OPINI
Privatisasi Air Galon, Bikin Kantong Rakyat Jebol
Oleh. Novi Ummu Mafa
Air minum merupakan suatu kebutuhan primer atau kebutuhan pokok untuk kelangsungan makhluk hidup, kebutuhan akan air minum ini tidak bisa dikurangi apalagi dihentikan.
Di negara-negara maju, air keran di rumah bisa langsung diminum dan merupakan fasilitas umum yang umum tersedia, sehingga masyarakat di negara maju tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak untuk membeli air minum.
Berbeda halnya dengan di Indonesia, air ledeng atau sumur harus dimasak terlebih dahulu, penggunaan air keran sebagai air minum masih belum umum, beralih kembali ke air sumur atau air ledeng bukan hal yang mudah karena hal ini sudah menjadi kebiasaan bahkan sudah menjadi suatu gaya hidup untuk konsumsi AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) karena dinilai lebih efektif dan efisien.
Rakyat Kian Tertekan
Mengutip pernyataan yang cukup menghebohkan muncul dari Ekonom senior yang merupakan mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan dalam salah satu headline media online, ia menyebutkan bahwa "Kelas menengah jatuh miskin karena air galon "Selama ini secara tidak sadar itu sudah menggerus income kita secara lumayan dengan style kita yang mengandalkan semua kepada air galon, air botol dan segala macamnya," kata Bambang di kantor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Jakarta. (detik.com, 3/9/2024).
Berikut gambaran perhitungan sederhananya. Rata-rata keluarga kelas menengah terdiri dari 3 atau 4 anggota keluarga, dengan konsumsi air minum sekitar 8-12 liter per hari. Hal ini berarti mereka membutuhkan sekitar 12-16 galon air per bulan. Dengan harga rata-rata Rp20.000 per galon, biaya bulanan untuk air galon berkisar antara Rp240.000 hingga Rp320.000. Angka itu bisa lebih besar jika jumlah anggota keluarga lebih banyak. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) pengeluaran bulanan untuk keluarga kelas menengah diambil rerata Rp6.000.000 dengan pengeluaran air galon Rp240.000-Rp320.000 per bulan. Hal ini setara dengan sekitar 4% sampai 5.3% dari total pengeluaran bulanan. Jadi belanja kebutuhan AMDK menggerus daya beli atau pendapatan kelas menengah secara signifikan sekitar 4%-5.3% ini masih kebutuhan akan air belum kebutuhan primer lainnya.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia pada 2019 sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%.
Artinya ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas. Karena, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk.
Tidak hanya kelas menengah yang turun menjadi kelas bawah, tapi juga kelas bawah sendiri yang semakin tertekan lantaran mengonsumsi air minum isi ulang. Jika kelas menengah mengkonsumsi AMDK bermerek, kelas bawah kerap mengkonsumsi air minum atau air galon tampa merek yang berasal dari penyulingan di depot isi ulang. Meski harganya masih terjangkau jika dibandingkan AMDK yang dijual dipasaran tapi tidak ada pihak yang bisa menjamin keamanan serta kesehatannya.
Paradigma Kapitalisme
Selama tiga dekade terakhir, perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) telah berhasil membentuk kebiasaan kelas menengah Indonesia, terutama di perkotaan, untuk mengonsumsi AMDK setiap hari, baik dalam bentuk air botol maupun galon.
Sementara itu Negara seolah berlepas tangan dari kewajibannya menyediakan air minum yang mudah, murah dan layak bagi rakyat. Bekerjasama dengan Investor selalu menjadi jalan keluar terbaik bagi pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan air layak minum. Pemerintah menutupi kegagalannya dengan dalih mendatangkan investor dan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat. Inilah praktik swastanisasi atau privatisasi air. Air yang seharusnya menjadi publik atau umum diposisikan sebagai barang ekonomi.
Tampak bahwa paradigma yang ada pada diri pemerintah adalah paradigma pedagang alias paradigma kapitalisme. Hal ini berbeda halnya dengan pengelolaan air yang terjadi pada sistem Islam.
Pengelolaan Air Dalam Sistem Islam
Dalam daulah atau sistem Islam tidak boleh adanya privatisasi air. Pihak swasta hanya bekerja sama atas pengelolaan saja dengan akad hanya sebagai pekerja yang bekerja di perusahaan, bukan sebagai sebagian pemilik manfaat sumber air tersebut.
Negara berkewajiban memastikan ketersediaan air dan memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya.
Negara juga wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, individu per individu.
Hal ini sudah dicontohkan oleh kepemimpinan Nabi Muhammad saw. dalam meriayah umat sejak zaman dahulu. Dengan mengutamakan kebutuhan mendasar akan air untuk seluruh makhluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan) Nabi Muhammad saw. mencoba mendudukkan air sebagai barang sosial, bukan barang ekonomi. Barang sosial (social goods) adalah suatu benda yang sangat berguna tidak hanya untuk individu, tapi juga berguna bagi kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya.
Dalam sistem Islam, sumber daya alam seperti air, rumput, dan api tidak boleh dimonopoli. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengatur hubungan manusia dengan alam, dan pemahaman terhadap hadis-hadis yang melarang monopoli tersebut penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Sebagaimana dalam hadis Nabi Muhammad saw., “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Sistem Islam menjadikan para pemimpin memahami bahwa amanah yang mereka emban membutuhkan kerja keras dan tanggung jawab yang besar. Dan dalam sistem Islam tidak ada lagi pemimpin yang abai dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Inilah yang seharusnya menjadi role model sistem pemerintahan dan para pemimpin saat ini.
Tentu kita tidak sekedar menapaki sejarah peradaban Islam, tetapi juga harus berjuang untuk mengembalikan kejayaan sistem islam yang telah terbukti dalam mensejahterakan rakyat selama berabad-abad lamanya.
Wallahualam bissawab. [Rn]
0 Comments: