Headlines
Loading...
Oleh. Sri Ratna Puri (Pegiat Opini Islam)

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kembali menegaskan, bahwa Pajak Penghasilan (PPN) akan naik dari 11% menjadi 12%, dan mulai berlaku mulai tahun depan. Penegasan ini menuai riuh. Terutama di kalangan pengusaha kelas menengah ke bawah.  Khususnya pengusaha di bidang ritel, karena mengingat posisi daya beli masyarakat yang belum pulih pasca terjangan pandemi Covid, serbuan produk impor, serta bergesernya transaksi ke arah online shop. 

Demi menjaga kesehatan APBN, sehingga perekonomian di tahun depan bisa berjalan sesuai harapan. Setidaknya, itu yang digaungkan sebagai alasan. Namun yang menjadi pro dan kontra, bahwasannya pemberlakuan pajak PPN ini, tidak berlaku bagi pengusaha kelas atas. Malah di beberapa kasus, diturunkan dan malah dibebaskan. Seperti pajak kendaraan mewah, tax amnesty pada perusahaan besar yang menunggak pajak tahunan, dll..

Pungutan Pajak Ciri Khas Negara Kapitalis

Gembar-gembor keberhasilan suatu negara, karena pemberlakuan pungutan pajak (termasuk PPN), sering kita dengarkan. Keberadaan pesatnya pembangunan, fasilitas umum seperti jalan raya, alat transportasi, gaji pegawai negeri, pembangunan sekolah, layanan kesehatan, dll., dibiayai oleh pajak. Inilah bukti, betapa pentingnya pajak. 

Swedia, Jerman dan Singapura, bahkan Amerika, merupakan negara-negara maju yang ditopang pajak. Klaim bahwa semakin tinggi pemberlakuan pajak, layanan negara kepada rakyat semakin meningkat. Bila perlu, di seluruh aspek kehidupan kena pajak. Supaya dana yang masuk kas negara, semakin banyak.

Inilah ciri khas dari negara yang menerapkan sistem Kapitalis. Seperti transaksional. Menghasilkan uang rakyat disayang, tidak menghasilkan uang rakyat dikorbankan. Minimal, korban perasaan. Melihat hidupan negara tetangga rakyatnya semakin sejahtera, hidup di negara sendiri setengah mati. 

Parahnya, meskipun dengan nilai 11% per tahun, Indonesia sudah dinyatakan sebagai negara yang memberlakukan PPN tertinggi di Asia (apalagi dinaikkan menjadi 12%), perekonomian Indonesia masih jauh dari kata stabil. Seperti belum lama terjadi, badai  inflasi-defilasi, serta resesi mengintai negeri ini. Serangan Rusia ke Ukraina, genosida di Palestina, memicu pada naik turunnya harga minyak dunia, ini pun berpengaruh pada Indonesia. Jadi, pajak bukanlah penentu kesejahteraan. 

Pajak dalam Sistem Islam

Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan agama yang aturannya mencakup seluruh aspek kehidupan. Termasuk skala pribadi, masyarakat dan negara. Semua ada aturan mainnya. Pada pemberlakuan pajak, misalnya. Dalam Islam, pajak tidak ditempatkan sebagai penopang utama anggaran negara. 

Pajak, diberlakukan ketika posisi kas negara benar-benar tidak ada. Itupun, tidak diberlakukan pada semua warga negara. Hanya bagi warga negara laki-laki yang mempunyai harta berlebih dan sifatnya temporer. Artinya, bila sudah mencukupi kebutuhan, akan dihentikan. Tidak terus menerus seperti sistem sekarang, dan tidak bermacam-macam jenis pungutan. 

Memang ada sebagian ulama menyebut, jizyah pada warga negara non muslim, sebagai pajak. Namun, pemberlakuannya sebagai syarat ketundukan seseorang pada negara Islam, di mana akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan umat muslim lainnya (dalam hak-hak pelayanan negara Islam), walaupun tidak memeluk akidah Islam. Itupun, hanya untuk laki-laki baligh, produktif. Anak-anak, wanita dan orang tua, tidak diwajibkan membayar jizyah.
 
Sumber Pemasukan Negara Islam

Disebutkan di atas, bahwa negar Islam tidak menjadikan pajak sebagai penopang kas negara. Lalu, dari mana sumber pemasukan negara Islam? 

Ada beberapa pos diantaranya: 
1. Ghanimah: Harta yang didapat dari peperangan.
2. Fa'i: Harta yang didapatkan tanpa terjadi peperangan. 
3. Khumus: Harta temuan. 
4. Kharaj: Harta dari tanah atau wilayah yang ditaklukkan. 
5. Zakat harta: Harta yang diambil dengan hitungan dan jenis barang tertentu. Misal 2,5% emas, perak, kurma, gandum, dll.. 
6. Sedekah: Harta yang dikeluarkan warga negara, sifatnya tidak mengikat. 
7. Harta wakaf: Harta yang diberikan untuk diwakafkan. Seperti masjid, perkebunan, dll.. 
8. Pengelolaan harta milik umum: Harta yang didapatkan dari pengelolaan harta milik umum. Seperti tambang, laut, sungai, hutan, dll.. 
9. Pajak: Harta yang dikumpulkan dari warga negara yang kaya dan bersifat sementara. 

Melihat rincian dari pos-pos pemasukan kas negara pada sistem Islam, meniscayakan adanya kesejahteraan. Sebab, sistem negara Islam, bersumber dari Zat Pencipta, yang tahu benar kekurangan manusia. Aturannya memanusiakan manusia, cocok bagi manusia, memenuhi apa yang dibutuhkan manusia. 

Islam, mewajibkan negara berada pada posisi sebagai pelayan umat. Bukan sebagai makelar, apalagi lintah darat. Sehingga, tidak ada praktik kecurangan, jual beli jabatan, kampanye hitam, yang berimbas pada kebijakan yang merugikan rakyat. Seperti pemberlakuan pajak, yang mencekik rakyat. Wallahualam bissawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: