Headlines
Loading...
Kontradiksi Data Kepuasan Publik: Menyoal Upaya Pencitraan di Tengah Problem Struktural

Kontradiksi Data Kepuasan Publik: Menyoal Upaya Pencitraan di Tengah Problem Struktural

Oleh. Novi Ummu Mafa, SE.

Di penghujung masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, laporan yang bertolak belakang terkait kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahnya menjadi sorotan. Dalam survei terbaru Indikator Politik Indonesia, sebanyak 75 persen masyarakat dilaporkan puas dengan kinerja Jokowi (detik.com, 4/10/2024). 

Namun, data lain dari lembaga yang sama menunjukkan mayoritas publik menilai buruk dalam upaya pemberantasan korupsi di era pemerintahan Jokowi ini (nasional.tempo.co, 4/10/2024).

Kontradiksi ini mengundang berbagai kritik, terutama dalam menelaah sejauh mana pemerintahan benar-benar bekerja untuk rakyat atau sekadar memprioritaskan pencitraan di atas substansi kebijakan.

Tingkat Kepuasan Publik: Realitas atau Sekadar Citra?

Tentu saja, survei kepuasan publik merupakan salah satu alat ukur yang penting dalam mengukur kinerja pemerintah, tetapi tidak jarang hasil survei semacam ini digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dari persoalan-persoalan mendasar yang masih menghantui negeri. Peningkatan kepuasan publik mungkin saja berasal dari keberhasilan beberapa kebijakan populer, seperti pembangunan infrastruktur. Namun, apabila ditelaah lebih dalam, kepuasan ini tampaknya mengabaikan masalah-masalah krusial yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti ketidakadilan ekonomi, naiknya pajak pertambahan nilai (PPN), dan pengurangan subsidi BBM, yang justru membebani masyarakat kelas menengah ke bawah. 

Kebijakan yang Tidak Berpihak pada Rakyat

Beberapa kebijakan pemerintah yang dikeluarkan selama periode kedua Jokowi justru dianggap tidak berpihak pada rakyat. Kenaikan PPN dan pembatasan subsidi BBM, misalnya, menjadi bukti nyata bahwa kebijakan ekonomi yang diambil cenderung memberatkan masyarakat kecil. 

Dalam konteks ini, pemerintah lebih mengedepankan kepentingan oligarki dan elite ekonomi, yang mendapatkan keuntungan besar dari kebijakan ekonomi neoliberal yang diterapkan. Di saat yang sama, beban hidup masyarakat semakin meningkat, sementara kesejahteraan mereka tidak berbanding lurus dengan angka pertumbuhan ekonomi yang sering dibanggakan pemerintah.

Situasi ini memperlihatkan adanya jurang yang lebar antara narasi yang dibangun oleh pemerintah dan realitas kehidupan masyarakat. Pencitraan pemerintahan yang sukses dalam pembangunan infrastruktur dan pengentasan kemiskinan menjadi tidak bermakna ketika kebijakan ekonomi yang diterapkan justru menciptakan kesenjangan sosial yang semakin melebar. 

Keberhasilan infrastruktur dan pembangunan fisik, meski penting, tidak dapat menjadi tolak ukur utama keberhasilan sebuah pemerintahan, terutama jika di sisi lain kebijakan tersebut mengabaikan kesejahteraan sosial, penegakan hukum, dan keadilan bagi seluruh rakyat. Alih-alih memperbaiki sistem, pemerintahan Jokowi tampaknya justru lebih fokus pada pencitraan positif di mata publik ketimbang menuntaskan akar permasalahan ini. 

Sistem Islam Melarang Pencitraan dan Menjunjung Tinggi Kejujuran

Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Ahzab (33: 72) yang artinya:"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh."

Ayat di atas menggambarkan betapa beratnya amanah yang dipikul manusia, termasuk pemimpin. Mereka yang diberi amanah, terutama dalam mengurus umat, harus menyadari tanggung jawab besar yang dipikul dan menjalankannya dengan penuh kejujuran dan kesungguhan.

Terdapat pula hadis dari Abu Dzar r.a., ketika ia meminta jabatan kepada Rasulullah saw.:
"Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu adalah orang yang lemah dan jabatan itu adalah amanah. Sesungguhnya ia pada hari kiamat nanti menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban yang ada padanya." (HR. Muslim)

Hadis ini memberikan peringatan bahwa jabatan kepemimpinan adalah amanah yang sangat berat dan akan menjadi sumber penyesalan kecuali bagi mereka yang mampu menunaikannya dengan penuh tanggung jawab, jujur, dan amanah.

Salah satu prinsip utama yang ditekankan dalam Islam adalah kejujuran. Dalam sistem Islam, pemimpin dan aparat negara memiliki tanggung jawab moral yang sangat tinggi, karena mereka bukan hanya bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah. Kesadaran akan pertanggungjawaban ini menjadikan mereka lebih berhati-hati dan profesional dalam menjalankan tugas mereka. Mereka memahami bahwa setiap tindakan yang mereka ambil akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. pada hari kiamat. Islam sangat menentang pencitraan atau manipulasi yang bertujuan untuk menutupi kelemahan atau memalsukan realitas. Pencitraan yang tidak sesuai dengan kenyataan dianggap sebagai bentuk kebohongan, dan dalam Islam, kebohongan adalah dosa besar yang akan mendatangkan hukuman di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan berupa peralihan menuju sistem Islam bisa menjadi alternatif yang layak dipertimbangkan. Dalam sistem ini, keadilan sosial, transparansi, dan tanggung jawab moral menjadi pilar utama yang mendasari setiap kebijakan yang diambil, dengan tujuan utama menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: