OPINI
Gagalnya Proyek Food Estate, Gagalnya Ketahanan Pangan
Oleh. Nurul Bariyah
Food Estate adalah salah satu program yang dijalankan mantan Presiden Joko Widodo. Program ini masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional yang biasa disingkat PSN yaitu proyek infrastruktur dengan melakukan percepatan proyek-proyek yang dianggap strategis. Tujuannya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, pemerataan pembangunan, dan pembangunan daerah. Salah satu program yang digagas dalam food estate adalah cetak sawah.
Proyek ini dipercepat pembangunannya dengan melibatkan pengusaha yang berperan untuk membuka lahan yang akan dijadikan cetak sawah. Perusahaan mengadakan alat dan tenaga untuk membuka hutan menjadi lahan sawah. Namun, fakta di lapangan, dari sekian tempat yang dijadikan kawasan food estate ini ditemukan banyak mengalami kegagalan.
Dilansir dari BBC.com, tgl 20 Oktober 2024, diperoleh fakta bahwa setelah tiga tahun berjalan, ribuan hektare lahan proyek food estate di Kalimantan Tengah ditemukan terbengkalai. Lahan kini ditumbuhi semak belukar. Ada ratusan hektare yang beralih menjadi perkebunan sawit swasta, karena para petani mengaku menyerah menanam padi di lahan food estate setelah beberapa kali gagal panen.
Faktor lainnya yang menyebabkan proyek ini gagal, menurut seorang peneliti Pantau Gambut, Juma Maulana, adalah minimnya pelibatan petani yang hanya dijadikan objek, tanpa pendampingan dan penyuluhan, ini terjadi di hampir semua desa. Mungkin ada yang menerima sosialisasi, tapi tidak ada keberlanjutannya.
Sangat disayangkan, proyek gagal ini masih terus berlangsung. Selain gagal, proyek ini membawa efek buruk yang begitu besar. Di antaranya yaitu kerusakan lingkungan, kekacauan akibat perampasan lahan, hancurnya sentra pertanian rakyat akibat konsep dan praktik food estate yang mengganti produsen pangan dari tangan petani ke tangan pengusaha. Lebih parahnya lagi terjadinya Karhutla [kebakaran hutan dan lahan) besar akibat tanah gambut yang dibabat habis kemudian ditinggalkan karena sawah gagal dicetak.
Dari sumber Betahita.id (16/10/2024), diberitakan solidaritas Merauke dan forum masyarakat Adat Kondo Digul menggelar aksi solidaritas di Jakarta. Mereka memprotes proyek Strategis Nasional (PSN) kawasan pengembangan pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan (PSN Merauke) yang masuk hutan simpanan terakhir di Papua Selatan dan merugikan masyarakat adat Malind dan Yei.
Mengapa kekacauan ini terus terjadi? Alih-alih mengevaluasi, presiden Joko Widodo malah mempercepat pembangunan food estate di Papua Selatan. Proyek ini meliputi 2,29 hektar untuk cetak sawah, perkebunan tebu, dan pabrik gula serta bioetanol. Banyak yang menganggap food estate Merauke adalah pengulangan proyek gagal oleh pemerintah di era terdahulu. Dengan cara dan proyek serupa, hanya beda kemasan yang tentu saja menyisakan masalah ekonomi, sosial politik dan budaya masyarakat Papua.
Pentingnya penelitian dan survei mendalam setiap proyek yang menyangkut banyak orang membuat hal itu tidak boleh ditinggalkan. Pemerintah sebagai penguasa negara bekerja sama dengan pemerintah daerah seharusnya lebih meneliti kembali, daerah-daerah mana yang cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Tidak memaksakan untuk membuka hutan yang kemungkinan besar tanahnya tidak cocok dijadikan lahan pertanian.
Karena itu, selayaknya para penguasa mengerahkan ahli-ahli dalam bidang pertanian sehingga pemilihan lahan tidak salah apalagi menimbulkan kerugian. Sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat juga penting, agar tidak terjadi kericuhan antara masyarakat dan pemerintah, karena bagaimana pun masyarakat setempat lebih mengenal tanah mereka.
Gagalnya proyek food estate dan proyek serupa di masa lalu mengesankan pemerintah separuh hati dalam menjalankan tugasnya, untuk mengupayakan kesejahteraan rakyat sebagai usaha mencapai ketahanan pangan. Seolah-olah itu cuma jargon semata, suara masyarakat tidak didengar, padahal kerugian ada di depan mata. Mereka menyerahkan urusan membuka lahan kepada perusahaan lalu setelah selesai ditinggalkan, tidak ada pendampingan dan sosialisasi kepada para petani.
Dalam hal ini, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat, gagal dalam usah menyejahterakan rakyat. Semua itu sangat berimbas pada keadaan rakyat yang makin hari semakin terhimpit pada kemiskinan, karena kurangnya perhatian dari negara. Kita berharap pada kesadaran pemerintah sebagai pengelola negara, karena sejatinya nasib rakyat ada di tangan pemimpin.
Sikap acuh dari pemimpin sangat bertentangan dengan sistem pemerintahan yang ada di Islam. Karena Islam selalu mengutamakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama. Sebagaimana yang diperintahkan Allah agar setiap pemimpin atau penguasa berbuat seadil-adilnya untuk rakyat, memenuhi kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan papan.
Para pemimpin Islam menjalankan amanah sesuai dengan ketentuan Allah, karena mereka memahami bahwa jabatan yang mereka pegang sekarang, nantinya akan dipertanyakan oleh Allah pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Dalam sejarah Islam, kita akan melihat betapa para pemimpin Islam dahulu, mulai dari Rasulullah saw. sampai kepada para sahabat dan seterusnya adalah contoh pemimpin yang baik. Dalam bidang pertanian Rasulullah saw. pernah bersabda : "Tidaklah seorang muslim menanam suatu pohon melainkan apa yang dimakan dari tanaman itu sebagai sedekah baginya, dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut sebagai sedekah baginya dan tidaklah kepunyaan seseorang itu dikurangi melainkan menjadi sedekah baginya".
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab beliau banyak membuat kebijakan untuk memajukan bidang pertanian. Di antaranya adalah penggarapan lahan mati, pengkaplingan tanah, memaksimalkan peranan pengembangan pengolahan lahan tidur, pengolahan lahan yang dilindungi pemerintah, pengaturan mengeksploitasi bumi di daerah taklukan dan pengelolaan air.
Umar menghidupkan lahan yang mati sebagai cara untuk mendapatkan hak milik. Politik Umar di dalam pengkaplingan tanah adalah menetapkan syarat bukan milik pribadi dan tidak merugikan orang muslim atau kafir dzimi, membatasi luas tanah dan menarik kembali tanah yang diberikan jika ditelantarkan oleh penerimanya.
Begitulah kinerja para pemimpin Islam, menjalankan amanah dengan sepenuh hati. Melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati, memikirkan cara terbaik agar rakyat menjadi sejahtera tentunya dengan cara yang diridai Allah Swt.
Wallahualam bissawab. [Ay]
0 Comments: