari 233 juta penduduk Indonesia. Masifnya penggunaan media sosial yang tidak diimbangi oleh edukasi juga turut meningkatkan angka tersebut. Ketimpangan fasilitas pendidikan juga sangat nyata. Masih banyak berita sekolah ambruk dan tidak layak. Kesenjangan fasilitas juga terjadi antara sekolah swasta dengan biaya mahal dan sekolah negeri.

Guru adalah tempat di mana murid itu dibentuk. Baik secara moral maupun akademik. Meski orang tua adalah sekolah pertama bagi anak-anak, namun pentingnya peran guru juga sangat penting dalam menentukan masa depan pendidikan. SDM yang unggul dan berkualitas bisa dihasilkan salah satunya karena peran guru. Oleh karena itu, dalam Islam sektor pendidikan menjadi salah satu yang penting. Tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan peserta didik memiliki syakhsiyah Islam sehingga dasar pendidikan Islam bertumpu pada akidah Islam.

Guru memiliki peran untuk menggabungkan ilmu dan iman untuk membentuk generasi yang bersyakhsiyah. Hal ini menuntut guru tidak hanya mampu untuk mengajar dengan baik, namun juga harus memiliki dua kompetensi nilai yaitu memiliki kepribadian yang mulia dan profesionalitas sebagai pendidik dan ini sekaligus menjadi peran strategis guru baik hari ini maupun nanti.

Namun sistem kapitalisme telah membajak peran mulia tersebut. Peran guru di dalam Islam yang berfokus untuk membangun peradaban Islam secara struktural dan fundamental menjadi berubah. Sedang kapitalisme memandang guru hanya sebagai salah satu faktor produksi saja. Tak heran penghargaan terhadap guru masih sangat kecil. Pemerataan gaji guru hingga saat ini masih menjadi polemik yang tak berujung. Tak hanya itu, jati diri guru juga ikut tergerus akibat sekularisme sehingga tega melakukan kekerasan terhadap peserta didik baik fisik maupun seksual, bahkan ada yang meregang nyawa.

Islam dengan sistem pendidikan Islam akan mampu menghasilkan guru yang berkualitas. Islam menempatkan guru sebagai salah satu pilar peradaban dan penggerak perubahan. Sejarah telah mencatat bagaimana sistem Khilafah memberikan penghargaan kepada para cendekiawan dan ilmuwan atas dedikasinya mengabdikan diri untuk kemaslahatan umat. Sehingga menghasilkan generasi yang bukan berorientasi materi, namun menjadikan generasi tangguh yang bersyakhsiyah Islam sekaligus ahli di bidang keilmuan masing-masing.

Hal ini tidak lepas dari kebijakan yang diterapkan di dalam sistem Khilafah, antara lain: pertama, kurikulum yang diterapkan adalah berlandaskan akidah Islam. Antara materi dan apa yang diterapkan dalam kehidupan tidak bertentangan sehingga tujuan dan konsep kurikulum menjadi jelas dan tidak bergonta-ganti. Kedua, terdapat pengaturan yang jelas dalam memfasilitasi guru dalam mendidik. Negara akan memberikan fasilitas pendidikan di semua jenjang dengan fasilitas terbaik. Seperti perpustakaan, laboratorium, serta pelatihan guru untuk meningkatkan kompetensi. Sekolah diatur bukan menjadi pelaku usaha, sehingga tidak akan ada kesenjangan karena adanya jual beli bangku antar peserta didik. Ketiga, negara memberikan tunjangan yang cukup untuk guru. Hal ini dimaksudkan agar guru mampu memenuhi kebutuhan ekonominya dan bisa fokus untuk mendidik generasi. 

Ketiga aspek tersebut hanya bisa didapatkan jika diterapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam sistem negara. Hal ini karena dalam sistem Islam tidak menjadikan asas materi sebagai pembangun sistem pendidikan. Sehingga pendidikan yang maksimal dari sisi infrastruktur, kurikulum, dan pembiayaan lainnya akan terwujud. Wallahualam. [Ni] 

Baca juga:

0 Comments: