Headlines
Loading...
Oleh. Siti Nur Rahma

Di tengah sulitnya ekonomi rakyat, bahkan masih banyak tunawisma di negeri ini, terdengar berita akan ada pemborosan anggaran negara hanya untuk tunjangan rumah dinas bagi anggota DPR. Siapakah yang merasakan kesejahteraan dari jargon “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat?"

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara mengatakan, kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR periode 2024-2029 adalah bentuk pemborosan. Kenapa tidak? Sebab sekitar 50 hingga 70 juta per bulan akan diberikan langsung ke rekening mereka include dengan gaji untuk tunjangan rumah dinas. Sehingga sekitar Rp1.36 triliun hingga Rp2.06 triliun jumlah total pemborosan dalam jangka waktu lima tahun ke depan (Kompas.com, 11-10-2024).

Sejatinya, harapan adanya tunjangan yang diberikan kepada anggota DPR adalah untuk memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat agar bisa menyalurkan aspirasi rakyatnya. Namun, dengan berkaca pada realita yang pernah terjadi, dan realita pada anggota dewan periode ini, akankah harapan itu terwujud? Adakah harapan untuk mengoptimalkan kinerja mereka?

Terlebih dengan adanya tunjangan rumah dinas yang diberikan langsung ke rekening anggota, maka akan mempersulit pengawasan penggunaan dana tunjangan tersebut. Seperti yang disampaikan Seira dalam penjelasannya di Jakarta, Sabtu, (12-10-2024). Seira berkata, “Minimnya akses pengawasan ini, pada akhirnya tak hanya berdampak pada pemborosan anggaran tetapi juga potensi penyalahgunaan.” Sehingga timbullah anggapan bahwa pemberian tunjangan itu hanya untuk memperkaya anggota dewan. 

Ironis, kebijakan ini terjadi di saat rakyat sedang mengalami kesulitan hidup, termasuk kesulitan mendapatkan tempat tinggal layak, bahkan tak sedikit yang menjadi tunawisma. Indonesia menjadi peringkat ke-11 dunia sebagai negara dengan jumlah tunawisma terbanyak di dunia. Terdapat sekitar tiga juta tunawisma pada 2024 yang disebabkan urbanisasi, pandemi Covid-19 dan kelangkaan lahan.

Hal ini diperparah dengan kebijakan dari pemerintah terkait beban iuran Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Pejabat mendapat tunjangan perbulan bersama gaji, sedangkan rakyat dipaksa mandiri memiliki rumah sendiri melalui potongan gaji per bulannya. Lalu, kebijakan ini untuk siapa?

Terbayang, setelah gaji bulanan dipotong untuk iuran BPJS kesehatan, iuran BPJS ketenagakerjaan, serta jaminan hari tua, lantas kini akan dipotong lagi dengan adanya iuran Tapera. Akan membawa pulang gaji berapa rupiah para pekerja tersebut? Belum lagi ada PPh, yaitu pajak penghasilan yang besarnya 3 persen sampai 5 persen. Ataukah pekerja hanya membawa slip gaji saja? Sungguh, rakyat berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya di sistem kapitalisme ini.

Peran Majelis Ummah 

Dalam Islam terdapat struktur pemerintahan yaitu majelis ummah yang menjadi wakil rakyat yang bertugas penyambung lidah rakyat dengan dasar keimanan dan ketakwaan. Struktur pemerintahan ini dibentuk berdasarkan aktivitas Rasulullah saw. yang sering berkonsultasi atau meminta pendapat kepada kaum Anshar dan Muhajirin yang mewakili kaum mereka. Kaum muslimin pun melanjutkan aktivitas mengoreksi para pejabat pemerintahan itu pada masa Khulafaur Rasyidin dan khalifah selanjutnya.

Sungguh berbeda peran wakil rakyat dalam sistem demokrasi dengan majelis ummah dalam Islam. Wakil rakyat dalam demokrasi memiliki peran dan fungsi sebagai legalisasi hukum perundang-undangan dan menetapkan anggaran. Musyawarah yang dilakukan merundingkan kebijakan-kebijakan yang sejatinya sudah ada dalam aturan Sang Pencipta dalam Al-Qur'an dan Hadist. Bahkan, bisa menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan individu atau sekelompok pihak, bukan rakyat.

Majelis ummah memiliki peran untuk mewakili umat dalam rangka muhasabah fil hukam (mengontrol atau mengawasi para pejabat pemerintahan) dan musyawarah (syura). Ketika ada legalisasi hukum dari kepala negara (Khalifah) berdasarkan ijtihad dan tabani (mengadopsi hukum dan perundang-undangan) yang berasal dari Al- Qur'an dan hadits, maka majelis ummah menjadi wakil kaum muslimin dalam mengontrol dan mengawasinya. Sedangkan dalam rangka menentukan kebijakan anggaran, merupakan wewenang khalifah dalam konsep baitul mal.

Tidak terdapat hak menerima gaji bagi anggota majelis ummah. Namun jika ada hal yang perlu dianggarkan untuk menunjang kinerjanya, maka akan diberikan santunan seperlunya saja, berbeda dengan tunjangan yang fantastis seperti yang diterima pejabat dalam sistem demokrasi. Sementara jika mereka mendapatkan fasilitas dari negara, hal itu semata hanya sebagai pemberian negara yang merupakan hak tiap individu.

Dengan dasar keimanan dan ketakwaan yang dimiliki anggota majelis ummah, menjadikan peran dan fungsi yang diembannya penuh amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt. Sehingga mereka  sadar betul dalam bertugas, tanpa diiringi keinginan untuk memperkaya diri.

Oleh karena itu, konsep mengurusi urusan umat begitu kuat dalam sistem pemerintahan Islam. Termasuk dalam urusan pemenuhan kebutuhan pokok hidup rakyatnya. Dorongan amar ma'ruf nahi munkar dalam setiap amal perbuatan menjadi keinginan banyak pihak untuk fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) demi mewujudkan kebaikan dunia akhirat dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Maka, masihkah kita bertahan dengan sistem yang hanya berpihak kepada selain rakyatnya?
Wallahualam bishawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: