Headlines
Loading...
Oleh. Eka Suryati 

Menulis, tak terpikirkan olehku untuk sejauh ini melakukannya. Apalagi sampai ada sebuah karya yang namaku tercatat sebagai salah satu penulisnya. Bukan tidak suka atau tidak mau, namun rasanya saat itu terlalu jauh untuk bisa bermimpi menorehkan suatu karya apalagi bisa istikamah melakukannya. 

Aku ada bakat menulis? Lagi-lagi itu tak terpikirkan olehku. Karena membaca karya orang lain, membuatku berpikir, bahwa memang butuh bakat khusus agar bisa menjadi penulis. Cita-cita menjadi penulis juga tak ada dalam bayanganku. Butuh ketekunan dan perhatian khusus kalau mau menulis, begitu pikirku. Dan aku bukanlah orang yang dengan telaten dan detil, menuliskan semua kegiatan yang kulakukan. Tidak juga dengan tekun menuliskan semua kejadian yang kualami, semua mengalir begitu saja. Membeli buku dan menyimpannya, lalu sekali-sekali diulang untuk dibaca, begitu terus dari hari ke hari. Tapi aku suka membaca karya fiksi, biografi orang-orang terkenal dan tulisan-tulisan motivasi.
 
Apakah aku benar-benar tidak suka menulis, atau membuat suatu karangan? Kalau itu ditanyakan lagi, bingung juga untuk menjawabnya. Karena saat sekolah pelajaran Bahasa Indonesiaku tak pernah di bawah 7. Teringat kenangan saat SD, wakktu itu guru pelajaran Bahasa Indonesiaku adalah seorang guru yang katanya sih, galak sekali. Tapi beliau tak pernah memarahiku. Saat masuk sekolah setelah libur panjang, kami selalu diminta untuk membuat sebuah karangan tentang pengalaman libur kami. Duh, kataku saat itu, bagaimana nih, kan liburan kali kami sekeluarga tidak kemana-mana. Namun karangan tentang liburan ke rumah nenek bisa kukerjakan dan hasilnya bagus, kata bu guru. Mungkin sebenarnya saat itu aku ada bakat menulis, namun tak pernah terpikirkan untuk dikembangkan.

Hari-hari berlalu, rutinitas dilakukan. Hobi membaca fiksiku tetap berjalan. Seiring kesadaran akan nilai-nilai Islam yang ada padaku, maka membaca fiksinya kulakukan dengan mencari karya-karya fiksi yang islami. Buku-buku karya Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia menjadi buku yang kusukai.

Pada saat mengenal sosial media, FB adalah sosial media yang kukenal pertama kali, sebelum yang lainnya. Pertemanan di FB membawaku mengenal sahabat-sahabat online, baik yang kukenal secara nyata ataupun yang benar-benar dikenal melalui dunia maya. Berteman di media sosial, membuat kita harus hati-hati, karena kita tidak mengenal secara baik. Biasanya seleksi kulakukan dengan melihat bagaimana media sosialnya secara umum. Kalau dirasa baik, baru kuterima pertemanannya. Begitu juga sebaliknya ketika ingin mencari teman, entah itu memang teman lama, sahabat, keluarga atau juga orang lain, tetap kulakukan seleksi. 
Kemudian, akun FB-ku yang pernah diretas, membuatku makin berhati-hati.

Akun yang baru, membuatku mengenal sosok sahabat yang mengubah duniaku, literasi mulai kukenal sedikit demi sedikit. Bermula dari mencari-cari grup yang memuat tulisan islami, aku mengenal sebuah grup bernama Sahabat Nelliya Azzahra. Di sini aku mengenal adminnya, Nelliya Al Farisi. Miya, demikian kami memangilnya. Dari bincang-bincang perkenalan di FB, berlanjut di grup WA. Pertemanan kami makin akrab, aku suka membaca karya-karyanya, baik fiksi maupun non fiksi. Lalu beliau mengajakku bergabung di Komunitas Corak Karya. Belajar literasi dari nol, aku mulai menulis langkah demi langkah. Aku pernah diajak  membuat antologi, itu merupakan pengalaman pertamaku menulis dengan jumlah kata yang lumayan banyak, antara 700 sampai 1000 kata. Lalu, antologi kedua pun lahir, sehingga ada dua buku antologi bersama sahabat di Komunitas Corak Karya. 

Tak cukup sampai di situ, Miya mengajakku ikut sebuah challenge. Maju mundur rasanya, karena  harus menulis selama 30 hari setiap hari tanpa terputus. Bisakah? Padahal menulis bagiku masih merupakan pengalaman yang baru, sudah bisa menulis dua karya pada dua antologi saja rasanya luar biasa. Ini harus menulis setiap hari? ragu hati ini jadinya. Tapi Miya bilang, harus dicoba. Akhirnya dengan sedikit nekat memberanikan diri ikut challenge tersebut, Challenge Motivasi SSCQ November, begitulah kira-kira namanya. Setelah 30 hari menuntaskan challenge, aku masih tergabung di kelas teras SSCQ, selain grup kontributor tentunya. Aku pun mulai mengenal satu per satu sahabat di SSCQ, lalu berinteraksi.

Sepertinya saat itu, Bunda Lilik S Yani memberiku hadiah masuk dalam kelas literasi dan literasi khusus karena ikut challenge-challenge lanjutan di SSCQ. Aku pun mulai intens menulis karena setiap selesai mengikuti kelas harus menulis pesan dan kesan setelah mengikuti pertemuan, artinya dalam sebulan minimal ada 8 tulisan peskes dari dua kelas literasi tersebut. Aku mulai aktif mengikuti Kajian Online (KAJOL) SSCQ, yang juga harus memberikan pesan dan kesan setelah mengikutinya. Ada apresiasi dari SSCQ, peskesku terpilih menjadi salah satu peskes mempesona. Wah, merasa terkejut sekali rasanya saat itu. 
Akhirnya, aku pun ikut bergabung dalam kelas utama SSCQ, yaitu kelas ODOJ Plus-plus SSCQ. Disebut plus-plus karena memang banyak sekali tambahan yang bernilai plus yang bisa kita ikuti.

Motivasi demi motivasi diterima dari mereka yang tulus memberikan ilmunya agar tetap konsisten menulis. Saat sedikit kendur, Miya  Nelliya bilang, kita pasti akan mati, namun kalau ada karya kita, maka meskipun raga kita tak ada lagi, namun tulisan kita tetap ada, bisa menjadi amal jariyah kita. 

Demikian juga Bunda Lilik Yani, bunda yang penuh inspirasi, dari beliau aku melihat semangat yang tak ada hentinya untuk menulis. Karya-karya beliau, masyaallah, bagiku sangat luar biasa, banyak dan bagus-bagus. Motivasi demi motivasi juga beliau berikan pada kami, untuk terus menulis. Beliau selalu memberikan dorongan, alasan kami untuk tetap berkarya. Dalam setiap launching kelas literasi dan selalu ditunggu, beliau selalu mengajak kami berbuat kebaikan, di antaranya adalah selalu istikamah untuk menulis, menorehkan karya.

Haruskah aku berhenti menulis tanpa alasan? Rasanya saat ini, hanya ingin menjaga keistikamahan diri untuk tetap menulis. Mereka para motivatorku dalam dunia literasi telah memberikan dorongan dan dukungannya sepenuh hati. Haruskah diri ini mengecewakan mereka? Rasanya tidak ingin aku mengecewakan mereka. Terus ada di komunitas mereka, itu yang kuinginkan, agar istikamah menuju habits bisa kugapai dalam literasi menulis, bisakah? Semoga bisa.

Mari, semangat menulis untuk berkarya dan mempersembahkannya bagi kepentingan dakwah Islam.

Kotabumi, 1 September 2024

Baca juga:

0 Comments: