OPINI
Moderasi Beragama dan Pengikisan Akidah pada Remaja
Oleh. Dela
Moderasi beragama didefinisikan sebagai cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Mudahnya, seperti mengambil jalan tengah di antara perbedaan dalam keberagaman hidup di sebuah negara untuk menghindari kekerasan. Segala upaya dilakukan untuk menggaungkan moderasi beragama, bahkan saat ini sudah merambat di tengah pelajar.
Sosialisasi tentang moderasi sejak dini sedang dilakukan oleh Ibu Negara Iriana Joko Widodo (Jokowi) secara langsung di Kota Balikpapan bersama Wury Ma'ruf Amin dan Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Indonesia Maju (OASE-KIM) di madrasah. Sebanyak 500 pelajar yang menghadiri kegiatan sosialisasi tersebut dan mengangkat tema "Cinta Tuhan dengan Mencintai Indonesia". Sosialisasi ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama pada anak-anak sehingga terbentuklah cinta damai dan toleransi.
Langkah yang mereka lakukan adalah dengan pengintegrasian kurikulum, pengembangan karakter melalui kegiatan keagamaan, dialog atau kunjungan ke tempat ibadah agama lain, pelatihan guru hingga pendekatan orang tua. Menurut Eny, istri Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, kegiatan semacam ini merupakan yang ketiga setelah sebelumnya digelar di Bali dan Yogyakarta. (Detik.com, 11/09/2024)
Menelisik peristiwa kenakalan anak dan remaja, sangatlah menggelisahkan masyarakat dan keluarga. Fakta problem remaja termasuk pelajar adalah berupa pengikisan jati diri atau dekadensi moral remaja yang makin parah. Contoh dekadensi moral yaitu gaya hidup bebas, pergaulan bebas, pencabulan dan pemerkosaan, korupsi, miras, tawuran, dan narkoba. Namun, pemerintah memberikan solusi dengan pengarusan moderasi beragama yang tidak berhubungan dengan akar persoalan generasi.
Para orang tua menganggap sekolah adalah lingkungan yang paling baik untuk membentuk moral anak-anaknya. Sebagai tempat pendidikan yang melaksanakan pembinaan, pengajaran dan wadah pelajar untuk mengembangkan potensi dari berbagai aspek. Maka dari itu, peran institusi pendidikan mereka nilai sudah cukup memberikan muatan moral, terlebih remaja pelajar telah menghabiskan banyak waktu mereka di sekolah. Namun, kondisi dunia pendidikan saat ini belum mampu membentuk moral pelajarnya.
Seolah buta akan itu semua, Kemenag justru focus pada ekstrimisme dalam beragama. Padahal, data menunjukan kerusakan pelajar akibat dekadensi moral semakin meningkat. Seks bebas kini menjadi hal yang lumrah di kalangan remaja sebanyak 59 persen perempuan dan 74 persen pada laki laki usia 15-19 tahun melakukan hubungan seks luar nikah, bullying yang meningkat signifikan tiap tahun menjadi 3.800 kasus tahun 2023, di mana hanya 266 kasus di tahun 2022, dan masih banyak kerusakan moral lainnya.
Adanya moderasi beragama di institusi pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menangkal radikalisme di kalangan pelajar yg dipandang sebagai musuh ideologi Kapitalisme, agar generasi memiliki profil moderat dalam beragama, yang justru menjauhkan profil kepribadian Islam. Isu radikalisme yang terus digoreng untuk terus menutupi inti permasalahan. Penguasa sedang menjalankan peran sebagai penjaga sistem sesuai arahan Barat. Tampak bahwa yang menjadi kekhawatiran negara itu bukan kerusakan moral remaja, tapi ancaman kebangkitan Islam.
Moderasi beragama adalah proyek Barat yang dimaknai menerima pemikiran liberal seperti HAM, pluralisme, dan lainnya. Jika moderasi beragama diaruskan dalam rangka membangun kehidupan yang rukun dan damai di dalam remaja, sesungguhnya Islam mendorong umatnya agar hidup damai, rukun dan toleran, saling menghormati, tolong-menolong, termasuk interaksi dengan nonmuslim. Kehidupan Islam telah membuktikannya, selama belasan abad, yakni sejak masa Rasulullah, Khulafaurasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, hingga Bani Utsmaniyah. Pelajar seharusnya menjadi duta Islam yg mengambil Islam yang murni, tidak bercampur dengan pemikiran Barat. Oleh karena itu islam harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam.
Profil generasi muslim yang produktif, tangguh, pembangun peradaban mulia hanya mampu dicetak oleh negara Islam, yaitu Khilafah. Beberapa langkah dapat dilakukan yakni memperkuat pendidikan agama di sekolah dengan menambahkan materi yang relevan tentang nilai-nilai Islam dan sejarahnya, sehingga pelajar memahami dan menghargai ajaran agama mereka. Bukan justru menghapus ajaran Islam tentang “Khilafah” dianggap bertentangan dengan konsep moderasi beragama yang diciptakan Barat. Mengajarkan pelajar untuk berpikir kritis dalam menghadapi informasi dari luar, termasuk budaya Barat. Ini mencakup kemampuan untuk menyaring informasi dan memilih mana yang sesuai dengan syariat Islam, halal dan haram. Proses tersebut dapat melalui dengan membangun komunitas remaja Islam yang memiliki agenda dan kegiatan dakwah.
Sudah selayaknya generasi muslim memahami syariat agama dengan benar dan memegang teguh syariat Islam dalam kehidupan. Juga mengajak orang lain untuk mempertahankan dan menerapkannya. Hal tersebut akan mudah diterapkan jika negara akan menjaga dan mengupgrade kualitas remaja dengan ideologi Islam melalui sistem pendidikan, menghidupkan tradisi dakwah, dll sehingga terwujud generasi harisan aminan lil Islam dan daulah. [YS]
0 Comments: