OPINI
Eksploitasi Buruh, di Mana Tanggung Jawab Negara?
Oleh. Aqila Fahru
SSCQ media.Com- Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia serta Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) melaporkan, bahwa terdapat dugaan praktik kerja paksa dan eksploitasi finansial yang dirasakan oleh Awak Kapal Perikanan (AKP) migran Indonesia, di kapal berbendera Taiwan.
Terdapat 10 kasus, berlandaskan aduan nelayan migran Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera Taiwan sejak tahun 2019 – 2024. Dalam konferensi pers peluncuran laporan “Netting Profits, Risking Lives: The Unresolved Human and Environmental Exploitation at Sea” dalam rangka menyambut hari HAM sedunia pada tanggal 10 Desember 2024, Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, mengatakan, bahwa alih-alih para nelayan ini mendapatkan penghidupan yang layak, sebaliknya mereka menjadi korban perbudakan modern.
Permasalahan ini, sudah lama terjadi. Akan tetapi, para pemangku jabatan serta pemerintah Indonesia, terkesan tidak ada upaya untuk membenahi perlindungan. Bahkan, tampak cenderung membiarkan. Pembiaran para nelayan ini diperbudak merupakan sebuah pelanggaran serius dalam hak asasi manusia.
Greenpeace Indonesia dan SBMI, bekerja sama dalam mengungkapkan dugaan praktik pelanggaran HAM serta mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan. Keduanya juga mendesak pemerintah Taiwan, Amerika Serikat dan Indonesia, untuk memperketat kebijakan regulasi dalam industri perikanan, serta memastikan korporasi untuk bertanggung jawab atas praktik tidak manusiawi yang dialami oleh para nelayan migran tersebut.
Laporan tersebut, menyoroti beberapa hal krusial diantaranya: praktik kerja paksa, berdasarkan indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), seperti penahanan dokumen identitas pribadi, penipuan, penyalahgunaan kerentanan serta jeratan utang.
Di samping itu, para nelayan migran mengaku diminta membayar biaya perekrutan secara ilegal sebesar Rp7-31 juta, yang mana setara dengan gaji perbulan yang dijanjikan. Padahal, jelas-jelas hal tersebut bertentangan dengan UU 18/2017, mengenai Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Terjadi pula penahanan upah para pekerja hingga 20 bulan dan ada salah seorang pekerja yang mengalami cedera mata, tapi tidak mendapatkan kompensasi asuransi yang seharusnya ia dapatkan sebesar 25 kali lipat gajinya.
Terkait perikanan Ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing) sebanyak enam dari 12 kapal berbendera Taiwan, terindikasi melakukan kegiatan IUU Fishing. Di antaranya transhipment ilegal, menangkap ikan di wilayah konservasi serta beroperasi di luar yuridiksi.
Para nelayan juga melaporkan praktik shark finning, pemotongan sirip ikan hiu dan membuang tubuh hiu tersebut ke laut, yang secara global sudah dilarang secara masif. Sementara itu, empat kapal teridentifikasi terhubung dengan merk tuna kalengan AS, Bumble Bee, milik perusahaan bisnis ikan tuna Taiwan, FCF. Keempat kapal tersebut adalah Chaan Ying, Guan Wang, Shin Lian Fa No. 168 dan juga Sheng Ching Fa No. 96 (antaranews.com, 9-12-2024).
Pihak Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI, mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret dengan memperketat kebijakan serta regulasi industri perikanan. Memastikan korporasi bertanggung jawab atas praktik yang tidak manusiawi, menyediakan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pekerja migran, termasuk mekanisme pengaduan yang efektif serta transparan dan membangun industri seafood global yang adil, manusiawi dan lestari.
Hal ini merupakan fenomena gunung es. Di mana kemungkinan besar, masih ada lebih banyak sisi kelam industri perikanan global (greenpeace.org, 9-12-2024)
Fakta yang telah dipaparkan sebelumnya, membuktikan bahwa di dalam ideologi yang saat ini sedang menguasai dunia ini, yaitu ideologi Kapitalisme, telah gagal dalam menjamin kesejahteraan para pekerja. Selain itu, pada hakikatnya sistem Kapitalisme, berhasil dalam melahirkan para kapitalis yang hanya menginginkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran yang minim.
Kezaliman-kezaliman yang telah dilakukan pihak perusahaan terhadap para pekerjanya, telah berdampak negatif dan merugikan para buruh. Para penguasa pun hanya terdiam dan tidak melakukan upaya agar dapat mengubah nasib para pekerja yang ada. Para pelaku kapitalisme ini, menganggap uang dan materi, merupakan sumber kekayaan. Sehingga, mereka rela untuk melakukan apapun demi mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya.
Meskipun berbagai aturan lahir untuk mengimbangi nasib para buruh, akan tetapi negara hanya berperan sebagai regulator semata. Negara malah membuat regulasi untuk memuluskan kepentingan para kapitalis. Jadi, selama Kapitalisme masih bercokol di muka bumi, nasib buruh dan pekerja tidak akan pernah membaik.
Kondisi pekerja yang terzalimi seperti ini, tidak akan ditemukan dalam sistem Islam. Sistem Islam dengan sempurna mengatur segala urusan umat, dengan landasan keimanan, dibangun untuk memuliakan semua umat manusia, tanpa memandang ras dan warna kulit.
Allah Swt. berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 96 yang artinya: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
Terdapat hadis riwayat Ibnu Majah, yang menjelaskan bahwa pekerja harus bekerja dengan akad ijarah (bekerja). Maka, gaji yang diberikan harus sesuai dengan keahliannya dan sesuai dengan kesepakatan awal. Hadis tersebut berbunyi yang artinya :
Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda. “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Dari hadis tersebut, dapat kita simpulkan, bahwasannya majikan tidak diperbolehkan untuk menunda atau mengurangi hak pekerjanya. Bagi pekerja pun, wajib melakukan pekerjaannya sesuai kesepakatan awal.
Sistem ideologi kapitalisme, telah membuat masalah pekerja atau buruh semakin keruh. Hanyalah Islam yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut dan hanya Islam yang mampu menyelamatkan nasib para pekerja atau buruh. Wallahualam bissawab. [US]
0 Comments: