Headlines
Loading...
Oleh. Khairani (Aktivis Muslimah Pontianak)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (1/10).

Adanya produk-produk yang dijual tetapi dengan nama produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal, ramai diperbincangkan. Pasalnya, dari segi penamaan produk tersebut diberi nama dengan sesuatu yang tidak halal, namun dari sisi zat produk tersebut diklaim halal.  Mirisnya, hal tersebut dianggap aman dan masyarakat diminta untuk tidak perlu khawatir akan kehalalan produk, sebab zatnya dijamin halal. 

Tentu hal ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Muncul sebuah pertanyaan, apakah sertifikasi halal di negeri ini telah menjamin kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat?

Sertifikasi Halal ala Kapitalisme 

Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Nama produk tidak menjadi persoalan, asalkan zatnya halal. Padahal, hal ini dapat berpotensi menimbulkan kerancuan yang membahayakan, karena persoalannya adalah halal haramnya suatu benda yang dalam Islam merupakan persoalan prinsip.

Selain itu, dalam sistem kapitalisme sertifikasi halal sebatas menjadi penopang bisnis bukan semata-mata untuk melayani masyarakat. Walhasil, sertifikasi halal menjadi sebuah ladang bisnis. Apalagi ada aturan mengenai batas waktu sertifikasi, di mana pelaku usaha harus memperbaharui/memperpanjang sertifikasi halal tersebut.

Pandangan Islam 

Dalam Islam, hukum asal benda ialah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkan. Oleh sebab itu, seorang muslim harus mengetahui apakah barang-barang yang dikonsumsi terkategorikan sebagai produk haram atau tidak.

Oleh sebab itu, untuk menjamin kebutuhan masyarakat muslim, negara Islam wajib menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia, karena negara adalah pelindung agama rakyat. 

Sertifikasi halal adalah salah satu layanan yang diberikan oleh negara, dengan biaya murah bahkan gratis. Negara memastikan kehalalan dan kebaikan setiap benda/makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia. 

Negara akan menugaskan para qadhi hisbah/hakim pasar untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, atau pun pabrik.

Begitulah negara di dalam Islam akan hadir untuk menjamin urusan hidup dan agama masyarakatnya. Berbeda dengan negara yang berlandaskan kapitalisme sekuler, persoalan agama menjadi hal yang terpisah dalam urusan kehidupan. Urusan agama dianggap ranah pribadi yang tidak perlu diatur oleh publik, melainkan cukup dikembalikan ke individu masing-masing.

Maka, Islam sejati tidak cukup hanya diterapkan dalam ranah pribadi. Islam harus dihadirkan untuk mengatur seluruh kehidupan. Sebab Islam bukan hanya agama, melainkan the way of life alias cara hidup. Islam mengatur segala hal yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Penerapannya akan membawa rahmat, sedangkan memisahkannya dari urusan hidup hanya akan membawa malapetaka dalam kehidupan. Saatnya kembali, pada penerapan syariah Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. [Ay] 

Baca juga:

0 Comments: