OPINI
Tambang Ilegal Berbahaya, Pengelolaan Islam Solusinya
Oleh. Siti Nur Rahma
Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar dan seharusnya menjadi sumber penghidupan yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan serta mampu menyejahterakan rakyatnya. Namun, realita kehidupan rakyat sangat miris. Masih banyak warga yang mengalami kemiskinan dan mencari penghidupan dengan cara yang berbahaya seperti penambangan ilegal. Benarkah pengelolaan tambang di Indonesia sudah dilakukan dengan benar?
Dikutip dari www.voaindonesia.com, pada Kamis malam, 26 September 2024, terjadi tanah longsor di lokasi penambangan emas ilegal di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat akibat hujan lebat. Terdapat 11 korban jiwa yang tertimbun tanah longsor.
Sebelumnya pada tahun 2023 juga terjadi korban jiwa akibat penambangan ilegal di Grumbul Tajur, Desa Pancurendang, Kecamatan Banyumas, Jawa Tengah, pada hari Selasa, 8/8/2023 (Kompas.com)
Selain membahayakan penambang, aktivitas penambangan yang tidak sesuai prosedur juga akan berpotensi merugikan negara, sebab dikelola oleh individu yang tidak berhak mengelolanya. Seperti yang dikabarkan bbcindonesia.com, terungkap penambangan ilegal oleh warga negara Cina di Ketapang, Sumatera Barat yang berinisial YH dengan kerugian sekitar 1 triliun rupiah. Dan kini YH menjadi tersangka utama dan diadili di pengadilan pada 28 Agustus 2024.
Bahkan, pengelolaan tambang yang berizin pun jika salah tata kelolanya juga akan membawa kerugian bagi rakyat bahkan lebih membahayakan. Artinya, jika izin diberikan kepada pihak swasta atau asing bahkan ormas, tidak dikelola mandiri oleh negara, maka akan membuat kerugian besar dan membahayakan kesejahteraan rakyat bahkan kedaulatan negeri.
Asumsi Pemerintah
Dikutip dari laman Kementerian ESDM RI, negara menganalisa penyebab utama adanya penambangan ilegal di negeri ini adalah masalah perekonomian, persepsi masyarakat terhadap hukum, dan peraturan, serta pertambangan yang dilakukan di wilayah terlarang.
Salah satu upaya pemerintah untuk menghentikan Penambangan Tanpa Izin (PETI) adalah relokasi penambangan tanpa izin yang berada di luar Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) ke dalam WPR sehingga lebih mudah dilakukan pembinaan dan pengawasan.
Selain itu pemerintah juga melakukan pemutusan mata rantai peredaran emas agar mampu menghentikan PETI. Hal itu dilakukan dengan mengedukasi rakyat tentang pengenalan teknik penambangan yang baik dan tata cara pengajuan izin sesuai peraturan, memberikan akses terhadap pengolahan dan pemurnian emas yang legal/ memiliki izin bagi penambang rakyat yang memiliki (IPR), menghentikan/menertibkan perdagangan emas tanpa izin.
Sudah tepatkah upaya pemerintah?
Penertiban yang dilakukan haruslah didasarkan pada pemikiran pelayanan pemerintah kepada hajat hidup rakyatnya. Sebab, bukan masalah legal atau ilegal saja, melainkan terkait dengan usaha rakyat untuk bertahan hidup di sistem ekonomi kapitalis yang sangat menghimpit. Hal ini berhubungan dengan adanya regulasi bertingkat dan administrasi rumit untuk mendapatkan izin pertambangan.
Bagaimana menuntaskan kerumitan ini?
Tata kelola yang salah akan memberikan output yang batil. Sesungguhnya Allah Al Khaliq telah menciptakan alam semesta untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Allah Swt. juga yang telah menciptakan tata kelola sumber daya alam yang terbentang luas di bumi. Dalam Islam ada sistem kepemilikan untuk mengatur pemenuhan kebutuhan tersebut, yakni: kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum.
Dalam tata kelola tambang, telah ada hadis yang menegaskan bahwa sebenarnya tambang bisa diberikan kepada individu jika depositnya kecil. Namun ketika depositnya melimpah maka tambang tersebut merupakan kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh pemerintah dan hasilnya diberikan kepada rakyat.
Sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw. pernah datang seorang sahabat bernama Abyad bin Hammal, menemui Rasul dan meminta diberi tambang garam yang ada di Ma'rib. Rasul yang dermawan pun memberikan tambang tersebut. Namun, ketika sahabat tersebut pergi, ada seorang laki-laki dari majelis itu berkata, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sungguh, Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut darinya.” (Abu Dawud, at Tirmidzi, Ibn Majah dan Ibnu Hibban).
Padahal Rasulullah saw. mengajarkan menarik kembali pemberian adalah tercela. Namun, setelah Rasul mengetahui bahwa tambang tersebut memiliki deposit melimpah maka tambang tersebut merupakan bagian dari kepemilikan umum dan tidak boleh dijadikan sebagai kepemilikan individu (swasta).
Dengan dikelolanya harta milik umum berdasarkan syariah Islam, misal dari pertambangan seperti minyak mentah, gas, batu bara, emas, tembaga, dan nikel, maka ada peluang besar untuk negara menghasilkan uang. Dan laba yang diperkirakan diperoleh secara keseluruhan dari pertambangan sebesar Rp5.510 triliun, dua kali lipat APBN yang merupakan 77% pemasukan dari pajak. Belum lagi perhitungan dari hasil sumber pendapatan yang lain seperti pos fa'i dan kharaj, serta pos zakat dalam konsep baitulmal.
Dengan pengelolaan sesuai syariat maka hasil yang melimpah didistribusikan ke rakyat dan rakyat merasakan kemudahan dan kesejahteraan hidup. Namun dalam sistem demokrasi yang berjargon, dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat ini, apakah hasil tambang yang fantastis itu sampai ke tangan rakyat?
Maka, penting bagi negara untuk mengganti tata kelola SDA secara kapitalistik, menjadi tata kelola syariah, dan untuk tata kelola di aspek kehidupan lainnya. Agar tidak mengakibatkan masalah baru.
Sistem ekonomi yang menyerahkan pengelolaan harta milik umum kepada individu, swasta, atau korporasi bahkan ormas, merupakan kebijakan batil yang bertentangan dengan kehendak Pencipta, Allah Swt. Kebijakan batil yang dilakukan akan membawa mudarat atau bahaya bahkan bencana bagi rakyat dan negara. Oleh karena itu, perlu ada penerapan syariah Islam secara menyeluruh, yakni aturan Allah Swt.
Wallahualam bissawab. [An]
0 Comments: