Headlines
Loading...

Oleh. Nurfadilah Kustanti

Sudah setahun, sejak peristiwa Thaufanul Aqsha terjadi. Begitu banyak pemberitaan di media mengenai pembantaian saudara-saudara kita di Palestina. Pun di wilayah Myanmar sebelah barat tepatnya, yaitu di Rakhine Arakan, berbatasan langsung dengan Bangladesh. 

Saudara kita seiman juga mengalami kekerasan ekstrem dan diskriminasi, termasuk pembantaian dan pengusiran.

Sejarah mencatat, kejahatan rezim Myanmar sejak tahun 1948, ketika Myanmar dimerdekakan oleh Inggris, ketika itu etnis Rohingnya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Mereka dianggap imigran gelap dari Bangladesh, karena orang-orang etnis Rohingnya secara fisik mirip dengan Bangladesh. 

Pada tahun 1982 pemerintah Myanmar menerbitkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang di dalamnya tidak mengakui etnis Rohingnya sebagai suku resmi di Myanmar. Akibatnya banyak muslim Rohingnya melarikan diri ke negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Malaysia, dan juga Indonesia.

Saat ini kondisi muslim Rohingnya banyak yang masih tinggal di kamp pengungsian di Bangladesh, dengan lebih dari 900.000 pengungsi di sana. Dikatakan di Unicef.org bahwa disana mereka menghadapi kondisi hidup yang sangat sulit, termasuk kekurangan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan.

Maka dari itu banyak juga dari mereka yang lari mencari perlindungan ke negara-negara tetangga dengan berbekalkan kapal yang mungkin normalnya hanya bermuatan kurang lebih 30 orang, tapi karena keadaan, terpaksa kapal tersebut diisi dengan lebih dari 100 orang.

Namun perjalanan mereka bukanlah tanpa bahaya. Banyak yang menghadapi kekerasan, diusir dan akhirnya terombang ambing di tengah lautan. Mereka adalah saksi bisu dari ketidakadilan yang terus berlangsung.

Pada hari Kamis, 24 Oktober 2024 dikatakan di laman Kompas.com, sebanyak 146 pengungsi Rohingnya terdampar di kecamatan Pantai Labu, kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Mereka berlayar selama 17 hari dari kamp pengungsian di Bangladesh. 

Akhirnya mereka boleh mendarat meski sempat ditolak oleh warga setempat karena berbagai alasan. Sebelumnya, beberapa kapal juga pernah mendarat di aceh sejak tahun 2020, kemudian November 2023, sampai pada tanggal 21 Oktober 2024 kemarin dikatakan di Serambi News, gelombang pengungsi Rohingnya kembali terpantau masuk di perairan Aceh Selatan. Dan hal ini akan terus terjadi entah sampai kapan.

Akar permasalahan yang dapat diambil dari penindasan yang terjadi di Rohingnya yaitu :

1.Bahwa ketika kaum muslim berada di wilayah minoritas maka mereka pasti mengalami tekanan dan penindasan yang luar biasa baik dari pihak rezim maupun dari mayoritas penduduk di wilayah tersebut.

2.Kondisi kaum muslim Rohingnya ataupun kaum muslimin yang lain, yang masih tertindas selama bertahun-tahun disebabkan karena saat ini kita masih hidup dalam lingkup sistem kapitalisme, dimana ketika terjadi penindasan untuk kaum muslimin, tidak diselesaikan atau malah diabaikan. Meskipun PBB yang mengatasnamakan badan perdamaian dunia, pun tidak bisa menyelesaikan krisis muslim Rohingnya.

3.Saat ini penguasa negeri-negeri muslim tengah berada di bawah payung kapitalisme dengan sekat-sekat nasionalisme di dalam kehidupannya. 
 
Pada tahun 1967 negara-negara ASEAN diantaranya Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia, mengambil kesepakatan dengan prinsip non intervensi. Dalam hal ini mereka menganggap bahwa ini adalah masalah Myanmar, yang pada akhirnya mereka tidak bisa intervensi atau ikut campur atas masalah tersebut.

Dari hal-hal tersebut, umat Islam harus diingatkan kembali, bahwasanya persoalan muslim Rohingnya adalah persoalan umat Islam. Sama halnya persoalan kaum muslimin yang saat ini masih tertindas sebagai minoritas di seluruh dunia seperti di Palestina, Uyghur, Suriah, semuanya itu adalah sama-sama persoalan umat Islam.

Meskipun simpang siur kita mendengar masalah Rohingnya ini di luar sana dengan pemberitaan yang belum tentu benar adanya, sikap kita sebagai seorang muslim seharusnya saling memuliakan dengan kaum muslim lainnya.

Bantuan-bantuan kemanusiaan berupa uang, makanan, bahkan tempat tinggal untuk mereka adalah solusi temporal atau sementara. Mereka teraniaya, dibantai, dibunuh oleh penguasa mereka sendiri. Maka yang berhak membela dan melindungi mereka sejatinya adalah sebuah negara. Dalam sebuah hadis dikatakan,

اَلْمُـسْــلِمُ أَخُو اْلمُسْلِمَ لَا یَظْـلِمُ وَلَایُظْلَمُ ـ منفق علیھ 


"Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya, tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya dizalimi." (Muttafaqun 'Alaih).

Sudah selayaknya, kita sebagai sesama muslim harus membela saudara kita, karena akidah kita sama yaitu akidah islam. Di dalam akidah ini tolok ukur dari seluruh amal perbuatan haruslah sesuai dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah Swt. 

Di dalam Islam, negara adalah pihak yang mengatur seluruh urusan rakyat, dan melaksanakan aktifitasnya sesuai dengan perintah-perintah Allah dan larangan-laranganNya. Inilah yang melahirkan ketenangan bagi setiap muslim.

Krisis muslim Rohingnya yang terjadi sampai saat ini belum selesai. Hal ini membuktikan bahwa sistem demokrasi sekuler atau kapitalisme yang saat ini mendominasi di negeri-negeri kaum muslim yang katanya mampu menyelesaikan permasalahan berbangsa dan bernegara ternyata hanyalah utopis. 

Maka kita tidak layak bergantung pada sistem ini. Satu-satunya solusi adalah kembali kepada Islam dengan menerapkan Islam kafah dalam naungan Khilafah Islamiyah yang tidak mengenal konsep-konsep batil dengan batas negara atau nasionalisme, dengan ekonomi liberal yang memiskinkan, menjadikan negeri-negeri kaum muslimin itu tunduk kepada negara-negara kafir. 

Dan kita akan kembali membangun karakter negara sebagaimana dalam alquran surat Al-Fath ayat 29, penguasa negeri Sang Khalifah dalam naungan Khilafah, orang-orang yang di sisi Muhammad saw., mereka keras terhadap orang-orang kafir dan mereka lemah lembut terhadap kaum muslimin. Wallahualam bissawab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: