Headlines
Loading...
Oleh. Novi Ummu Mafa

SSCQMedia.Com- Langit pagi itu mendung, seolah mencerminkan suasana hati Lina. Perempuan muda itu menyiapkan sarapan di dapur sempit rumah kontrakan kecilnya. Dengan tangan cekatan, ia menggoreng tempe sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam pagi. Ia tahu waktunya hampir habis sebelum Hana, putri sulungnya, keluar dari kamar dengan wajah cemberut seperti biasa.

Benar saja, tak lama kemudian terdengar langkah kaki tergesa-gesa dari kamar depan. Hana keluar dengan rambut panjang tergerai, mengenakan kaos crop-top berwarna neon dan jeans ketat yang sobek-sobek di lutut. Lina memandangi penampilan anaknya dengan hati miris.

"Hana, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Lina, berusaha menahan nada suaranya agar tetap tenang.

"Ke sekolah, Bu. Mau ngapain lagi? Bukan ke pasar, kok," jawab Hana tanpa menoleh, sibuk menata rambutnya di depan cermin kecil di ruang tamu.

"Kenapa bajunya seperti itu? Nggak pantas buat anak sekolah," kata Lina sambil meletakkan piring berisi nasi dan tempe di meja makan.

Hana mendengus. "Ah, Ibu ini nggak ngerti zaman sekarang. Gaya ini lagi tren, kok. Anak-anak lain juga begini."

"Tapi kamu itu anak perempuan. Harusnya berpakaian yang sopan. Jangan ikut-ikutan gaya orang lain kalau nggak sesuai." Lina mulai kehilangan kesabaran.

"Sudah, Bu. Nggak usah ceramah. Ibu nggak ngerti anak muda sekarang. Lagian, Ibu cuma tahu masak dan kerja. Mana tahu soal gaya," Hana membalas dengan nada sarkastik sambil meraih tasnya.

"Hana!" Lina meninggikan suara. "Kamu pikir uang buat beli baju itu datang dari mana? Dari kerja keras Ibu. Tapi kamu malah nggak peduli dengan keadaan kita. Kamu cuma mikirin diri sendiri."

Hana membanting pintu. Lina terdiam sejenak, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar.

Di sudut rumah, Alif, anak bungsu Lina yang baru berusia lima tahun, memandangi ibunya dengan wajah bingung. "Ibu, kenapa Kak Hana marah-marah lagi?"

Lina mendekat dan memeluk Alif. "Nggak apa-apa, Nak. Kakak cuma lagi kesal. Kamu sudah siap? Ibu antar ke rumah Bu Siti dulu, ya."

Alif mengangguk kecil. Lina lalu menggandengnya menuju rumah tetangga mereka, Bu Siti, yang selama ini menjadi tempat Alif dititipkan.

Siang itu, Lina kembali ke rumah setelah seharian menjajakan kue keliling. Peluh membasahi wajahnya, tapi dagangannya tak sepenuhnya laku. Lina meletakkan keranjang kuenya di meja dapur dan melirik ke arah Hana yang tengah duduk di sofa sambil menatap layar ponselnya.

"Hana, Ibu sudah pulang," sapa Lina.

Hana tidak menjawab, hanya menggumam tanpa melepaskan pandangannya dari layar. Lina mendekat, mencoba mengajak bicara.

"Kamu tadi nggak makan siang di rumah?"

"Nggak sempat, Bu. Lagi sibuk."

Lina menarik napas panjang. "Sibuk apa? Main HP terus? Kamu tahu nggak, Ibu capek kerja buat kita. Kamu malah santai-santai di rumah."

Hana akhirnya menoleh, wajahnya penuh kejengkelan. "Bu, Ibu ini kenapa sih? Aku kan juga butuh hiburan. Jangan marahi aku terus, dong!"

"Bukan masalah hiburan, Hana. Tapi kamu ini nggak pernah mau bantu Ibu. Setidaknya, jagain adikmu atau bantu-bantu di rumah. Ibu ini kerja keras buat kalian, bukan buat diri sendiri."

"Ah, Ibu nggak ngerti aku. Sudahlah, Bu, aku capek dengar omelan ini terus." Hana berdiri dan masuk ke kamar, membanting pintu seperti biasanya.

Lina duduk di kursi makan, memandang piring-piring kotor yang belum sempat dicuci. Air mata yang tadi tertahan kini mengalir tanpa bisa ia cegah.

"Ya Allah," doa Lina lirih. "Kenapa jalan hidupku terasa berat sekali? Anak-anakku, mereka adalah amanah-Mu, tapi kenapa aku merasa gagal menjadi ibu? Aku hanya ingin mereka punya masa depan yang lebih baik, ya Allah. Beri aku kekuatan untuk menghadapi semua ini."

Lina tahu bahwa Hana hanyalah remaja yang sedang mencari jati diri, tapi ia merasa putrinya terlalu terbawa arus gaya hidup modern yang penuh hedonisme. Sebagai seorang ibu, Lina ingin memberikan yang terbaik, tapi keadaan ekonomi membuat segalanya terasa mustahil.

Ia teringat masa-masa ketika ia masih bersama suaminya, sebelum pernikahan mereka hancur akibat judi online dan kekerasan rumah tangga. Suaminya bukan hanya menghancurkan pernikahan mereka, tetapi juga meninggalkan luka yang mendalam bagi Lina dan anak-anaknya.

Namun, Lina bertekad untuk tidak menyerah. Ia tahu bahwa ia harus menjadi pilar yang kuat bagi keluarganya, meski terkadang ia merasa rapuh.

Malam itu, setelah Alif tertidur, Lina mendekati kamar Hana. Ia mengetuk pintu pelan.

"Hana, Ibu boleh masuk?"

Tidak ada jawaban. Lina menghela napas, lalu masuk pelan-pelan. Hana duduk di tepi tempat tidur, menatap ponselnya dengan wajah murung.

"Hana." Lina duduk di sampingnya, "Ibu nggak bermaksud marah-marah terus sama kamu. Ibu cuma ingin kamu tahu kalau hidup ini nggak mudah. Apa yang kita punya sekarang, itu hasil kerja keras. Ibu ingin kamu belajar menghargai itu."

Hana akhirnya menatap Lina. "Aku tahu, Bu. Tapi aku juga capek. Semua teman-temanku hidup enak, mereka nggak perlu kerja keras seperti Ibu. Kadang aku malu sama mereka."

Lina memegang tangan Hana. "Nak, hidup ini bukan tentang memamerkan apa yang kita punya. Tapi tentang bagaimana kita mensyukuri apa yang Allah beri. Kamu mungkin merasa kurang, tapi ingat, kita masih punya satu sama lain. Itu yang paling penting."

Hana mengangguk perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia mendengar nasihat ibunya tanpa perlawanan.

Lina tahu perjalanan hidup mereka masih panjang dan penuh tantangan. Tapi malam itu, ia merasa sedikit lega. Setidaknya, ia telah mencoba menyentuh hati putrinya, meski perlahan. Sebagai seorang ibu, Lina hanya berharap bahwa anak-anaknya akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri, jauh lebih baik dari dirinya.

Dan seperti malam-malam sebelumnya, Lina mengadu pada Sang Ilahi, memohon kekuatan untuk terus bertahan di tengah dunia yang semakin tak adil. Sebab, ia yakin, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang berserah. [An]

Baca juga:

0 Comments: