Headlines
Loading...
Problematika Kabinet “Gemoy” dalam Paradigma Demokrasi Kapitalisme

Problematika Kabinet “Gemoy” dalam Paradigma Demokrasi Kapitalisme

Oleh. Novi Ummu Mafa

Pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Prabowo menyuguhkan satu langkah awal yang kontroversial dengan pembentukan Kabinet Merah Putih, sebuah kabinet besar dengan 53 anggota. Tindakan ini langsung menimbulkan perdebatan luas terkait efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan politik di Indonesia (detik.com, 22-10-2024).

Konsep “politik akomodatif” yang mengakomodasi sebanyak mungkin partai politik dalam kabinet ini dipandang sebagai bentuk adaptasi pada realitas sistem politik Indonesia yang didominasi oleh multi partai. Praktik politik akomodatif tersebut, yang dirancang demi stabilitas politik, sebenarnya merefleksikan kontradiksi dalam demokrasi kapitalisme yang sering kali gagal memenuhi ekspektasi ideal rakyat.

Namun, akomodasi politik ini sering mengorbankan efektivitas pemerintahan. Berdasarkan pengalaman sejarah kabinet besar di masa lalu, seperti Kabinet Dwikora I dan II, kabinet dengan jumlah anggota yang besar seringkali justru terbebani oleh permasalahan birokrasi dan sinkronisasi kebijakan yang lemah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Kabinet Merah Putih akan lebih banyak menyerap anggaran untuk kepentingan administratif ketimbang pengembangan kebijakan yang strategis dan berdampak langsung pada masyarakat.

Problematika Zaken Kabinet: Idealisme yang Terkungkung dalam Realitas 

Zaken kabinet atau kabinet yang diisi oleh para profesional dianggap sebagai alternatif yang sering didambakan publik karena lebih ideal dalam mewujudkan pemerintahan yang efisien. Namun, dalam konteks presidensial dan sistem multi partai di Indonesia, zaken kabinet sering dianggap utopis. Pola pemilihan menteri yang lebih mengutamakan akomodasi politik mencerminkan lemahnya sistem demokrasi kapitalisme, yang cenderung menjadikan stabilitas politik sebagai prioritas utama daripada kompetensi dan profesionalisme. Kapitalisme politik memperkuat kecenderungan ini dengan memperdagangkan posisi strategis kabinet sebagai “jatah” yang diberikan kepada partai untuk mempertahankan pengaruh politik dan finansial.

Praktik Politik Akomodatif dalam Demokrasi Kapitalisme 

Pembentukan kabinet yang mengakomodasi berbagai kepentingan partai mencerminkan praktik politik akomodatif dalam sistem demokrasi kapitalis. Di satu sisi, langkah ini memperlihatkan usaha Presiden Prabowo untuk memperoleh dukungan politik demi keberlangsungan kekuasaan. Namun, sistem ini justru semakin memperlihatkan lemahnya struktur demokrasi kapitalisme dalam memprioritaskan kepentingan rakyat. Fenomena ini mengonfirmasi bahwa dalam demokrasi kapitalis, kepentingan politik dan finansial dari para elite menjadi prioritas dibandingkan dengan kepentingan publik. Rakyat pun hanya menjadi objek yang digunakan untuk mendukung kebijakan politis yang berpihak pada elite.

Sebaliknya, dari perspektif Islam, pemerintahan seharusnya dibangun atas dasar amanah, di mana setiap pemimpin wajib memastikan setiap keputusan yang diambil benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Dalam pemerintahan Islam, pemimpin tidak tunduk pada kepentingan kelompok tertentu melainkan mengutamakan maslahat rakyat sesuai prinsip-prinsip syariat. Oleh karena itu, praktik politik akomodatif dalam demokrasi kapitalisme tidaklah relevan dengan tujuan kepemimpinan Islam yang menekankan keadilan dan kemandirian.

Sistem Islam sebagai Solusi atas Krisis Politik dan Ekonomi

Secara konseptual, sistem Islam menawarkan struktur pemerintahan yang lebih ramping dan efektif karena tidak didasarkan pada kepentingan politik pragmatis. Dalam sistem ini, penunjukan pejabat didasarkan pada kompetensi dan ketakwaan yang dimilikinya, bukan pada latar belakang politik atau kedekatan dengan pemimpin. Dengan pendekatan ini, pemerintahan lebih mampu menjaga integritas dan stabilitas tanpa mengorbankan efektivitas kerja.

Dalam hal ekonomi, kapitalisme menitikberatkan akumulasi keuntungan, sering kali dengan mengabaikan kesejahteraan publik. Dalam perspektif Islam, sistem ekonomi didesain untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial, di mana pemerintah mengelola sumber daya alam demi kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan kapitalis atau elite tertentu. Pendekatan ini memastikan bahwa kebijakan ekonomi tidak hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan pemerataan yang berkelanjutan.

Sistem politik Islam bertujuan mewujudkan pemerintahan yang adil dan amanah, di mana pemimpin bertanggung jawab langsung kepada Allah Swt. atas segala kebijakan yang diambil. Pengangkatan pemimpin dalam sistem Islam didasarkan pada ketakwaan, kompetensi, dan keadilan, bukan semata-mata pada kekuasaan politik. Selain itu, pemimpin harus konsisten menjalankan syariat Islam tanpa kompromi.

Rasulullah saw. Bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Negara harus berperan aktif dalam memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil sesuai dengan syariat Islam. Dalam hal ini, seluruh kebijakan yang menyangkut publik harus senantiasa diuji berdasarkan Al-Qur'an dan Sunah. Ini termasuk kebijakan ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Dengan demikian, setiap kebijakan yang dibuat akan terarah pada kemaslahatan masyarakat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 59 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian."

Khatimah

Dalam sistem demokrasi kapitalisme yang terus-menerus menempatkan rakyat sebagai objek politik. Pengalaman buruk dari kabinet besar dan praktik akomodatif dalam politik mengindikasikan perlunya sistem yang lebih fokus pada tujuan hakiki kepemimpinan. Sistem Islam, yang menawarkan kepemimpinan berbasis amanah dan ekonomi yang berkeadilan, dapat menjadi solusi yang tepat demi tercapainya kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.

Penerapan sistem Islam bukan sekadar alternatif, tetapi sebuah solusi bagi masyarakat yang ingin lepas dari berbagai problem yang ditimbulkan oleh sistem demokrasi kapitalis. Hanya dengan sistem Islam yang kafah, keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh umat dapat tercapai. Umat Islam harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk kembali pada ajaran yang diridai Allah Swt., dengan menerapkan prinsip-prinsip syariat Islam kafah dalam setiap aspek kehidupan. [Ay]

Baca juga:

0 Comments: