Headlines
Loading...
Oleh. Novi Ummu Mafa

SSCQMedia.Com- Sang surya memerah di ufuk barat, seolah berduka atas tragedi yang tak pernah usai di bumi Syam Palestina. Matahari pun akan segera lengser saat Amina keluar dari rumahnya yang tinggal separuh berdiri di tepi kamp pengungsian. Wanita itu menggenggam tangan kecil putranya, Rafi, yang baru berusia sepuluh tahun. Anak itu, dengan senyum polosnya, adalah satu-satunya alasan Amina tetap berdiri, meski dunia di sekitarnya telah runtuh berkali-kali.

Perut Rafi mengeluarkan suara pelan. Sudah dua hari mereka hanya meminum air, tanpa sesuap makanan pun untuk mengganjal rasa lapar. Amina memandangi anaknya dengan hati hancur. Ia tahu tubuh kecil itu lemah, tetapi tidak dengan semangatnya.

"Ibu, aku lapar ...," bisik Rafi dengan suara nyaris tak terdengar.

Amina berjongkok, meraih wajah putranya, dan tersenyum meski matanya berembun. "Kita akan pergi ke pasar, Nak. Ada pembagian bantuan di sana. Insya Allah kita akan segera mendapatkan makanan."

Rafi mengangguk, mencoba tersenyum meski wajahnya pucat. Ia percaya pada ibunya, percaya bahwa perjalanan mereka akan membawa harapan. Matanya terus memandang lurus ke depan, mengabaikan tenda-tenda sobek dan wajah-wajah kelabu penghuni kamp yang senasib dengannya, para korban perang.

Di tengah perjalanan, Rafi bertanya penasaran. "Apa kita akan bertemu Ayah hari ini, Ibu?" tanya Rafi, memecah kesunyian dalam derap langkah mereka. 

Amina terdiam dan berhenti sejenak. Hatinya teriris. Pertanyaan itu bagai duri yang selalu menusuk hatinya. Ayah Rafi, Hasan telah menjadi debu martir, tertimbun di bawah puing-puing reruntuhan rumah mereka dua tahun silam. Namun, Amina tak pernah punya keberanian untuk memberi tahu kebenaran itu pada putranya. "Mungkin, Nak. Doakan yang terbaik untuk Ayah," jawab Amina, mencoba tersenyum meski hatinya diliputi kesedihan. 

Dengan terus melangkah menyusuri jalan yang dipenuhi puing-puing reruntuhan, mereka berjalan menuju pasar yang kini menjadi tempat pembagian bantuan. Pasar itu dulunya penuh hiruk-pikuk pedagang dan pembeli. Namun, perang telah mengubah segalanya. Bangunan runtuh, debu menyelimuti jalanan, dan keramaian digantikan antrean panjang para pengungsi yang berharap sekantong gandum atau sekedar sepotong roti.

Amina dan Rafi berdiri di tengah antrean. Bau anyir darah dan asap masih terasa di udara, tetapi suara harapan tetap menggema di antara mereka yang berdiri bersama.

"Ibu, apakah kita akan mendapatkan makanan?" tanya Rafi, matanya menatap penuh harap ke arah kerumunan.

"Insya Allah, Nak. Allah selalu punya cara untuk membantu kita," jawab Amina sambil meremas lembut tangan anaknya.

Namun, saat mereka hampir mencapai giliran, suara sepatu boot menghentak jalan membuat semua kepala menoleh. Sekelompok tentara bersenjata memasuki pasar, menguasai tempat itu dengan kehadiran mereka yang mengintimidasi. Orang-orang yang semula mengantre perlahan mundur, perlahan.

"Semua berhenti! Kembali ke tempat kalian!" salah seorang tentara berteriak.

Antrean yang tadinya penuh harapan berubah menjadi lautan ketegangan. Amina menarik Rafi lebih dekat, berusaha melindunginya dengan tubuhnya yang lemah. Namun, suara kasar itu segera memecah suasana.

Pesawat-pesawat tanpa awak terus melayang di atas mereka, seperti burung elang yang sedang mencari mangsa. Amina dan Rafi berjalan dengan waspada. Tangannya tak pernah lepas dari genggaman tangan anaknya, seolah dia adalah jangkar terakhir yang menghubungkan mereka dengan kehidupan.

Tiba-tiba, terdengar suara ledakan keras dari kejauhan. Asap hitam membumbung tinggi di langit. Orang-orang berlarian, berteriak panik. Amina segera mendekap Rafi ke dalam pelukannya, tubuhnya gemetar hebat. Terbayang trauma mimpi buruk di masa lalu saat Amina harus kehilangan suaminya.

"Ibu, aku takut," bisik Rafi.

"Tenang, Nak. Kita akan baik-baik saja," ujar Amina dengan suara yang ia paksa untuk tetap tenang, meski di dalam hatinya ada badai yang berkecamuk.

Namun, saat mereka berusaha mencari tempat untuk berlindung, kembali terdengar suara sepatu boot sekelompok tentara mendekat kea rah mereka, diiringi teriakan dalam bahasa asing yang tak Amina mengerti, tetapi senjata di tangan mereka sudah lebih dari cukup untuk dipahami. 

"Anak itu, bawa dia ke sini!" perintah salah seorang tentara, sambil menunjuk tepat ke arah Amina dan anaknya.

Amina mendekap Rafi semakin erat. "Tidak! Aku mohon dia hanya anak kecil!" teriaknya.

Seorang tentara menarik lengan Amina dengan kasar. Rafi menangis, meronta-ronta, mencoba menolong ibunya dengan memukul tentara itu dengan tangan kecilnya. "Jangan sentuh Ibuku!" jeritnya.

Melihat anaknya berjuang untuk melindunginya, hati Amina meledak dengan keberanian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dengan segenap kekuatan, ia mengambil batu dari tanah dan melemparkannya ke arah tentara itu. Batu itu mengenai helmnya, tak menimbulkan luka, tetapi cukup untuk membuat tentara itu marah.

Tanpa pikir panjang, tentara itu mengangkat senjatanya.

Dor!

Amina menjadikan tubuhnya sebagai tameng hidup untuk melindungi tubuh anaknya dari tembakan. Semua terasa berjalan begitu lambat bagi Amina. Tubuhnya seketika ambruk ke tanah. Rafi berteriak, mengguncang tubuh ibunya yang mulai dingin. Darah mengalir deras, mengubah warna debu jalanan pasar menjadi warna merah segar, seolah setiap butirnya menyimpan jeritan dan duka yang tak terucapkan.

Namun, sebelum semuanya gelap, Amina masih sempat berbisik lirih. "Hiduplah, Nak. Ini tanah kita, jadilah kuat dan ingatlah Allah selalu bersamamu. "

Rafi menangis, mendekap erat tubuh ibunya yang tak lagi bergerak. Batu yang Amina gunakan tadi kini tergeletak tak jauh dari mereka, seolah menjadi saksi bisu perjuangan seorang ibu yang rela memberikan segalanya demi melindungi anaknya.

Rafi berteriak, Matanya yang basah memancarkan api amarah dan duka yang mendalam.

"Di mana kalian, wahai kaum Muslimin, dimana umat yang kau sebut sebagai umat terbaik-Mu, ya Rabb? Di mana kalian semua saat kami sangat membutuhkan pertolongan kalian? Di mana kalian semua, saat duka abadi ini melanda Palestina? Bukankah kita bersaudara? Bukankah kita satu tubuh, satu jiwa? Tetapi ternyata semua itu hanya retorika kosong, penuh kebohongan belaka. Kalian semua pendusta!"

Suara Rafi menggema, bercampur dengan suara angin yang membawa debu dan rasa kehilangan.

Rasulullah saw. bersabda, "Perumpamaan kaum mukminin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit dengan demam dan tidak bisa tidur." (HR. Bukhari dan Muslim).

Di hari itu, langit Palestina yang dipenuhi kepulan asap menjadi saksi atas keberanian seorang ibu dan tangisan seorang anak yang mencari jawaban dari dunia yang seolah telah melupakan mereka.

Rafi, seorang anak kecil telah kehilangan dunianya. Namun di matanya, ibunya telah menjadi pahlawan yang takkan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya.

Lamongan, 22 Desember 2024

Baca juga:

0 Comments: