Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Fernand

Menanggapi makna terpenting dari kelahiran Rasulullah Saw., Cendekiawan Muslim, Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan bahwa hal itu mengingatkan kita kepada sosok yang mulia, insan kamil.

"Ketika kita berbicara tentang kelahiran Rasulullah Saw., yang pertama tentu saja adalah mengingatkan kita kepada sosok manusia yang luar biasa, yang mulia, yang disebut insan kamil, Baginda Rasulullah Saw.." ungkapnya dalam program Fokus To The Point: Maulid Nabi, Dusta Klaim Cinta Rasul, Tapi Tolak Syariah Islam, Rabu, 18-9-2024, di kanal YouTube UIY Official.

Dan bukan sekadar mengingat kepada sosoknya, lanjutnya, penting juga untuk menilai diri kita apakah kita ini termasuk layak disebut sebagai umat Muhammad. Ia kemudian mengutip satu dialog yang sangat menarik, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis sahih riwayat Muslim dikatakan, "Datang kepada Nabi seorang Arab, tidak disebutkan namanya, bertanya tentang kapan hari kiamat itu akan terjadi?" Hari kiamat pasti akan terjadi, hanya orang ini bertanya, kapan?" katanya.

Alih-alih menjawab, jelasnya kemudian, Nabi balik bertanya kepada orang itu, "Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyongsong kiamat itu?" Lalu orang itu menjawab, "Mencintai Allah dan Rasul-Nya." 

Apa yang dikatakan Nabi kepada orang itu? Menurutnya ini menarik sekali untuk kita perhatikan. Nabi mengatakan, "Anta maa man ahbabta, engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai." Di mana Nabi di akhirat nanti? "Tentu saja di surganya Allah. Tidak mungkin di tempat lain." terangnya. Artinya, ia melanjutkan, Nabi ingin mengatakan pada orang itu jika engkau betul-betul mencintai Allah dan Rasul-Nya, engkaupun akan berada di surga-Nya bersama yang engkau cintai itu, Rasulullah Saw.

"Karena itu penting bagi kita memasuki bulan Rabiul Awal ini lalu kita ingat kepada kelahiran Nabi. Ingat kepada Nabi, mesti ingat apakah kita ini sudah termasuk orang-orang yang masuk kategori sebagai mencintai Nabi." paparnya. 

Ittiba' yang Benar

Untuk bisa mengetahui kita ini cinta Nabi atau tidak, pada kesempatan tersebut ia menunjukkan kepada dua hal. Pertama, ciri yang paling sederhana. Dan yang kedua, ciri yang paling utama. Ia kemudian menjelaskan, ciri yang paling sederhana adalah kegemaran kita untuk menyampaikan selawat kepadanya. Itu tanda cinta kita kepada Nabi, selawat itu diperintahkan oleh Allah. "Tidak ada perintah Allah yang Allah melakukannya, kecuali selawat ini. Dan kita tahu bahwa selawat ini bernilai tinggi," tegasnya.

Di dalam penjelasan terhadap lafaz selawat yang sebagaimana disebutkan dalam hadis Bukhari, "Allahumma shalli 'ala Muhammad wa ala ali Muhammad, kamaa shollaita 'alaa Ibrahim wa 'alaa ali Ibrahim, Imam Ibnu Hajar Al-Asyqolani dalam syarah dari hadis ini mengatakan bahwa selawat kita kepada Nabi itu adalah doa kita kepada Allah. Memohon untuk kemuliaan Nabi di dunia dan di akhirat. "Di dunia dengan memenangkan risalahnya, di akhirat dengan menempatkan di tempat yang terhormat." tekannya.

"Sebenarnya siapa sih yang lebih layak untuk mendapatkan doa itu, Nabi atau kita? Tentu saja kita." tegasnya. Tetapi itulah, lanjutnya kemudian, karena Allah memerintahkan itu, kita menyampaikan selawat. "Dan selawat itu ternyata kebaikannya kembali kepada kita," bebernya.

Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan, "Barangsiapa yang berselawat kepadaku sekali, maka Allah berselawat kepadanya 10 kali." Apa makna selawat Allah kepada hamba-Nya?  "Disebutkan dalam syarah Ibnu Hajar Al-Asyqolani, yaitu rahmat Allah berupa pengampunan dan seterusnya, begitu," terangnya.

"Jadi, selawat ini luar biasa. Ini tanda paling sederhana. Dan dengan selawat itu kita juga akan mendapatkan syafaat. Sebagaimana janji Nabi dalam hadits riwayat Ath-Thabrani, "Barangsiapa yang berselawat kepadaku pada pagi hari 10 kali, maka dia akan mendapatkan syafaat pada hari kiamat," jelasnya.

"Syafaat itu apa? Syafaat itu intinya adalah Nabi menjadi perantara, atau dengan kata lain, Nabi itu menolong kita untuk menyampaikan apa yang menjadi kehendak kita kepada Allah Swt., pada hari yang tidak ada pertolongan kecuali pertolongan Allah," ulasnya.

Ia kemudian menjelaskan, yang utama itu bahwa cinta kita kepada Nabi itu harus terwujud di dalam ittiba' kita kepada Nabi, sebagaimana yang Allah katakan di dalam surah Ali-Imran ayat 31. Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa, "Siapa saja yang mengakui cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tapi tidak ittiba' kepada Nabi dengan haqqul ittiba', yakni mengikuti dalam perintah dan larangannya, fahuwa kadzib, maka dia dusta." 

"Jadi, siapa saja yang mengaku cinta kepada Nabi tapi tidak ittiba' kepada Nabi, dusta dia. Atau mengaku ittiba' tapi tidak haqqul ittiba', tidak ittiba' yang benar, maka itu juga dusta," ungkapnya.

Yang dimaksud dengan haqqul ittiba' adalah mengikuti dalam setiap perintah dan larangannya. "Dengan demikian, maka cinta kepada Nabi itu harus diwujudkan dalam ketaatannya kepada seluruh perintah dan larangan yang Nabi telah sampaikan kepada kita melalui risalah ini, risalah Islam ini," sambungnya kemudian.

Pentingnya Ukhuwah Islamiyyah

Terkait bagaimana upaya kita untuk mengaitkan kecintaan kita kepada Rasul dengan kecintaan kita kepada umatnya, ia kemudian menjelaskan bahwa Rasulullah saw. mengatakan, "Tidak sempurna iman seseorang sampai engkau mencintai saudaramu sebagaimana mencintai dirimu sendiri."

"Jadi, kalau kita cinta kepada Nabi, berarti kita juga mesti mengikuti apa yang menjadi pesan Nabi, bahwa kita disebut tidak sempurna imannya sampai kita mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri," terangnya.

"Kita ingin hidup damai, tenteram, kita ingin menjaga akidah kita, kita ingin menjaga harkat martabat harta kita. Begitu juga semestinya kita itu menginginkan pada saudara kita," tegasnya.

Nah, ia melanjutkan, apa yang terjadi di Palestina khususnya, itu sesuatu yang luar biasa. "Karena itu, kalau kita tidak punya rasa keprihatinan terhadap apa yang terjadi di Palestina, maka itu sesungguhnya tanda bahwa kita itu tidak terlalu mencintai saudara kita. Dan karenanya kemudian, itu tanda bahwa kita tidak terlalu mencintai Nabi, karena tidak mengikuti pesan Nabi, begitu," kritiknya.

"Bahkan kemudian Nabi berpesan bahwa siapa saja yang bangun di pagi hari, dan dia tidak punya ihtimam, keprihatinan terhadap urusan atau keadaan kaum muslimin, sesungguhnya dia bukanlah bagian dari umat Islam, bukan bagian dari pengikut Nabi atau umat Nabi," urainya.

"Karena itu, maka salah satu tanda penting juga adalah munculnya apa yang disebut ukhuwah Islamiyyah itu, persaudaraan Islam. Karena kita sesama umat Nabi, mencintai Nabi. Karena itu, sesama umat Nabi kita itu bersaudara, ketika ada satu yang sakit, ikut merasakan sakit juga," pungkasnya. []

Baca juga:

0 Comments: