Oleh. Siti Nurlita
SSCQMedia.Com-
"Ibu tuh bingung! Kakak mau yang seperti apa lagi? Ibu gak ngerti!" ucap Ibu penuh emosi meninggalkanku.
Aku hanya bisa tertunduk. Ucapan Ibu kali ini begitu menusuk, seolah selama ini aku begitu pemilih. Mataku kian memanas. Kelopaknya tak mampu lagi menahan buliran air. Seketika buliran itu berjatuhan, membasahi pipi.
Kulihat Bapak menghela napas panjang, "Kalau menurut Bapak, sebaiknya Kakak pertimbangkan dulu. Jangan terlalu dibawa hati, Ibu cuman khawatir sama kakak." ucap Bapak menenangkanku.
"Huftt ...." kuembuskan napas panjang bersamaan dengan emosi yang menyeruak.
Rasanya penuh sesak, melewati fase kedewasaan ini sangat melelahkan. Aku sudah mulai muak dengan proses perjodohan. Sepertinya aku butuh tempat untuk melapangkan dada sejenak. Menimbang dan memikirkan hal yang menurutku terbaik. Pilihan yang membuat semuanya rida. Entah itu Ibu, Bapak, terlebih Allah.
Proses ini memang butuh usaha dan doa yang maksimal. Yakin fase ini bakal terlewati. Kulihat jendela di luar rumah membingkai pemandangan yang indah. Deretan pepohonan besar basah kuyup. Air hujan terus menyiramnya sedari tadi. Ini adalah rahmat dari Allah. Rasanya sedikit mengurangi sesak di dada ini. Kubuka jendela membiarkan anginnya masuk menerpa wajah. Sejenak perasaan tenang dan damai muncul. Alhamdulillah, begitu besar nikmat-Mu ya Rabb.
Allahu Akbar Allahu Akbar!
Suara azan berkumandang terdengar di antara derasnya hujan. Azan asar. Kudengarkan setiap lantunannya membawa jiwa ke dasar tawakal. Di waktu mustajab doa, kutadahkan kedua telapak tangan seraya penuh dengan harap.
Kurapalkan semua beban hati yang sedari tadi membuat sesak, kulaksanakan salat dan khusyuk kuberdoa. Semoga Allah mudahkan dan takdirkan yang terbaik untukku. Usai salat, kulangkahkan kaki menuju kamar Ibu. Aku pun sudah tenang. Sudah kususun kata-kata yang akan aku utarakan.
Tok ... Tok ... Tok ....
"Bu, boleh masuk?" ucapku saat kuketuk pintu kamarnya.
"Iya, masuk," ucapnya terdengar parau.
Ya sepertinya beliau juga menangis mengadukan putri semata wayangnya ini pada Rabbnya. Aku tahu dia sangat mengkhawatirkanku. Usiaku yang tak lagi muda. 25 tahun kata orang kampung itu perawan tua. "Cepetan nikah nanti keburu tua!" sindir mereka. Berisik! urus aja hidupmu! Mungkin itu yang akan kuucap jika aku tak dididik Ibu. Kuyakin kalau Ibu pasti akan berkata begini, "Insyaallah secepatnya, kalau sudah ada jodohnya ya, doakan saja ya."
Sudah tak terhitung berapa banyak cibiran mereka. Dan yang paling menyebalkan dari semua itu adalah seorang ibu yang bangga anaknya hamil di luar nikah, ia berkata : "Ayo Mbak cepetan nyusul, aku juga udah mau punya cucu." Maksudnya apa? Aku disuruh berzina menyusul anaknya? Atau maksudnya perawan tua itu lebih aib dari pezina? Naudzubillah. Nanar aku dibuatnya.
Ya, itulah dunia hari ini yang jauh dari agama. Agama hanya berurusan dengan salat dan ibadah utama saja. Untuk urusan sosial masyarakat, agama tidak boleh ikut campur imbuhnya. Sekuler. Manusia kini sudah sangat sekuler. Memisahkan agama dari kehidupan.
"Ibu ... Yuli mau minta maaf sudah keterlaluan tadi. Yuli gak bermaksud menentang, hanya Yuli kurang sreg sama yang ini. Tapi kalau Ibu ingin Yuli kenal beliau lebih dulu, Yuli nurut." Ucapku sambil memegang tangan Ibu.
Ibu kemudian memelukku dengan erat, "Kak, kakak kan udah kenal juga sama dia. Kakak coba dulu ya, sayang." ucapnya lembut meyakinkanku.
Ibu yang paling antusias dan bersemangat dalam proses kali ini. Karena dia sangat yakin dengan calonku kali ini. Bahkan terus memotivasiku untuk kemungkinan terbaiknya. Melihat dia akhir-akhir ini ceria, seolah berkurang rasa bersalahku selama ini. Ya, kadang aku merasa bersalah selama ini selalu menyusahkan Ibu. Padahal Ibu adalah orang terdepan yang rela bekerja demi anaknya bisa sekolah. Beliau juga yang rela sedikit tidurnya demi membuat dagangan. Beliau kerjakan ini itu, demi aku bisa jadi sarjana. Di tengah keraguan orang lain, bahkan keluarga sendiri. Beliau yang mendukung setiap mimpi-mimpiku. Namun aku anaknya sering kali membuat khawatir.
Teringat saat sebelum lulus sekolah dulu, aku pernah mengatakan pada Ibu bahwa aku ingin kuliah di luar negeri. Apalagi saat itu aku dapat peluang yang cukup bagus.
"Bu, Yuli keterima kerja di perusahaan di luar negeri, Yuli mau kerja di sana lulus kuliah nanti sambil nanti mau cari beasiswa buat kuliah lagi." ucapku. Kujelaskan semua yang sudah kurencanakan dan keadaan di tempat kerjaku nanti.
"Terus gimana nanti Kakak di sana?" tanya Ibu setelah lama terdiam.
"Ya kuliah sama kerja, harus kuat. Pingin coba juga jauh dari kampung halaman gimana. Bosanlah Bu, masa dari kecil di kampung terus." rengekku.
"Kalau sakit gimana? Ibu khawatir kalau jauh kalau ada apa-apa, gak bisa langsung datang." Ucapnya.
"Kan sekarang mah naik pesawat aja gak sampai 24 jam, Bu." jawabku.
"Iya kalau sedang sehat ada uangnya, mudah. Kalau ternyata tidak ada keduanya bagaimana?" tanya Ibu.
Aku hanya bisa diam. Perkataan Ibu ada betulnya. Aku batal untuk kerja dan kuliah di luar negeri, hal ini karena wabah datang. Ini adalah ujian sekaligus anugerah dari Allah untuk memaksimalkan baktiku pada ibu.
Tidak hanya batal kuliah, aku pun batal menikah. Calonku membatalkan dengan alasan yang tak jelas. Ibu juga yang paling terluka. Aku kesal dan marah. Kesalku, karena dia satu-satunya yang meminta restu ibuku lebih dulu! Terluka pastinya. Mungkin cobaan ini untuk menguji hamba-Nya. Terjemahan surat Al-Insyirah menjadi penguatku. Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Setelah ini pasti Allah mudahkan. Allah berikan hadiah istimewa. Pasti, itu pasti.
Dan benar saja tepat sebulan setelahnya, kami tak menyangka akan ada seseorang yang ingin mengutarakan niatnya padaku. Allah mudahkan semua prosesnya. Dia juga jawaban dari doa-doa Ibuku. Ibuku berdoa agar senantiasa dekat dengan putrinya, Allah kabulkan itu. Ibuku berdoa agar putrinya dimudahkan dalam rezeki, Allah kabulkan itu. Ibuku berdoa agar putrinya dicintai oleh ibu mertua sebagaimana ia, Allah kabulkan itu. Terasa sepenting itu doa ibu dalam hidupku. Bagiku ibuku itu surgaku.
Ibuku, Surgaku
Dia bagiku ibarat air jernih, di antara panasnya cobaan dunia yang perih
Dia bagiku ibarat papan, penopang kehidupan
Dia bagiku ibarat temaram, cahaya di antara gelapnya malam
Dia bagiku guru yang pertama, mengajariku banyak makna
Dia yang pertama merengkuh, memelukku di kala jatuh
Dia ibuku, dia surgaku
Doaku pada Ilahi
Ya Rabbku, bangunkanlah istana di sisi-Mu untuk ibuku di surga nanti
[Ni]
0 Comments: