OPINI
Urgensi Pendidikan Politik bagi Gen Z
Oleh. Naila Dhofarina Noor
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang terkategori gen Z sebesar 46.800.161 jiwa atau sekitar 22,85 persen dari keseluruhan pemilih sebagaimana data KPU tahun 2024. Jumlah ini menunjukkan potensi gen Z untuk menentukan masa depan politik Indonesia. Generasi yang lahir di rentang 1997-2012 dan dibesarkan dalam dunia yang serba digital tersebut memiliki akses tak terbatas ke berbagai sumber berita, termasuk isu-isu politik, sosial, dan ekonomi. Dengan begitu, mereka memperoleh banyak informasi. Kemudian informasi yang diperoleh tersebut akan menghasilkan suatu aksi secara real yang bergantung pada filter pemikiran yang dimiliki masing-masing atau lingkaran pergerakan yang bisa memengaruhi mereka.
Dalam aksi global seperti “Fridays for Future” yang dipimpin oleh Greta Thunberg, itu contoh dari keterlibatan gen Z dalam aksi politik. Di Indonesia sendiri, gen Z juga turut andil melakukan aksi protes terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. Selain itu, ada pula Gen Z yang peduli dengan isu lingkungan, seperti membentuk kelompok yang bernama Pandawara Group. Mereka yang lebih memilih gerakan sosial daripada terlibat dalam sistem politik , menilai aksi politik lamban dan tidak responsif. Padahal sejatinya, kebijakan politik adalah yang menjadi pengaruh utama suatu problematika terjadi. Gen Z sangat perlu untuk memiliki pendidikan politik yang benar untuk mengomando suatu gerakan perubahan ke arah perbaikan yang sejati.
Adapun media sosial, meski memberikan panggung bagi diskusi politik Gen Z, ternyata tidak semua diskusi membawa pada tindakan yang nyata. Baru-baru ini, ada istilah "slacktivism" yang menggambarkan kondisi di mana seseorang merasa sudah berkontribusi dalam perubahan hanya dengan memberi like atau melakukan share terhadap sebuah postingan namun tanpa benar-benar melakukan tindakan nyata dalam kehidupan "offline" nya.
Dalam Konferensi Nasional yang bertema Indonesia's Future Democracy: Opportunities and Challenges, Profesor Asrinaldi menyampaikan bahwa konteks mata kuliah ilmu politik seharusnya menyentuh gen Z untuk menjadikannya bekal pengabdian untuk terjun di masyarakat. Jika sebatas konteks mata kuliah, dikhawatirkan potensi partisipasi politik gen Z akan dimobilisasi. Pakar politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas tersebut juga menilai bahwa dengan ilmu politik yang dimiliki dan dijadikan pengabdian gen Z itu nantinya dapat memperkuat iklim demokrasi yang kini ada.
Pada konferensi yang digelar Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (APSIPOL) pada hari Rabu tanggal 18 September 2024 tersebut, Ketua APSIPOL Iding Rosyidin juga angkat bicara. Ia membahas tentang Democratic Backsliding yang berarti fenomena kemunduran demokrasi. Ia berharap gen Z bisa menjadi agen perubahan demokrasi. Menurutnya, harus ada reformasi dalam tubuh partai politik dengan perubahan pola rekrutmen, kaderisasi dan distribusi kader partai politik. Ideal nya gen Z sejak di kampus sudah belajar tentang politik. Dengan begitu, ketika masuk ke partai politik mereka sudah memiliki kesiapan.
Menyoroti Wajah Demokrasi
Pandangan adanya Democratic Backsliding atau kemunduran demokrasi ini menyesatkan kerangka berpikir politik gen Z karena realitanya politik demokrasi tidak berkorelasi dengan perbaikan kehidupan masyarakat. Justru realitas dalam demokrasi sendiri yang membentuk gen Z malas berpolitik meskipun mereka tidak memahami kesalahan demokrasi secara konseptual. Pragmatisme berpikir juga membentuk gen Z menjauh dari politik demokrasi.
Ketika problematika demokrasi itu ditangkap oleh gen Z dan disebarluaskan untuk edukasi kepada khalayak, sejatinya itu bukanlah kemunduran demokrasi. Lebih tepatnya, disebut demokrasi sebagai sebuah sistem yang merusak. Demokrasi memang selayaknya ditinggalkan oleh gen Z.
Partisipasi Gen Z yang Dinanti
Peran gen Z dinanti untuk berpartisipasi aktif dalam perubahan politik di Indonesia. Dalam Islam , politik dikenal dengan istilah "siyasah" yang bermakna mengatur urusan umat sebagaimana amanat agung dalam syariat Islam untuk menjadi Khalifah fil ardl. Islam yang merupakan paket lengkap solusi atas problematika manusia, memiliki konsep politik Islam dan jalan perubahan yang sejati, bukan mempertahankan demokrasi yang terbukti problematik.
Oleh karena itu, gen Z membutuhkan peran partai politik Islam yang sahih untuk membimbing mereka memahami politik yang benar dan bergabung untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan negara. Bersama partai politik Islam ini, gen Z mewujudkan tata dunia baru yang berbeda dengan model politik demokrasi yang sebenarnya batil dari akarnya dan terbukti banyak problem dari penerapannya.
Kriteria parpol yang shahih di antaranya memiliki ideologi sahih (Islam) yang mana ideologi ini menjadi ikatan yang menyatukan para anggotanya, memiliki konsep politik yang dipilih untuk menjalankan perubahan yang sejati, memiliki metode langkah-langkah perubahan yang sesuai untuk menyelesaikan problem sistemik, dan memiliki para anggota yang bergabung dengan kesadaran yang benar bukan sekedar karena kekayaan, ketokohan, kepakaran, maupun jabatan.
Gen Z diharapkan mampu memahami mana partai yang sahih mana yang tidak. Gen Z butuh pendidikan politik yang sahih agar mereka menghentikan kepercayaan kepada partai-partai sekuler apapun basis massa yang dimiliki. Adapun yang bertanggung jawab mengadakan pendidikan politik seperti ini adalah negara. Dalam Islam sendiri, Khilafah yang akan melakukan pendidikan politik Islam kepada rakyat tak terkecuali gen Z, karena politik dalam Islam adalah satu kebutuhan wajib untuk dipahami semua umat Islam termasuk gen Z. [YS]
0 Comments: