Headlines
Loading...
Ironi Penegakan Hukum Kasus Korupsi dalam Sistem Kapitalisme

Ironi Penegakan Hukum Kasus Korupsi dalam Sistem Kapitalisme

Oleh. Umi Hafizha 

Korupsi masih terus terjadi di negeri ini, baik dari kalangan DPR, pemerintah, maupun yudikatif. Belum lama ini Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan mantan Menteri Perdagangan tahun 2015—2016 Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong sebagai tersangka perkara dengan tindak pidana korupsi kegiatan impor gula.

Direktur Penyidik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan impor gula kristal putih seharusnya hanya dilakukan BUMN, namun Tom Lembong mengizinkan PT AP untuk mengimpor. Kejagung juga mengatakan persetujuan impor yang dikeluarkan Tom Lembong itu tidak melalui rapat koordinasi dengan institusi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Akibat kebijakan tersebut negara mengalami kerugian Rp400 miliar (detik.com, 29/10/2024). 

Kasus impor gula sebenarnya juga terjadi pada masa jabatan menteri setelah Tom Lembong bahkan dalam jumlah lebih besar. Namun nyatanya hingga hari ini belum ada penyelidikan yang mendalam. Hal ini menimbulkan dugaan ada politisasi kasus Tom Lembong. 

Kasus lain yang menimbulkan pertanyaan adalah pemberian fasilitas jet pada Kaesang Pangarep. KPK menetapkan bahwa kasus tersebut tidak termasuk dalam gratifikasi.

Menyikapi hal tersebut Sekjen PDI-P Hasto Kristianto mengatakan bahwa penegakan hukum seharusnya memberikan keadilan dan tidak tebang pilih. Dia merasa khawatir keputusan KPK ini akan berdampak buruk terhadap proses penegakan hukum. Karena masyarakat bisa menganggap jika hukum hanya ditegakkan kepada pihak-pihak yang tak memiliki kedekatan dengan kekuasaan (kompas.com, 3/11/2024). 

Sungguh miris, melihat perbedaan yang dilakukan negara terhadap berbagai dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi. Sikap penegak hukum tampak jelas memperlihatkan adanya tebang pilih penegakan hukum. Inilah gambaran penegakan hukum dalam sistem sekuler-kapitalisme, di mana yang kuat akan mengalahkan yang menang. Pihak yang kuat akan menang melawan hukum. Kemenangan ini bisa terjadi karena hubungan kekerabatan, nasab, persahabatan, hubungan bisnis, kedudukannya sebagai bangsawan, pejabat, tokoh atau karena kekuatannya dengan kekuasaan dan penguasa. Posisi atau kedudukan mereka bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum. 

Inilah cerminan kekuasaan yang dapat dimainkan. Sistem kapitalisme-demokrasi menjadi penyebab utama munculnya bibit-bibit korupsi hingga membudaya di sebuah negeri. Sebab kapitalisme telah menjauhkan peran agama dari kehidupan sehingga aturan yang berlaku sarat dengan asas manfaat dan kepentingan golongan tertentu. Oleh karena itu, pemberlakuan ideologi kapitalisme dengan akidah sekularismenya tidak boleh dibiarkan berlangsung lama.

Sejatinya ada sistem lain yang memberikan solusi tuntas dan sahih atas persoalan ini, yakni sistem Islam. Dalam Islam, korupsi dipandang sebagai perbuatan haram dan merupakan pelanggaran hukum syarak. Oleh karena itu negara harus memberantas aktivitas korupsi hingga ke akar-akarnya.

Penerapan syariat Islam secara menyeluruh yang diterapkan negara Islam yakni Khilafah akan sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik terkait pencegahan maupun penindakan. Secara praktis pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan melalui:
Pertama, penanaman iman dan takwa khususnya kepada pejabat dan pegawai. Aspek ketakwaan menjadi syarat utama dalam memilih pejabat, bukan kedekatan dan balas jasa politik. Ketakwaan ini akan mencegah pejabat dan pegawai melakukan korupsi. 

Kedua, sistem penggajian dan kompensasi harus layak sehingga tidak ada alasan bagi siapa pun untuk melakukan korupsi. 

Ketiga, ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul (haram) serta penerapan dan pembuktian terbalik. Ini disertai dengan pencatatan harta pejabat dan aparatur negara serta audit secara berkala. Jika dianggap mencurigakan maka yang bersangkutan harus membuktikan harta yang diperoleh benar dan legal. Jika tidak mampu maka jumlah yang tidak wajar itu disita negara baik sebagian atau seluruhnya. 

Keempat, hukuman yang diberikan harus memberi efek jera yaitu dalam bentuk sanksi takzir. Hukum tersebut bisa berupa denda, penjara, bahkan bisa sampai hukuman mati sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulul bisa ditambah dengan denda. Gabungan kedua ini dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor.

Penegakan hukum Islam ini akan dijalankan oleh orang-orang yang amanah, yang memiliki ketakwaan tinggi. Sebab Islam memberikan syarat penegakan hukum harus secara adil. Dalam penegakan hukum tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka atau tidak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 8 yang artinya: "Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat pada ketakwaan."

Sungguh hanya penerapan sistem hukum Islam di bawah institusi Khilafah yang mampu menjamin terwujudnya keadilan hukum di tengah masyarakat. Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: