surat pembaca
Pemimpin Baru, Benarkah Harapan Baru?
Oleh. Hana Salsabila A.R
Badai pemilu telah dilalui bangsa ini, kini Indonesia telah resmi melantik pemimpin baru. Dengan motto khasnya yakni "Menuju Indonesia emas 2045." Berbagai kebijakan baru dibuat, pemimpin-pemimpin baru dibentuk. Diharapkan bisa membangun dan mengembangkan negeri ini jadi lebih baik. Rencana visi misi pun mulai digembor-gemborkan. (20/10/2024).
Dalam pidato perdana selepas pelantikan, Prabowo selaku presiden baru menyampaikan seruan ajakan untuk mengentaskan masalah negara. Kemiskinan, korupsi, dan berbagai problematika lainnya. Namun, benarkah demikian?
Mengulik dari kepemimpinan sebelumnya, kita dapati bahwa seruan dan visi misi demikian sudah seperti settingan default dari era pemimpin sebelumnya, yang artinya hampir semua janji dan misi yang disampaikan tak jauh beda. Mengentaskan kemiskinan, korupsi, menyeimbangkan harga pokok sembako, mempermudah mencari pekerjaan, pendidikan, dsb. Itu semua sudah direncanakan sejak lama. Namun faktanya sangat berbanding terbalik.
Yang katanya negara demokrasi, namun hakikatnya justru melahirkan kebijakan hanya memuaskan kehendak para oligarki, merombak hukum sesuka hati demi menuruti para pemimpin yang serakah dan zalim. Dapat kita lihat fakta kebijakan di era pemerintahan sebelumnya. Pajak terus melambung, pekerjaan semakin dipersulit, banyak kasus PHK, koruptor terus merajalela, bahkan di dunia pendidikan sekalipun seperti kasus terbaru guru yang dibawa ke pengadilan hanya karena menegur murid, padahal gaji guru terutama guru honorer tidak lebih dari 300 ribu per bulannya. Sementara mereka diberlakukan tidak adil, namun apakah hal seperti ini diperhatikan oleh pemerintah? Mungkin hanya dianggap angin lalu saja.
Itu mungkin hanya segelintir fakta kegagalan negeri ini, namun sebenarnya jauh lebih dari itu. Banyak fakta kezaliman dan kriminalitas yang masih mengakar di negeri ini. Dan semua kegagalan ini berinduk dari satu hal, yaitu kapitalisme yang kemudian juga melahirkan demokrasi. Kapitalisme yang senantiasa menguntungkan kaum atas dengan menekan masyarakat bawah. Juga ia merupakan induk dari demokrasi yang konon menciptakan hukum dari rakyat untuk rakyat, namun realitanya dari rakyat kelas atas untuk kelas atas. Maka tak heran jika kebijakan yang dilahirkan malah merugikan rakyat bawah dan hanya menguntungkan bagi rakyat kelas atas (kaum oligarki).
Karena sistemnya memang sudah rusak dari sananya. Maka, mau diganti berapa kalipun pemimpinnya, mau berkali-kali pidato dengan naskah yang sama atau mungkin revisi, takkan mengubah apa pun. Karena hakikatnya sistemlah yang membentuk pemimpin dan negeri ini.
Dalam Islam ada istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, yang artinya sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya. Hakikatnya mewujudkan negeri yang aman, tentram dan sejahtera hanya mampu terjadi jika menggunakan Islam sebagai satu-satunya sistem negara. Hal tersebut telah terbukti semenjak zaman kedaulatan Islam dahulu yakni dengan berpedoman pada aturan Islam, Wallahualam. [Hz]
0 Comments: