Headlines
Loading...
Tunjangan Perumahan untuk Anggota DPR, Sedangkan Rakyat Gigit Jari

Tunjangan Perumahan untuk Anggota DPR, Sedangkan Rakyat Gigit Jari

Oleh. Henidya_Bundfat
 (Komunitas Setajam Pena)

Baru-baru ini diberitakan adanya kebijakan negara tentang tunjangan perumahan untuk anggota DPR. Tunjangan tersebut besarnya berkisar dari Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Namun, kebijakan ini diduga tidak memiliki perencanaan, sehingga dianggap sebagai pemborosan anggaran negara.

Seperti  yang dikatakan Siera Tamara, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menduga bahwa kepentingan tersebut tidak memiliki perencanaan. Sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik. (Kompas, 12/10/2024)

Di tengah masih banyaknya tunawisma dan masyarakat yang belum memiliki rumah, rencana ini tentu membuat miris. Selain itu, masih banyak pula masyarakat yang memiliki tempat tinggal yang tidak memadai, tidak layak huni, dan terkadang harus siap-siap kena gusuran. Sulitnya mendapatkan tempat tinggal yang layak, urbanisasi pandemi covid-19, langkanya lahan, tingginya harga rumah, dan kebutuhan hidup lainnya juga menjadi salah satu alasan masyarakat tidak mampu memiliki rumah yang layak huni.

Mencermati ini semua, adanya tunjangan perumahan untuk anggota DPR merupakan kebijakan kontraproduktif dengan realita masyarakat. Jangankan untuk rumah, secara kebutuhan harian saja masyarakat sedang mengalami berbagai kesulitan hidup. Di sisi lain, nantinya para anggota dewan juga mendapat rumah dinas di IKN. Maka, jika tunjangan tersebut tetap dilaksanakan mengatas namakan "wakil rakyat", rakyat hanya bisa gigit jari.

Sudah menjadi rahasia umum anggota dewan dalam sistem demokrasi bekerja hanya demi uang, fasilitas, dan tunjangan. Lagi-lagi rakyat hanya sekedar penggembira dalam pesta demokrasi. Alih-alih menjadi perhatian utama dalam masa jabatan para anggota dewan, suara rakyat akan terus jadi tumbal kekuasaan mereka.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Khilafah Islamiah. Di dalam sistem ini ada majelis ummah, yang merupakan wakil rakyat, namun berbeda peran dan fungsi dengan anggota dewan dalam sistem demokrasi. Anggota majelis ummat murni mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran secara utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas sebagai penyambung lidah rakyat. Kesadaran ini menjadi fokus akan fungsi yang sesungguhnya yang harus terwujud karena ini merupakan amanah yang harus di pertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt., dan bukan pada keistimewaan yang diberikan negara.

Satu hal yang harus kita ingat, anggota majelis ummat bukanlah pegawai negara yang berhak menerima gaji. Adapun hal-hal baru yang harus di anggarkan untuk menunjang kinerjanya, itu hanya berupa santunan yang secukupnya saja, tidak seperti tunjangan anggota dewan yang jumlahnya fantastis. Andaikata diantara mereka ada yang mendapatkan fasilitas dari negara itu semata-mata bagian dari pemberian negara yang berhak diterima secara individu warga.

Jika kita mengamati gambaran anggota majelis umat pada masa peradaban Islam, sungguh motivasi mereka dalam mewakili rakyat atau warganya sangat jauh berbeda dengan anggota dewan saat ini. Mereka tidak memiliki motivasi aji mumpung untuk menikmati fasilitas negara, apalagi menuntut hak istimewa ataupun memperkaya diri. Selain itu, Islam juga memiliki aturan yang kuat terkait dengan harta, kepemilikan maupun pemanfaatannya.

Upaya untuk mengurusi urusan umat begitu kuat di dalam Khilafah. Begitu juga halnya motivasi untuk mengoreksi penguasa. Ini semua berlandaskan pada amar makruf nahi mungkar, sehingga semua berlomba-lomba mewujudkan kebaikan dalam konteks penerapan dan pelaksanaan syariat Islam kafah. Wallahualam bisawwab. [My]

Baca juga:

0 Comments: