Headlines
Loading...
Fenomena Brain Drain: Ketika Talenta Bangsa Memburu Asa di Negeri Tetangga

Fenomena Brain Drain: Ketika Talenta Bangsa Memburu Asa di Negeri Tetangga

Oleh. Novi Ummu Mafa

SSCQMedia.Com- Di tengah narasi besar tentang pembangunan bangsa, ada fenomena yang justru menunjukkan kegagalan mendasar sistem sosial politik Indonesia. Anak-anak bangsa terbaik memilih meninggalkan negeri ini untuk hidup dan berkarir di luar negeri. Fenomena brain drain ini tentu saja menjadi ironi yang mencolok. Warga Indonesia yang menjadi juara olimpiade sains internasional, yang seharusnya menjadi aset strategis bagi negara, kini banyak yang membangun karier dan kehidupan di Singapura. (kompas.id, 03-12-2024).

Sebagian masih mempertahankan status sebagai WNI, tetapi tak sedikit yang telah memilih menjadi warga negara Singapura. Pilihan ini tidak datang tanpa alasan. Mereka menemukan kenyamanan, penghargaan, dan peluang karier yang sulit mereka dapatkan di tanah air. Kondisi ini mempertegas bahwa ada yang salah dalam sistem yang kita jalani saat ini. Pertanyaannya adalah mengapa Indonesia dengan segala potensinya, gagal menjaga dan memanfaatkan talenta terbaiknya?

Demokrasi: Janji Kosong Kesejahteraan

Demokrasi yang dijual sebagai solusi universal untuk kesejahteraan rakyat terbukti gagal mewujudkan janji-janjinya. Dalam praktiknya, demokrasi di Indonesia tidak lebih dari plutokrasi terselubung, di mana keputusan politik ditentukan oleh kekuatan modal. Talenta unggul yang seharusnya menjadi aset bangsa justru menjadi korban sistem ini. Alih-alih membangun ekosistem riset dan inovasi yang mendukung, pemerintah sibuk dengan proyek-proyek populis yang tidak berkelanjutan.

Data yang dilaporkan Kompas mengungkap bahwa sebagian besar lulusan olimpiade sains yang memilih bekerja atau menetap di Singapura adalah korban dari sistem meritokrasi palsu di Indonesia. Mereka sadar bahwa kompetensi mereka tidak dihargai di tanah air, di mana nepotisme dan politik transaksional masih menjadi norma.

Indonesia memproduksi tidak sedikit talenta-talenta unggul melalui ajang olimpiade sains internasional, tetapi ironisnya, negara gagal menyediakan ekosistem yang mendukung mereka untuk berkembang. Lantas, mengapa Singapura menjadi pilihan? Karena Singapura menawarkan stabilitas politik, penghargaan atas keahlian, dan peluang karier yang menjanjikan. Semua hal yang absen atau minim di Indonesia. Ini adalah refleksi dari sistem kapitalisme global, di mana talenta manusia diperdagangkan seperti komoditas, berpindah ke tempat yang menawarkan keuntungan maksimal. Indonesia, dengan segala potensi, hanya menjadi penyedia bakat tanpa strategi untuk memanfaatkannya demi kepentingan rakyatnya.

Talenta Manusia dalam Pandangan Islam

Dalam era khilafah Islam, sejarah mencatat bahwa talenta manusia dipandang sebagai amanah, bukan komoditas. Sistem Islam memastikan distribusi kekayaan yang adil, mendukung pendidikan berbasis nilai, dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan setiap individu untuk berkembang sesuai potensinya. Misalnya, pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, institusi seperti Baitul Hikmah menjadi pusat riset dan inovasi dunia, menarik para ilmuwan dari berbagai peradaban.

Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab langsung terhadap kesejahteraan rakyat, termasuk dalam memberikan akses pendidikan dan karier yang merata. Tidak ada ruang bagi korupsi, nepotisme, atau eksploitasi talenta manusia. Talenta terbaik tidak akan mencari perlindungan di luar negeri karena mereka dihargai dan diberdayakan untuk membangun masyarakat.

Islam sebagai Solusi Sistemik: Membangun Negeri dengan Talenta Bangsa

Dalam Islam, ada prinsip yang menempatkan kecintaan kepada negeri sebagai bagian dari iman. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang meninggalkan negeri asalnya karena tidak suka, kecuali ia akan kembali ketika ia mampu memperbaiki keadaan negeri tersebut” (HR. Ahmad).

Hadis ini mengandung pesan moral yang mendalam, seburuk apa pun kondisi sebuah negeri, pemuda-pemuda bertalenta tidak seharusnya melarikan diri. Sebaliknya, mereka harus mengambil peran sebagai agen perubahan yang membangun negeri tersebut agar menjadi lebih baik.

Sistem Islam mengajarkan bahwa talenta manusia adalah amanah dari Allah Swt. Mereka tidak hanya berhak untuk dihormati, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk menggunakan keahlian mereka demi kemaslahatan umat. 

Negara Islam bertugas menyediakan ekosistem yang memungkinkan talenta-talenta manusia berkembang secara optimal. Salah satu caranya adalah dengan memastikan pendidikan gratis dan berkualitas untuk semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan kelas sosial atau ekonomi. Selain itu, Islam juga menjamin distribusi kekayaan yang adil melalui sistem ekonomi berbasis zakat, sedekah, dan pengelolaan kekayaan negara yang tepat, sehingga tidak ada kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin.

Negara Islam juga mendorong penelitian dan inovasi, sebagaimana yang terjadi pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid, yang mengundang para ilmuwan dari berbagai penjuru dunia untuk berkontribusi dalam pembangunan peradaban. Penghargaan terhadap ilmu pengetahuan ini menjadikan Islam sebagai pelopor kemajuan di berbagai bidang. Di sisi lain, stabilitas sosial dan politik dijaga melalui penerapan syariat sebagai landasan kekuasaan, bukan berdasarkan kepentingan segelintir elite. Dengan demikian, masyarakat merasa aman, dihormati, dan didukung untuk berkembang, menciptakan harmoni yang memungkinkan setiap individu berkontribusi maksimal dalam membangun peradaban.

Mengapa Meninggalkan Negeri Bukan Solusi?

Fenomena brain drain yang dialami Indonesia adalah gejala dari kesenjangan antara potensi dan peluang. Para pemuda bertalenta meninggalkan negeri karena merasa tidak dihargai atau tidak memiliki ruang untuk berkembang. Namun, melarikan diri ke negara lain tidak akan menyelesaikan akar permasalahan. Sebaliknya, hal ini hanya memperparah kondisi di tanah air, karena bangsa kehilangan aset manusia yang sangat berharga.

Dalam pandangan Islam, lari dari tanggung jawab membangun negeri adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan umat Islam, maka ia bukan bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud).

Hadis ini menekankan pentingnya solidaritas dan tanggung jawab kolektif dalam membangun masyarakat. Pemuda bertalenta seharusnya menjadi bagian dari solusi, bukan malah memilih zona nyaman di luar negeri.

Khatimah

Pemuda-pemuda bertalenta harus kembali kepada panggilan mereka sebagai agen perubahan. Sebagaimana sejarah mencatat kejayaan peradaban Islam, masa depan Indonesia juga bisa dibangun oleh generasi muda yang memahami bahwa hidup di negeri sendiri, meski penuh tantangan, adalah tanggung jawab yang mulia. Sebagai bagian dari dakwah, mari bergerak untuk membangun negeri ini, bukan meninggalkannya. Wallahualam bissawab. []

Baca juga:

0 Comments: