OPINI
Toleransi di Indonesia Tiada Artinya
Oleh. Rina Rofia
(Praktisi Pendidikan Politik)
Indonesia, negara adidaya dengan pemilik enam agama resmi di dalamnya. Di negeri ini pula, masih ramai membicarakan tentang toleran dan intoleran terhadap antar umat beragama. Belum lama viral di media sosial seorang ASN di Bekasi mengamuk lantaran adanya kegiatan keagamaan atau ibadah yang dilakukan oleh tetangganya yakni umat Kristiani di salah satu rumah warga. Padahal ibadah tersebut dinilai tidak mengganggu ASN maupun warga yang ada di sekitar tempat ibadah. Kasus ini sangat menimbulkan perhatian publik, dikarenakan ASN Kota Bekasi tersebut dinilai tidak mencerminkan sikap toleransi antar umat beragama, hingga Pemkot Bekasi turun tangan (iNews.id, 26/09/ 2024).
Banyak pula warganet yang menyayangkan adanya kasus viral ini, salah satu video yang diunggah di media sosial dibanjiri komentar. Warganet menyebut bahwa tindakan ASN ini tidak hanya membuat malu warga setempat, tapi juga membuat malu Kota Bekasi karena Kota Bekasi sebagai Kota Toleransi ke-2 di Indonesia (Liputan6, 25/06/2024).
Sungguh miris melihat berbagai kasus yang terjadi di negeri ini. Indonesia dengan semboyan Persatuan Bhineka Tunggal Ika yang memayungi berbagai perbedaan seperti suku, agama, ras, bahasa, budaya maupun perbedaan lainnya nyatanya telah gagal mewujudkan sikap toleransi pada rakyatnya sendiri. Di mana rakyat belum bisa memiliki kesadaran sepenuhnya terhadap hak dan kewajibannya. Terlebih negara seakan-akan hanya bertindak setelah kasus-kasus di masyarakat mulai bermunculan, kemudian tidak adanya pembinaan atau edukasi pada masyarakat sebelum banyak terjadi makar atau kasus yang akan terjadi.
Inilah ironi di negeri berpenduduk mayoritas muslim yang menerapkan sistem demokrasi kapitalis sekuler. Tak hanya rusak pada asas moral dan toleransi saja, tapi mengakar pada sistem kepemimpinannya. Sistem kepemimpinan yang dibuat oleh manusia, tak akan luput dari kata rusak dari segi manapun, bahkan pada segi ekonomi, pendidikan, kesehatan, pemerintah, dll.
Sistem pemerintahan di dalam Islam memiliki definisi toleransi sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika kita menapaki sejarah dalam Daulah Islamiah, yang mana kepemimpinannya bersumber pada aturan Allah. Kita akan temui bahwa Islam sangat menjunjung tinggi toleransi umat beragama. Tak sedikit nash-nash Al-Qur'an maupun hadis yang menganjurkan sikap toleransi dan kerjasama baik terhadap sesama umat Muslim maupun umat agama lain.
Dalam riwayat Imam Abu Daud telah disebutkan, Rasulullah saw. bersabda;
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ketahuilah, bahwa siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (non-Muslim yang berkomitmen untuk hidup damai dengan umat Muslim), merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.”
Berdasarkan hadits ini, maka Umat muslim tidak boleh menyakiti non Muslim dalam bentuk apapun, baik dengan perkataan, kebijakan, tindakan, perbuatan, bahkan termasuk mengganggu hewan piaraannya. Keharaman mengganggu milik non muslim sama seperti keharaman mengganggu milik orang muslim lainnya. Dan inilah yang harus diamalkan oleh umat.
Ketiadaan Daulah Islamiah menjadikan permasalahan makin kompleks, dan tanpa henti, bahkan makin bertambah. Inilah saatnya kita kembali menjadikan Islam sebagai kepemimpinan hakiki, untuk menjemput rahmatan lil alamin.
Wallahualam bissawab. [My]
0 Comments: