OPINI
Hidup Abadi: Ilusi Kapitalisme Sekuler atau Kehidupan Sejati dalam Islam?
Oleh. Novi Ummu Mafa, SE
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang mencolok di tengah masyarakat modern, pencarian hidup abadi melalui teknologi dan sains. Salah satu tokoh yang menonjol dalam tren ini adalah Bryan Johnson, seorang pengusaha teknologi yang menghabiskan jutaan dolar untuk memperpanjang hidupnya. Melalui berbagai terapi anti-penuaan, termasuk pertukaran plasma darah dan diet ketat, Johnson berusaha keras untuk menghindari takdir alamiah manusia yakni kematian. (kompas.com, 17-10-2024).
Dalam pandangan kritis, tren ini mencerminkan sebuah manifestasi dari kegagalan sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan keabadian sebagai komoditas, serta meminggirkan makna esensial dari kehidupan dan kematian. Sementara itu, Islam menawarkan perspektif yang sangat berbeda tentang kehidupan abadi, yakni kehidupan setelah mati, yang berlandaskan pada kesadaran akan Tuhan dan pengabdian kepada-Nya.
Kapitalisme Sekuler dan Obsesinya terhadap Tubuh dan Waktu
Kapitalisme sekuler secara mendasar dibangun atas pandangan materialistik tentang kehidupan. Sistem ini menempatkan keberhasilan, kesejahteraan, dan kemajuan dalam kerangka yang sempit, yakni kuantitas materi dan umur biologis. Konsep ini sangat terlihat dalam kasus Johnson, di mana investasi yang besar diarahkan untuk “memperpanjang” waktu hidup di dunia ini melalui teknologi anti-penuaan. Dengan demikian, tubuh manusia diperlakukan seperti mesin yang bisa dioptimalkan melalui berbagai intervensi ilmiah. Terapi penggantian plasma darah, suplemen makanan, diet ketat, dan olahraga ekstrem yang dijalani Johnson merupakan gambaran konkret dari kecenderungan kapitalisme untuk menjadikan tubuh sebagai proyek komodifikasi.
Namun, apakah pendekatan ini benar-benar memperpanjang hidup atau hanya mempertegas keterikatan pada dunia yang fana? Meski Johnson mengklaim bahwa fisiknya lebih muda dari usianya, kenyataannya tidak ada jaminan bahwa tubuh yang “dimodifikasi” ini akan menghindari kerusakan atau kematian pada akhirnya.
Hal ini mencerminkan kegagalan kapitalisme sekuler untuk memahami hakikat kehidupan itu sendiri—bahwa kematian adalah bagian tak terelakkan dari siklus hidup manusia. Sebaliknya, obsesi untuk menghindari kematian menunjukkan ketakutan yang mendalam akan ketiadaan, sesuatu yang sangat dijauhi oleh sistem kapitalisme yang berpusat pada kepemilikan dan kontrol.
Pandangan Islam tentang Kehidupan Abadi: Pengharapan di Akhirat
Berbeda dengan kapitalisme sekuler yang terfokus pada keabadian fisik, Islam menawarkan pandangan yang lebih komprehensif tentang makna hidup dan mati. Dalam Islam, kehidupan dunia hanyalah ujian sementara sebelum menuju kehidupan abadi di akhirat. Kematian bukanlah sesuatu yang harus dihindari dengan segala cara, melainkan suatu fase yang harus diterima dan disiapkan. Dalam pandangan Islam, usaha untuk memperpanjang hidup secara ekstrem hanya akan memperkuat ikatan dengan dunia materi yang pada hakikatnya fana.
Islam mengajarkan bahwa kehidupan abadi yang sejati bukanlah di dunia ini, tetapi di akhirat. Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa kehidupan dunia hanyalah “permainan dan senda gurau” (QS. Al-Ankabut: 64), sementara kehidupan akhirat adalah yang sebenarnya. Pencarian keabadian di dunia tidak hanya dianggap sia-sia tetapi juga melenceng dari tujuan utama manusia diciptakan, yakni untuk beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Keabadian sejati tidak terletak pada perpanjangan umur fisik, melainkan pada bagaimana manusia menyiapkan diri untuk akhirat dengan memperbanyak amal kebajikan, memperkuat keimanan, dan menjauhi perbuatan dosa.
Kritik Terhadap Pencarian Hidup Abadi Secara Fisik
Pencarian keabadian secara fisik seperti yang dilakukan oleh Johnson bukan hanya menunjukkan kesalahpahaman mendasar tentang hakikat kehidupan, tetapi juga mencerminkan masalah etis dan sosial yang lebih luas. Pendekatan ini, meskipun tampak inovatif dan futuristik, memperkuat ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Ketika individu seperti Johnson bisa menghabiskan jutaan dolar untuk memanjangkan hidupnya, banyak orang di dunia ini yang bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka untuk bertahan hidup. Ini adalah bukti lebih lanjut dari kegagalan kapitalisme untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan sosial.
Dari perspektif Islam, pencarian keabadian yang egois seperti ini dapat dilihat sebagai bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Allah. Usaha manusia untuk “menjadi Tuhan” melalui teknologi dan sains, pada akhirnya hanya akan membawa kehancuran, baik bagi individu maupun masyarakat. Islam menekankan pentingnya tawakal, yaitu sikap pasrah dan berserah diri kepada ketetapan Allah. Tidak ada teknologi atau ilmu pengetahuan yang dapat menandingi kehendak Allah, termasuk dalam hal kehidupan dan kematian.
Solusi Islam: Menghadapi Hidup dan Mati dengan Tawakal dan Iman
Sebagai solusi, Islam menawarkan pandangan hidup yang lebih tenang dan transendental. Alih-alih berfokus pada usaha-usaha ekstrem untuk menghindari penuaan dan kematian, Islam mengajarkan umatnya untuk menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh akan tujuan akhir, yakni kehidupan di akhirat. Dengan memperbanyak amal saleh, menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, dan memperkuat ibadah kepada Allah, manusia dapat menemukan kedamaian dalam menghadapi kematian sebagai transisi menuju kehidupan yang lebih baik dan kekal.
Kesadaran bahwa hidup ini sementara, dan bahwa keabadian yang sejati hanya ada di sisi Allah, memberi manusia rasa tenang dan tawakal dalam menjalani setiap fase kehidupan. Tidak ada ketakutan berlebih terhadap kematian, karena ia bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan abadi yang sesungguhnya. [Rn]
0 Comments: