OPINI
Akses Pangan Tidak Merata, Rakyat Menderita
Oleh. Rini (Komunitas Ibu Peduli Negeri)
SSCQMedia.Com- Ketahanan pangan di Indonesia masih saja menjadi PR besar bagi pemerintah hingga hari ini. Ketahanan pangan yang terjadi pun berbeda antara wilayah satu dengan wilayah lain. Pulau Jawa dan Sulawesi misalnya tercatat mempunyai tingkat ketahanan yang lumayan baik.
Berbeda dengan Papua. Menurut data yang dikeluarkan oleh BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang telah mengadakan FGD (Focus Group Discussion) tentang ketersediaan pangan akuatik, menyatakan bahwa daerah Papua dalam kondisi rentan terkait ketahanan pangan (detikjabar.com, 11/12/2024).
Kasus kelaparan di Papua masih saja terjadi dan berulang kejadiannya. Dimulai tahun 2003, tahun 2015, tahun 2022, dan yang terakhir pada tahun 2023 terjadi Kabupaten Puncak, Kalimantan Tengah.
Penduduk Papua yang 80% penduduknya bekerja sebagai petani, kebanyakan dari mereka tinggal di pegunungan dan lembah. Ladang sebagai lumbung bagi mereka, sedangkan sistem pertanian yang dijalankan masih tradisioanal hingga hari ini. Oleh karena itu, wajar jika Papua berstatus daerah rentan dalam ketahanan pangan.
Proyek Swasembada Pangan
Agenda pemerintah tentang swasembada pangan sering kita dengar setiap akan terjadinya pergantian pemerintah. Namun, agenda tersebut belum bisa terwujud hingga hari ini.
Pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kali ini pemerintah mempunyai program yaitu lumbung pangan hingga tingkat desa. Dana yang dialokasikan demi terwujudnya ketahanan pangan sebesar Rp15 triliun (TribunBanyumas.com, 11/12/2024).
Sebenarnya ini adalah komitmen, dan metode yang sama dengan pemerintah sebelumnya yang terbukti telah gagal dalam merealisasikannya. Seperti program food estate dan lumbung pangan.
Akar Masalah Ketimpangan Pangan
Ketimpangan pangan yang terjadi hari ini sejatinya menunjukkan gagalnya penguasa dalam menjamin kesejahteraan dan pemenuhan pangan rakyatnya.
Tata kelola negara dalam menjamin kebutuhan pangan rakyat masih sangat lemah dan buruk. Artinya, ada tanda ketidakmampuan sistem pangan nasional untuk menyediakan akses pangan, ketersediaannya dan pendistribusian yang kurang adil dan merata.
Kalau mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, di mana setiap orang memiliki hak asasi atas ketahanan pangan diupayakan dengan sungguh-sungguh dan serius maka praktik kesenjangan dan kelaparan di Indonesia umumnya dan Papua khususnya tidak akan terjadi.
Pasalnya negeri ini sangat kaya atas sumber daya alamnya dan tentu saja dapat menunjang kebutuhan pangan seluruh rakyat. Kekayaan alam tersebar di berbagai propinsi termasuk Papua.
Namun, penerapan sistem kapitalisme liberal di negeri ini membuat jalan atas pengukuhan lahan oleh korporasi semakin mulus.
Model pertanian yang melibatkan korporasi bisa dipastikan ada izin konsensi untuk pengolahan lahan kepada pihak korporasi sebagaimana pada food estate atau lumbung pangan. Hasilnya adalah ketimpangan kepemilikan lahan antara petani dan korporasi.
Sudah bisa dilihat dampak dari kebebasan kepemilikan ini. Di mana pihak korporasi akan menguasai mata rantai produksi hingga distribusi pangan. Rakyat kembali merasakan kesusahan dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan disebabkan harga-harga kebutuhan pangan akan semakin mahal tidak bisa di hindari.
Pemimpin dalam sistem kapitalisme ini, hanya sebagai regulator dan fasilitator para korporasi. Pemerintah abai terhadap tanggung jawab dalam menjamin pemenuhan pangan rakyatnya individu per individu sebagaimana tertuang dalam UU no. 18 Tahun 2012.
Negara pun terbukti baru akan bergerak ketika sudah ada kejadian bencana kelaparan seperti yang terjadi di Papua. Bahkan yang seringkali dijadikan alibi adalah kondisi cuaca sebagai penyebab utama kegagalan ketahanan pangan.
Seharusnya negara mempunyai big data yang menunjukkan wilayah mana saja yang berpenghuni dan berpotensi minim dalam hasil pertaniannya.
Membangun infrastruktur memadai agar terjadi kemudahan dalam akses pangan dan memberikan dukungan terdapat pertanian atau perkebunan sebagai sumber penghidupan rakyatnya. Sehingga bisa mencegah terjadinya rawan pangan. Namun di sistem rusak kapitalis hari ini, hal ini bagaikan api jauh dari panggangnya.
Yang hadir adalah kepemimpinan populis otoritarian yang menunjukkan kesewenang-wenangan, tidak empati dan menyengsarakan. Hal seperti ini akan selalu terjadi tatkala kapitalis eksis.
Oleh karena itu, meninggalkan sistem kapitalisme liberal yang menyengsarakan adalah jalan utama yang harus dilakukan dan kembali mengambil sistem Islam yang menyejahterakan.
Solusi Islam dalam Menyelesaikan Ketahanan Pangan
Ketahanan dan kemandirian pangan menjadi hal mutlak yang harus diwujudkan oleh negara Khilafah. Peran utama dalam mewujudkannya adalah penguasa khalifah) sebagai pelaksana syariah.
Peran penguasa Islam adalah sebagai raa' in (pengurus) dan juga sebagai pelindung rakyat. Sebagaimana pesan nabi dalam sabdanya; “Penguasa (khalifah) adalah raa' in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab terhadap rakyatnya.” (HR. Ahmad Bukhari)
Khalifah tidak boleh mengalihkan peran ini kepada pihak lain dan untuk merealisasikannya akan mengacu pada ketetapan Al-Qur’an dan Hadis.
Sektor pertanian sebagai salah satu pilar ekonomi karena berkaitan erat dengan kesejahteraan rakyat. Perhatian besar diberikan dengan mengoptimalkan pengelolaannya agar kebutuhan seluruh rakyat terpenuhi individu per individu. Melakukan intensifikasi pertanian dengan cara mengeluarkan teknologi terbaru dan paling unggul kepada petani, membantu pengadaan bibit unggul, pupuk, sarana produksi pertanian dan perkebunan yang sangat dibutuhkan.
Selain melakukan intensifikasi, negara juga akan melakukan tindakan ekstensifikasi dengan mendorong pembukaan lahan baru, menghidupkan tanah mati, memberikan modal tanpa kompensasi bagi yang mampu dan ingin menghidupkan tanah mati.
Dana yang dipergunakan diambil dari baitul mal dari pos kepemilikan negara. Mekanisme yang dijalankan pemerintah semata-mata hanya untuk kemaslahatan rakyat sebagai tanggung jawab dan bentuk ketaatan kepada Allah Swt. Sang Pencipta dan Pengatur segala urusan. Bukan untuk segelintir pihak oligarki atau penguasa itu sendiri yang akan menimbulkan kemudaratan.
Perihal distribusi, maka negara Islam akan menerapkan prinsip cepat, sederhana dan tentu saja merata. Negara tidak akan membiarkan satu wilayah pun tidak bisa mengakses bahan pangan sehingga ketimpangan ekonomi tidak akan terjadi.
Kepemimpinan Islam adalah penguasa yang berkepribadian Islam, ketakwaan menjadi standar hidupnya, welas asih dan tidak antipati kepada rakyatnya. Dengan kepemimpinan seperti inilah yang akan menghilangkan ketimpangan dan ketidak adilan yang terjadi saat ini. Malah justru menghadirkan kesejahteraan dan keadilan.
Tidakkah kita merindukan sistem yang menyejahterakan ini? Wallahualam bissawab. [Ay]
0 Comments: