Headlines
Loading...
Oleh. Irmawati

Kenaikan upah minimum kembali memanas akhir-akhir ini. Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Subchan Gatot mengatakan bahwa mulai dari Sabtu—Minggu hingga Senin, Dewan Pengupahan Nasional sudah melakukan sidang. Bahkan di hari Minggu ada rapat khusus menteri di mana semua membahas soal pengupahan.

Tahun ini jika mengikuti PP 51/2024, APINDO ingin membuat skala upah. Pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun akan ada kenaikan gaji dengan skala tergantung kemampuan perusahaan, berkisar antara 1—3 persen (CNBC Indonesia, 7/11/2024).

Meski pada 2025 upah buruh akan dinaikkan. Akan tetapi, pada tahun 2025 pajak juga dinaikkan. Ditambah dengan adanya ketentuan upah minimum, maka kenaikan upah buruh tidak sepadan. Upah buruh masih terhitung rendah untuk mencukupi kebutuhan yang serba mahal.

Oleh karena itu buruh terus menyuarakan berbagai tuntutan, dengan harapan kehidupan kaum buruh sejahtera. Akan tetapi, meski tuntutan yang dilayangkan tidak jauh berbeda dari sebelumnya, namun ternyata hingga kini belum membuahkan hasil. Mereka masih bernasib sama. Alih-alih mampu memberikan kesejahteraan, faktanya kebijakan yang ada terus memihak pengusaha, bukan pada kaum buruh. Terbukti dengan disahkannya UU Cipta Kerja. 

Hal ini mencerminkan bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, mustahil terjadi kenaikan upah yang signifikan. Sistem kapitalisme dengan asas materinya, meniscayakan biaya produksi yang kecil dengan mengharapkan keuntungan yang besar. 

Dalam kapitalisme, buruh hanya dianggap sebagai faktor produksi untuk mendapat laba yang besar. Karena konsep upah dalam sistem kapitalisme menyesuaikan pada standar hidup minimum di tempat bekerja. Ini dapat dilihat pada pemberian gaji rendah kepada buruh dengan waktu kerja yang lama. Karena kondisi buruh yang hidup dalam keadaan pas-pasan, mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan upah tersebut.

Meskipun pemerintah telah memberikan berbagai regulasi untuk mengimbangi nasib buruh, tetap saja hal itu merugikan buruh. Sebab negara hanya berperan sebagai regulator antara pengusaha dan rakyat. Negara membuat regulasi yang hanya mempermulus kepentingan para kapitalis. Jika negara ini terus menerapkan sistem kapitalisme, jelas, nasib buruh akan tetap keruh.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Buruh dalam Islam adalah bagian dari rakyat yang harus diurusi oleh negara. Negara bertanggung jawab menjamin kesejahteraan warga negara, termasuk buruh. Baik itu pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Negara akan memastikan tidak ada rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

Begitu juga terkait upah. Dalam Islam, upah ditentukan dalam akad kerja berdasarkan keridaan kedua belah pihak. Upah akan ditentukan sesuai manfaat yang diberikan oleh pekerja, lama bekerja, jenis pekerjaan, risiko, dan lainnya. Karena itu, buruh akan mendapatkan upahnya secara makruf. Sementara itu perusahaan pun akan mendapatkan manfaat yang baik dari karyawannya. 

Islam juga sangat menolak perilaku eksploitatif terhadap karyawan. Pengusaha menyadari membayar upah karyawan tepat pada waktunya adalah amanah yang harus segera ditunaikan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
"Sebelum kering keringatnya bayarlah upah kepada karyawan, dan terhadap apa yang dikerjakan beri tahukan ketentuan gajinya." (HR Baihaqi)

Dengan demikian, hanya dengan sistem Islam yang diterapkan secara kafah, buruh menjadi sejahtera. Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: