OPINI
Absensi Massal DPR, Bukti Krisis Akuntabilitas dalam Demokrasi Sekuler
Oleh. Novi Ummu Mafa
SSCQMedia.Com- Sistem demokrasi sekuler yang menjadi pilar utama pemerintahan modern kerap kali menunjukkan paradoks antara idealisme dan realitas praktiknya. Demokrasi menjanjikan keterlibatan rakyat, akuntabilitas, dan kepemimpinan yang berpihak pada kepentingan umum. Namun, fakta empirik seperti fenomena absensi massal anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dalam rapat paripurna. Hal ini mencerminkan ironi mendalam dalam pelaksanaan sistem ini. Dari 580 anggota DPR, 245 anggota absen dalam rapat paripurna terakhir sebelum masa reses (idntimes.com, 05/12/2024). Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang tanggung jawab, moralitas, dan orientasi kerja para wakil rakyat yang diamanahkan untuk mengemban kepentingan masyarakat luas.
Kelemahan Demokrasi Sekuler
Demokrasi sekuler menunjukkan kelemahan mendasar dalam memastikan akuntabilitas para pemimpin terhadap rakyatnya. Absensi 245 anggota DPR dalam rapat paripurna, meskipun kuorum tercapai dengan kehadiran 335 anggota, mencerminkan rendahnya komitmen terhadap mandat yang mereka emban dan lemahnya pengawasan internal terhadap kinerja legislatif.
Fenomena ini menegaskan bahwa demokrasi sering kali gagal menjaga akuntabilitas, terutama pada institusi yang seharusnya menjadi pengawas utama jalannya pemerintahan. Selain itu, dominasi sistem kapitalisme sekuler memunculkan orientasi kekuasaan berbasis kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga anggota legislatif lebih sering terjebak dalam politik transaksional dan pragmatis yang meminggirkan kepentingan rakyat. Absensi massal ini mengindikasikan preferensi terhadap kenyamanan pribadi dibandingkan tanggung jawab publik.
Demokrasi sekuler juga memberikan ruang bagi kompetisi kekuasaan tanpa landasan moral yang kokoh, di mana proses seleksi pemimpin lebih sering didasarkan pada kekuatan finansial atau popularitas, bukan integritas dan kompetensi. Akibatnya, pemimpin yang dihasilkan cenderung abai terhadap tanggung jawab kolektif, sebagaimana tercermin dari lemahnya performa legislatif dalam menjalankan amanah publik.
Perbandingan dengan Sistem Khilafah dalam Islam
Dalam pemerintahan berbasis sistem Islam, prinsip akuntabilitas dan tanggung jawab terhadap Allah Swt. dan umat menjadi landasan utama. Beberapa perbedaan mendasar dapat dilihat dalam konteks berikut:
1. Kepemimpinan Berbasis Tanggung Jawab Ilahiah
Dalam sistem Islam, setiap pemimpin dipandang sebagai ra'in (penanggung jawab) yang akan dimintai pertanggungjawaban atas amanahnya, baik oleh masyarakat maupun di hadapan Allah Swt.. Rasulullah saw. bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Mekanisme Pengawasan yang Efektif
Institusi Hisbah dalam sistem Islam berfungsi memastikan bahwa seluruh pejabat negara menjalankan tugasnya dengan benar. Mekanisme ini lebih efektif karena pengawasan tidak hanya dilakukan secara administratif, tetapi juga berbasis nilai spiritual dan sosial.
3. Fokus pada Pelayanan Publik
Khilafah Islam menempatkan kepentingan umat sebagai prioritas utama, sebagaimana ditunjukkan oleh kepemimpinan Umar bin Khaththab r.a.. Ia terkenal dengan kebijakan proaktifnya dalam memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi, bahkan rela berkeliling pada malam hari untuk mengetahui kondisi masyarakat. Tidak ada tempat bagi pejabat yang abai terhadap tanggung jawabnya dalam sistem ini.
Solusi Masalah Berdasarkan Sistem Islam
Sistem Islam memberikan solusi komprehensif untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam tata kelola pemerintahan modern dengan menekankan prinsip keadilan, amanah, dan tanggung jawab. Reformasi sistem kepemimpinan menjadi langkah utama dengan menempatkan seleksi pemimpin berdasarkan integritas, kompetensi, dan nilai moral yang tinggi melalui mekanisme pemilihan yang ketat. Selain itu, institusionalisasi pengawasan berbasis syariah yang menegakkan prinsip amar makruf nahi mungkar diperlukan untuk memastikan bahwa setiap pejabat bertindak sesuai amanah dan mengurangi peluang penyimpangan.
Pendidikan politik berbasis nilai Islam juga harus ditanamkan untuk membangun kesadaran politik umat yang bertanggung jawab, dengan mengedepankan prinsip keadilan, pengabdian, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat. Terakhir, sistem gaji dan insentif yang adil wajib diterapkan, sehingga pejabat publik bekerja untuk kepentingan umat, bukan untuk memperkaya diri. Dengan pendekatan ini, sistem Islam dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih berkeadilan dan berorientasi pada kemaslahatan umat. [Ni]
0 Comments: