Headlines
Loading...
Oleh. Suyatminingsih, S.Sos.i

SSCQMedia.Com-
Waktu berlalu begitu cepat, tiga puluh lima tahun kita terpisah jarak dan waktu. Hingga pada akhirnya Allah Swt. mempertemukan kita dan saling bertukar rasa suka maupun duka. Meskipun waktu pertemuan itu terasa singkat, namun telah mengukir kenangan yang mampu membuat hati terasa campur aduk, antara suka dan duka, sedih dan bahagia, bahkan sesal dan syukur saling menyapa. 

Aku masih teringat akan segala nasihat yang engkau sampaikan pada kami, “Tetaplah berbuat baik kepada siapapun karena kebaikan itu akan kembali pada kita. Jika tidak, maka kebaikan itu akan kembali pada anak, cucu kita.”

Ya, saat itu kau selalu menyampaikannya kepada kami, seolah benar-benar memberi pesan agar kami tetap menjadi orang baik, meskipun telah dijahati atau disakiti oleh orang lain. 

“Ibu, ibu pingin apa?” tanyaku kala itu. 

“Enggak ada. Udah kenyang,” jawab Ibu. 

“Bukan, bukan makanan. Tapi, hal lain. Ibu ingin apa?” tanyaku kembali. 

“Ibu ingin belikan kamu dan adik-adik rumah, biar tidak kos ataupun kontrak. Kasihan,” jelas Ibu. 

“Kami baik-baik saja, Bu. Dinikmati aja, namanya juga hidup,” kataku. 

“Kasihan eee, dari kecil tidak Ibu dampingi, baru sekarang kumpul tapi Ibu tidak bisa beri apa-apa,” ucap Ibu. 

“Tidak apa, Bu. Dengan Ibu datang, bertemu dan berkumpul dengan kami itu sudah cukup. Justru, kami yang seharusnya minta maaf karena belum bisa memenuhi keinginan Ibu untuk menempati rumah sendiri,” jelasku. 

“Ya, disyukuri aja. Semoga Mbak Naning, Mas Nanag dan Adik Antok selalu sehat, bisa rawat anak-anak dengan baik, rezeki lancar dan bisa punya rumah sendiri. Itu yang selalu Ibu doakan. Doa Ibu tu mustajab tau...” ucap Ibu dengan riang. 

“Aamiin Yaa Robbal’alamiin, terima kasih doanya,” sahutku. 

Aku yakin, banyak yang kau inginkan dan kau harapkan terhadap kami. Namun, kenyataan tidak selalu berbanding lurus dengan dua hal itu. Sehingga, kau berusaha menepis dan mengubur itu semua, meskipun sesekali kau terpeleset dan menyatakan dengan lantang apa yang kau inginkan sedangkan itu seolah tidak mungkin kami wujudkan, sehingga kami hanya bisa berusaha sebaik mungkin agar Ibu nyaman dan bahagia bersama kami. 

Ibu, seumur hidup baru kali ini kami diperlakukan bak seorang anak kecil sebenarnya. Anak yang kau tinggalkan bertahun-tahun lalu demi sebuah pekerjaan, dan pada akhirnya memisahkan serta memutuskan komunikasi kita. Pernah terlintas dalam pikirku, tidak mungkin kami bisa merasakan lezatnya masakan seorang ibu seperti teman-teman yang lain, namun Allah Swt mewujudkan hal itu. Banyak masakan yang kau olah untuk kami. Saat memasak, kau selalu melantunkan selawat dengan merdu dan setelah memasak selalu bilang, “Wah, Ibu capek, hawanya panas juga di dapur. Bentar, Ibu duduk dulu. Mbak Naning makan saja, biar Ibu saja yang selesaikan semua.” 

Aku merasa senang sekaligus kasihan saling tarik menarik dalam hati. Senang karena merasa diperlakukan seperti anak kecil yang dimanja Ibunya, momen yang belum pernah aku rasakan sejak kecil. Tetapi, satu sisi merasa kasihan karena rasa capek yang Ibu rasakan sebab ingin bersikap dan berbuat layaknya seorang Ibu pada anaknya. 

Ibu, masih tergambar jelas tangismu kala itu, tangis karena mendengar ucapan negatif dari orang lain. Ibu yang dilabel sebagai seorang Ibu yang tidak bertanggung jawab dan abai pada anak-anaknya, kini anak-anak sudah besar dan mandiri, Ibu balik dan datang ke Jawa. 

“Ibu tau Ibu salah, kata-kata yang seperti itu yang Ibu takutkan, tapi apa hak mereka menghakimi Ibu?” keluhmu dalam tangis. 

Kami bisa merasakan bagaimana rasa sakit itu, karena kini kami telah menjadi orang tua bagi anak-anak. Rasa sedihmu tak mampu kami menghapus, menghibur dan menyembuhkannya dengan baik. Namun, bersyukur telah kami sampaikan kepadanya, “Ibu, jangan dengarkan ucapan orang-orang itu. Mereka tidak tahu apa yang Ibu rasa dan Ibu alami. Yang penting, kami tidak menyimpan dendam dan tidak pula abai terhadap Ibu. Biarlah yang lalu menjadi pelajaran, yang terpenting saat ini kita sudah berkumpul dan berbagi cerita.”

“Sebenarnya Ibu tidak ingin kembali ke Jawa, karena Ibu belum ada uang banyak untuk memberi kalian rumah karena dari kecil Ibu meninggalkan kalian dan kalian mengalami banyak hal yang menyedihkan juga menyakitkan,” kata Ibu dengan sedih dan berderai air mata. Sungguh tak mampu diri ini menghibur, membendung dan menghentikan tangisanmu, maafkan kami. 

Waktu satu tahun, terasa singkat untuk dikenang, tapi Allah Swt telah menetapkan skenario terbaiknya untuk kita. Kami telah diberi waktu untuk berbakti kepadamu, menjaga dan merawatmu. Hingga pada akhirnya, kau menutup mata untuk selamanya, membawa segala asa yang kau pendam dan belum terwujud. 

Ibu, kini kau telah mempunyai rumah terbaik dari Allah Swt. Semoga Ibu berada di tempat terbaik di sisi Allah Swt. dan bahagia serta tenang di sana, husnul khotimah. 

Ibu, kami rindu segala ucapanmu yang menenangkan, merdunya suaramu yang menceriakan serta celotehmu pelipur lara.

Ibu, kekuatanmu menafikan segala sikap dan kata yang menyakitkan, adalah pelajaran yang bisa kami petik. Kau selalu membalasnya dengan senyuman, keceriaan, dan doa terbaik untuk mereka. Meskipun, hati kerap teruji dengan datangnya rasa benci dan air mata mengalir tanpa permisi. []

Baca juga:

0 Comments: