Headlines
Loading...
Oleh. N.S. Rahayu

SSCQMedia.Com- Aku haturkan rasa terima kasihku padamu, Ibu. Perjuangan dan pengorbananmu tak pernah mati dalam ingatanku. 

Ibuku, sosok sederhana, cantik, cerdas, tidak sombong, lemah lembut, dan suka menolong. Meski lahir dari keluarga yang tersisih, karena kemiskinan, Ibu selalu tersenyum menawan, tak banyak kata namun aksinya nyata. 

Kami tinggal di rumah kecil yang dipinjamkan oleh Perhutani Banjarejo, Ngawi sebagai fasilitas guru yang mau mengajar di wilayah Perhutani Banjarbanggi, Banjarejo. Alhamdulillah ada listrik meski kecil, dan air dari sumur bur yang dimiliki pihak Perhutani. Pinjaman dan fasilitas itu cukup membantu meringankan perekonomian keluarga. Ibu dan bapak sangat mensyukuri semua yang ada.

Kami tiga bersaudara. Aku adalah si bungsu, ada kakak pertama laki-laki, dan kakak kedua perempuan. Ditambah ada adik dari bapak [bulik) yang ikut bersama keluarga kami, sebagai balas jasa karena putrinya yang sudah yatim disekolahkan oleh ibu. Pekerjaannya bersih-bersih rumah.

Ibu bekerja sebagai seorang guru SD di desa, namanya SD Banjarbanggi. Nama ibuku Sumini. Ibu sangat mencintai pekerjaannya. 

Saat itu perekonomian tak menentu, sehingga ada yang merendahkan pekerjaan guru, karena penghasilan seorang sopir dan buruh lebih banyak dari gaji guru. Kejadian itu sekitar 50 an tahun lalu. Namun, pilihan ibu tetap menjadi guru, mencerdaskan anak bangsa, tak terpikir untuk keluar mencari penghasilan yang lebih besar.

Menurut pandanganku, si bocah kecil yang masih duduk di bangku SD , orang tuaku keluarga miskin, karena kehidupan sehari-hari yang kurasa, sangat-sangat sederhana sekali. Bahkan penuh hinaan. 

Baju seragam dipakai dari kelas 1 sampai kelas enam, guru dan tetangga yang lain mengatakan bajuku adalah baju masa depan di depanku langsung. Ibu membuatkan baju seragam untukku dengan tangan sendiri dan selalu dibuat kedodoran, sehingga bisa terus dipakai sampai kelulusan SD. Cara pakainya cukup sabuk dikencangkan, maka pinggang baju akan mengikutinya. Sebenarnya aku malu! Tapi tak pernah kuhiraukan ejekan yang memerahkan telinga, karena aku bangga dengan ibuku yang pandai bikin baju sendiri. 

“Gak usah menuruti kemauan orang lain, selama masih layak dipakai, gak perlu ganti lagi, kan, Nak. Mengerti?” Nasehat ibu dengan pandangan yang teduh. Aku terhipnotis dan menginggat kalimat itu hingga hari ini. Tak mengganti pakaian jika masih layak digunakan, meski sudah tertelan model. 

Untuk makanan, hingga kini ada makanan yang sudah lekat di lidah dan sulit kutinggalkan, meski ketika kusebut nama makanan yang kujadikan lauk favorit itu, membuat orang lain tertawa tak percaya. Tawa itu kudapati dari aku kecil hingga saat ini. Menurut lidahku yang sudah terbiasa, jika makan lauk itu dengan nasi hangat “muluk” atau makan dengan jari, nikmatnya luar biasa. Nama lauk itu adalah sambal tempe bosok, sebuah makanan tidak lazim bagi orang lain, tapi menjadi makanan sehari-hari keluargaku kala itu. 

Entah apa keanehannya, menu enak itu juga tak lazim di menu orang lain. Hingga ketika aku sudah besar aku tahu, bahwa tempe bosok itu jamu untuk ternak sapi ketika nafsu makan sapi hilang. Haah, jamu sapi?!!!

Aku tertawa terpingkal-pingkal saat tahu fakta sesungguhnya, tempe bosok yang jarang dijadikan menu sambal, sering dibuang begitu saja, jadi lauk utama keluargaku, karena murah dan sering tak digunakan orang, bahkan sering dibuang. Hanya yang kepepet kebutuhan hidup, yang memanfaatkannya untuk lauk. 

Ibu, sekali lagi, kau ajarkan aku arti kehidupan bahwa tak boleh membuang-buang makanan. Selama masih bisa digunakan, gunakan saja, pasti ada manfaatnya. Yang murah dan terbuang belum tentu tidak memiliki nilai guna. Masya Allah.

Uang saku? Jujur, aku tak pernah diberi uang saku waktu sekolah SD, alasannya karena dekat rumah, haus atau lapar bisa pulang pas jam istirahat. Prinsip ibu yang penting makan nasi sudah cukup, tak perlu jajan. Aku pun menurutinya hingga aku SMP. Bedanya saat SMP itu ada uang jajan ketika jadwal pelajaran olah raga, sebatas untuk beli es saja. Saat SMA hanya, karena jarak yang jauh dari rumah, diberi uang untuk naik kendaraan umum dan beli es jika haus, tak lebih. Jika ada ekstrakurikuler, bawa bekal nasi putih dan garam atau tahan lapar!

Aku sering membandingkan kehidupanku dan teman lainnya. Sungguh sangatlah berbeda. Teman-temanku sering jajan suka-suka ingin mereka, pakaian modis, ikut les tari, dll. Tapi entahlah, aku tak pernah tertarik! Aku sudah punya gaya hidup yang ditulis oleh ibu dalam benakku, dalam hidupku, dan aku bisa bahagia. Bagaikan tulisan yang diukir di atas batu yang tak pernah terhapus masa.

Bagaimana tidak? Dalam kesempitan ibu mampu juga menanggung biaya hidup dan sekolah seorang anak yatim (putri Bulik). Kadang menutup SPP murid yang tak bisa ambil rapor/ijazah karena masih “nunggak”. Semua dilakukan ibu dengan menyisihkan dari gaji kecilnya. Ibu membantu membayarkannya, meski harus mengencangkan ikat pinggang keluarga sendiri.

Hasilnya adalah cinta dan kasih sayang yang saling berbalas untuk menjaga silah ukhuwah. Sering kudapati, setiap ada panen ikan atau ”pladu”, maka ibu ikut merasakan hasil panennya, hingga sampai dijemur karena banyaknya. Terkadang ada pisang satu tandan yang diantar murid ke rumah, singkong, mangga,rebung, dll. Bentuk-bentuk kasih sayang dari para wali murid dan muridnya. Hal ini membuat kecemburuan pada guru lainnya, karena hanya ibu yang “ketiban” rezeki.

Ibu memang kekurangan materi, namun masih bisa melakukan banyak hal yang diajarkan dalam Islam dengan caranya sendiri. Meski waktu itu ibu baru belajar Islam, karena ibu lahir dalam keluarga broken home yang tidak mengerjakan perintah Allah, tapi Allah memberi naungan perlindungan pada ibu dalam menjalankan ajarannya sedikit demi sedikit. 

Aku yang awalnya tidak memahami apa yang ibu lalukan, karena hidup dalam kekurangan, akhirnya mengerti arti hidup yang sesungguhnya. Ibu tak mengajarku dengan kata-kata, tapi langsung dengan tindakan nyata yang bisa kulihat langsung. Ibuku ternyata sangat keren pada masanya. Masya Allah.

Aku memiliki ibu yang setegar karang  menjalani kehidupan, meski ujian dan ombak menerjang berulang kali, si karang tetap di tempat semula dan kokoh. Aku sangat bangga memiliki ibu yang penuh cinta dan banyak memiliki cinta dari para muridnya. [My]

Ngawi, 22 Desember 2024

Baca juga:

0 Comments: