Headlines
Loading...
Oleh. Ka Yan

Menjadi guru adalah pilihan profesi yang sangat mulia. Sayangnya, menjadi guru tidak selalu menjamin kehidupan yang nyaman dan sejahtera. Kebalikannya, menjadi guru di zaman sekarang harus siap dengan risiko berbagai bentuk kriminalisasi. Seperti kasus bapak Sambudi, guru SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo; Pak Zaharman, Guru SMAN 7 Rejang Lebong, Ibu Khusnul Khotimah Guru SD Plus Darul Ulum, Jombang; dan yang terbaru kasus Ibu Supriyani Guru Honorer SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan yang dilaporkan orangtua murid dengan tuduhan penganiyaan anak anggota polisi. (viva.co.id, 1/11/2024).

Tentu saja masih banyak kasus serupa yang menimpa para guru dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik. Banyak tantangan yang dihadapi guru dalam mendidik siswa. Pasalnya, beberapa upaya dalam mendidik siswa sering disalah artikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. 

Selain kriminalisasi, banyak guru lainnya yang menjadi korban kekerasan akibat reaksi berlebihan dari orangtua siswa bahkan ada yang hampir buta. Padahal apa yang dilakukan para guru adalah dalam rangka mendidik dan menertibkan siswa di sekolah sebagai tanggung-jawab dari perannya. 

Di sisi lain, ada perbedaan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru dan masyarakat serta negara. Masing-masing memiliki cara pandang sendiri terhadap pendidikan anak. Akhirnya, muncul konflik diantara mereka, termasuk cara guru dalam mendidik siswa. Guru pun akhirnya ragu dalam menjalankan perannya terkhusus dalam menasihati siswa. 

Fakta ini membuat gesekan semakin tajam. Orang tua sibuk dengan pekerjaannya dan cenderung menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada sekolah. Orang tua kerap menyalahkan pihak sekolah jika anaknya melakukan sesuatu yang buruk. 

Begitu pula pihak sekolah, tuntutan akademik dan akreditasi membuat pola mengajar guru hanya fokus pada penilaian akademik dan kurang memprioritaskan aspek moral, apalagi agama. Akibatnya, rasa hormat siswa pada guru dan orang tua luntur. 

Pada level negara, nyatanya negara tidak mampu melindungi dan menjaga hak-hak guru. Keadilan terhadap guru tak ada realisasinya karena hukum bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. 

Kriminalisasi dan kekerasan terhadap guru merupakan malapetaka peradaban. Pasalnya, adab kepada guru menjadi salah satu kunci keberkahan ilmu. Apabila terjadi kriminalisasi bahkan kekerasan itu artinya adab terhadap guru sudah hilang dari benak dan pikiran generasi. Hilangnya adab pada guru akan mengakibatkan generasi hidup dalam kegelapan dan kebodohan. 

Sayangnya kondisi ini tidak mendapatkan perhatian lebih. Kasus serupa terus saja berulang dan semakin marak terjadi. Fakta inilah yang menjadi bukti kegagalan sistem pendidikan saat ini. Tidak kita mungkiri bahwa kegagalan ini terjadi karena sistem pendidikan saat ini dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme (sebuah sistem yang hanya berorientasi pada kepuasan materi dan berdiri atas akidah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan). Pemisahan ini tentu akan melahirkan bencana kehidupan, karena manusia tidak lagi diatur dengan aturan Sang Pencipta yang sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia. 

Hal ini sangat berkebalikan dengan Islam. Islam menjaga hak dan kehormatan guru karena perannya yang sangat mulia. Guru adalah pemilik ilmu dan pemberi ilmu. Sehingga, para guru berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dalam memberikan ilmunya dengan tujuan meraih pahala sebanyak-banyaknya.

Negara akan memberikan gaji yang layak dan cukup untuk para guru, juga menjamin kesejahteraan guru agar maksimal dalam menjalankan perannya tanpa memikirkan bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Selain itu, negara juga menjamin keamanan guru dengan perlindungan hakiki berdasarkan hukum syara. Sehingga profesi apa pun termasuk guru akan mendapat jaminan perlindungan dari negara.

Tentu saja ini tidak akan terwujud tanpa diterapkannya hukum Islam secara menyeluruh di semua aspek kehidupan. Dengan landasan hukum Islam, maka siswa, guru, orangtua, dan negara akan paham hak dan kewajibannya dalam proses pendidikan. [My]

Baca juga:

0 Comments: