Headlines
Loading...
Oleh. Purwanti (Ibu Peduli Generasi)

Beberapa waktu lalu  warga-net dikagetkan dengan viral-nya seorang peternak sekaligus pengepul susu sapi asal Pasuruan yang membuang hasil panennya. Tindakan itu dilakukan dikarenakan industri pengolahan susu melakukan pembatasan penyerapan susu dari peternak lokal (CNBC Indonesia.com, 10-11-2024).

Tak hanya itu, seorang pengepul susu UD Pramono di Boyolali, Jawa Tengah, terpaksa menutup usahanya karena terlilit utang pajak sekitar Rp.670 juta. Penutupan tersebut berdampak pada penurunan kesejahteraan dan daya beli peternak, serta merugikan sektor industri pengolahan susu di Jawa Tengah. Setidaknya ada sekitar 1300 peternak yang menggantungkan harapan pada UD Pramono. Lebih dari itu, akses terhadap pakan dan pembiayaan tanpa bunga bisa hilang dan memperparah kondisi perekonomian.

Impor adalah Solusi

Penyebab para peternak sulit menyalurkan susu sapi ke industri pengolahan, diduga disebabkan oleh kebijakan impor yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini demi memenuhi target swasembada susu 2029, sehingga pemerintah terus menggenjot tercukupinya kebutuhan nasional. Dan hal yang wajar dilakukan oleh pemerintah adalah impor.

Menurut data Pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Koperasi, Budi Arie, bahwa konsumsi susu nasional pada 2022 sebanyak 4,44 juta ton. Sedangkan pada 2023 sebanyak 4,6 juta ton. Dan jumlah produksi nasional sebanyak 837.223 ton, atau kurang 20% dari kebutuhan nasional. Hal tersebut menjadi alasan pemerintah untuk melakukan impor. Namun, industri pengolahan susu tidak melakukan impor dalam bentuk susu segar melainkan berupa skim (susu bubuk). 

Impor skim inilah yang menyebabkan harga susu segar mahal dan membuat IPS melakukan pembatasan penyerapan susu lokal (tempo.co, 11-11-2024).

Sejalan dengan hal itu, program MBG juga dikabarkan akan menggaet investor dari Vietnam, demi memenuhi kebutuhan susu nasional. Menurut Mentan, Amran Sulaiman, setidaknya ada lima investor asing yang akan mengembangkan industri susu sapi nasional.  Bahkan pemerintah sudah menyediakan lahan sekitar 10 hektar untuk negara tersebut (katadata.com, 28/10/2024).

Kebijakan negara yang membuka keran impor di tengah produksi susu segar nasional surplus, tentu membuat luka mendalam bagi para peternak, juga berisiko mengancam keberlanjutan sektor peternakan lokal.

Kebijakan Pro Kapital

Di tengah mencuatnya polemik ini, pemerintah menawarkan solusi pragmatis bagi para peternak, berupa hilirisasi susu dan pemberian intensif kepada peternak yang terdampak, sebagai wujud evaluasi terhadap kebijakan impor susu.

Terkait hilirisasi susu, Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, mendorong koperasi-koperasi susu di Indonesia melakukan hilirisasi produk dengan mengolah susu sebagai produk turunan seperti minuman pasteurisasi, yoghurt atau keju. Pihaknya juga telah memerintahkan Lembaga Pengolahan Dana Bergulir (LPDB), untuk menyediakan pembiayaan bagi koperasi susu demi meningkatkan volume dan kualitas produk dan mendorong koperasi mulai memasuki rantai hilirisasi susu.

Program hilirisasi susu sejalan dengan program Cetak Biru Pertanian 2029. Yakni, Indonesia mampu mencapai swasembada susu penuh. Sayangnya, program ini tak mendapat lampu hijau dari Kementerian Perindustrian. Hal ini disebabkan penurunan anggaran pada 2025, yang berdampak pada 9 program prioritas pemerintah. Termasuk hilirisasi industri. 

Jika sudah begini, maka pemerintah akan menggaet investor swasta demi mensukseskan programnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Menkop, bahwa untuk mendapatkan nilai tambah dari produk hilirisasi susu, setiap koperasi boleh bekerja sama dengan pihak lain yakni swasta.

Solusi kedua yang ditawarkan pemerintah, adalah pemberian insentif kepada peternak yang terdampak. Ini jelas solusi sementara.

Langkah pemerintah yang membebaskan bea masuk atau 0% bagi susu impor demi melindungi kepentingan industri nasional perlu dikaji ulang. Pasalnya, langkah tersebut hanya memuluskan para kapital untuk mendapatkan keuntungan lebih besar. Namun, jika bea masuk susu impor tidak 0%, tentu tidaklah mudah. Hal tersebut berdampak pada jumlah keuntungan yang dikejar oleh perusahaan-perusahaan importir dan demi bisnis, tentu mereka menolak.

Masalah lainnya, adalah kestabilan harga susu saat keran impor terbuka.Keberadaan susu impor pastinya menekan harga susu lokal. Padahal, peternak telah mengeluarkan biaya besar dalam masa produksi. Harga susu segar di tingkat peternak saat ini di kisaran Rp7.000 per liter dan harga ini selisih Rp2000 dari harga keekonomian ideal yaitu Rp9.000. Jika satu hari peternak membuang susu sekitar 20 ribu liter, maka mereka harus menanggung kerugian ratusan juta per harinya. Ini merupakan kerugian besar.

Jika memang pemerintah benar serius untuk mengurusi rakyatnya, pemerintah akan melakukan upaya perbaikan dan penguatan produksi susu nasional dari peternak dan sumber daya lokal tanpa mengundang investor. Fakta para peternak membuang susu segar membuktikan bahwa produksi susu nasional berlimpah. Hal ini bertolak belakang dengan klaim pemerintah yang mengatakan bahwa Indonesia harus impor susu demi memenuhi kebutuhan susu nasional. Sejatinya hal tersebut mengungkapkan bahwa pemerintah enggan membantu dan mendorong sektor peternakan sapi perah dan produksi-produksi susu lokal dengan sebaik-baiknya.

Inilah wajah buruk sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini hanya menguntungkan para kapitalis lewat kebijakan-kebijakan yang lahir demi memudahkan aktivitas usaha mereka.

Sistem Politik Islam

Allah Subhanahu Wa Ta'ala befirman:
 
"Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya." (QS. An-Nahl (16) ayat 66)

Susu merupakan bahan pangan hewani yang memiliki kandungan gizi tinggi, mudah ditelan dan dicerna oleh manusia di segala umur.  Tentunya, alasan impor demi mencapai swasembada susu tidak bisa diterima begitu saja. Meskipun, negara Khilafah yang menerapkan sistem Islam juga akan melakukan hal demikian. Akan tetapi, hal tersebut bersifat sementara.

Swasembada pangan bukanlah hal mustahil untuk diwujudkan di negeri ini. Hanya saja, negara tersebut harus mandiri terlebih dahulu. Termasuk kemandirian pangan. 

Pangan merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh negara. Khalifah sebagai pemimpin negara Khilafah beserta jajarannya akan bertanggungjawab menyelesaikan masalah peternakan. Mulai dari sistem pengelolaan, sumber daya, ketersediaan pakan ternak, dan produktivitas. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., 
Imam/khalifah itu laksana penggembala (ra’in) dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Khalifah akan berdiri tegak demi kemaslahatan umat, tak terkecuali para peternak sapi perah. Dalam hal ini, khilafah akan menerapkan sistem politik ekonomi Islam. Untuk mengelola stok susu, Khilafah akan membangun industri-industri pengolahan yang menyerap susu langsung dari peternak, sekaligus menjamin fasilitas infrastruktur yang mendukung. Jika produksi susu surplus, maka Khilafah akan melakukan ekspor ke negara lain. Kebijakan ini diambil, jika kebutuhan konsumsi rakyat telah terpenuhi. 

Demi menjamin nasib para peternak, Khilafah akan menjaga stabilitas harga. Jika impor berdampak pada harga susu lokal, maka negara akan melakukan pembatasan kuota atau penghentian impor tersebut.

Khilafah juga menjamin pemberdayaan penuh terhadap sektor peternakan sapi perah dalam negeri. Khilafah akan mengatur wilayah-wilayah yang potensial bagi peternakan sapi, baik dari sisi geografis, modal usaha, ketersediaan pakan dan kesehatan ternak, termasuk fasilitas pengolahan, penyimpan, penyaluran dan juga transportasi.

Khilafah akan melakukan perbaikan di sektor peternakan dalam negeri, sehingga tidak ketergantungan kepada impor. Tak hanya itu, khilafah akan menjamin kesejahteraan bagi para peternak juga rakyatnya secara menyeluruh, agar memiliki daya beli yang baik untuk mendapatkan susu, sesuai dengan kebutuhan gizi seluruh anggota keluarganya. Begitulah  langkah-langkah serius Khilafah demi memenuhi kebutuhan rakyatnya dan selalu berusaha untuk menyejahterakan rakyatnya.

Kesimpulan 

Maraknya kasus peternak membuang susu sapi membuktikan negara gagal menyejahterakan mereka. Negara hanya mementingkan para kapital. Hanya sistem politik Islam yang menempatkan Khalifah sebagai pihak yang bertanggung jawab menyejahterakan rakyatnya termasuk para peternak sapi perah.

Wallahualam bissawab. [US]

Baca juga:

0 Comments: