Kisah Inspiratif
Ibuku Jalan Hidayahku
Oleh. Lilik Yani
SSCQMedia.Com- "Bu, izinkan aku melanjutkan kuliah di Surabaya, ya," ucapku sambil duduk menemani ibuku minum kopi.
"Pesan bapakmu, kalau mau kuliah syaratnya harus masuk negeri. Bapak tak mampu biayanya. Ingat kakakmu, kuliah di swasta biaya sangat besar," jawab ibu.
"Baik, Bu. Aku akan belajar sungguh-sungguh agar bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri. Mohon doa restunya, nggih, Bu," pintaku sopan.
***
Lampu hijau bisa kuliah sudah aku dapatkan. Masalahnya ada syarat yang harus dipenuhi yaitu diterima PTN. Itu artinya aku harus belajar lebih keras lagi, apalagi impianku adalah masuk Teknik Kimia ITS. Pastinya harus punya bekal matang agar bisa diterima di jurusan impian.
Hingga suatu saat pengumuman kelulusan pun dipasang. Alhamdulillah, lulus dengan nilai memuaskan. Bergegas mendaftar ke Surabaya.
"Mau ambil jurusan apa kuliah di Surabaya?" tanya Ibu.
"Teknik Kimia di ITS, Bu. Itu impianku sejak awal. Makanya aku masuk jurusan A1 sejak kelas 2 SMA. Sebagai bekal masuk kuliah nanti," jelasku.
"Kok jurusan teknik? Kamu kan perempuan? Pilih kesehatan, atau guru saja biar manfaat untuk keluarga nantinya," pinta ibuku.
"Aku gak pernah belajar Biologi Bu, aku ambil A1 bukan A2. Aku gak suka hafalan bahasa latin. Aku suka rumus-rumus dan hitungan," kilahku.
Ibu diam sejenak, sepertinya sedang merenung. Lalu ibu menyampaikan apa yang dirasakan.
"Ibu habis ketemu ibunya Lala, temanmu. Beliau cerita kalau Lala akan mengambil jurusan Analis di Unair. Bapaknya Lala kerja di Puskesmas, beliau ingin Lala mengikuti jejaknya," kisah ibu.
"Oh, Lala emang A2, Bu. Jurusan Biologi cocok buat dia. Aku gak mau, Bu!" bantahku
"Ibu tahu kamu pintar Matematika dan Fisika. Ibu paham kamu suka teknik. Tapi Ibu khawatir kalau kamu di jurusan teknik, banyak laki-lakinya," kata ibu.
"Ehm, ada banyak yang perempuan kok, Bu. Ini kan Teknik Kimia, bukan Teknik Mesin. Aku dulu di A1 juga hanya 3 murid perempuannya. Aman-aman saja kok, Bu," jelasku.
"Ibu paham kamu bisa menjaga diri, tapi ibu lebih senang jika kamu bersama teman dari sini. Ibu tak tega melepasmu kuliah jauh ke Surabaya. Ibu lebih tenang ada teman dari Ngawi. Teman yang sudah kamu kenal, orangtuanya juga ibu kenal. Jadi kalau ada apa-apa bisa bareng Lala. Beliau sangat senang jika kamu ambil jurusan Analis. Dari A1 boleh kok, kan jurusan IPA juga," kisah ibu panjang lebar demi meluluhkan egoku.
***
Muncul dilema dalam diriku, aku harus mengubur impianku. Impian menjejakkan kaki ke bumi Surabaya, karena ada ITS yang sudah terbayangkan sejak aku SD. Hingga suatu ketika ada kakak seniorku yang kuliah di ITS bercerita, makin menguatkan mimpiku.
Bekal masuk ITS sudah aku siapkan matang, ternyata di ujung pendaftaran harus berdebat dengan ibuku berhari-hari. Hingga Bapakku yang bijak membisikkan padaku, "Turutilah permintaan ibumu. Ibumu sangat mencintaimu, beliau tak mau pisah denganmu. Daripada tak bisa kuliah, pilih mana?"
Aku pun takluk, menyerah demi ibu. Daripada tak mendapat restu ibu, khawatir tak berkah jika nekat. Alhamdulillah, dengan mudah aku masuk ke PTN pilihan ibuku.
Bisa dibayangkan betapa ada perang batin dalam hatiku. Apalagi saat tahu jadwal mata kuliah, semua tentang Biologi dan cabang-cabangnya. Mikrobiologi, Bakteriologi, Patologi, Virologi, Histologi, Anatomi, Parasitologi, dan lainnya. Tak sedikitpun ilmu kelas Fisika yang muncul.
Sungguh tak ada kenyamanan sama sekali saat itu. Satu tahun belajar dengan terpaksa. Apa enaknya belajar sambil pertentangan batin. Untungnya Allah tetap menjagaku untuk tetap sadar diri. Ibadah baik, komunikasi baik, juga tetap belajar meski tak sepenuh hati. Yang aku inginkan bisa cepat selesai dan pergi dari suasana belajar terpaksa ini.
Nilai Bagus Meski Belajar Setengah Hati
Aku berupaya tetap menunaikan amanah. Teringat bapak yang bekerja keras agar bisa membiayai kuliahku. Juga impian ibu punya anak lulusan kesehatan.
Satu semester aku jalani kuliah dengan mudah. Terbukti IPK bagus tanpa harus remidi. Begitu juga di semester dua yang mulai banyak praktikum, bisa dijalani dengan baik sebagai bentuk tanggung jawab kepada bapakku.
Lala yang belajar dengan senang hati, karena sesuai pilihannya, dia berkali-kali cemburu padaku.
"Mbak Lilik belajar seadanya tapi kok nilai bagus, ya?" tanya Lala usai pengumuman nilai akhir semester.
"Iya, La. Aku selalu ingat Bapak yang kerja keras siang malam naik sepeda ongkel ke tempat kerjanya. Aku bertekad cepat lulus, La!" jawabku.
Setiap hari aku sama Lala, kuliah, belajar, makan, bahkan sampai pulang kampung pun, juga bersama dia. Dengan begitu ibu merasa tenang, dan selalu mendoakanku. Begitu yang ibu sampaikan ketika aku pulang, libur semester.
Hidayah Datang Awal Semester Tiga
Liburan semester dua tak nyaman lama-lama di rumah. Seolah ada panggilan untuk kembali ke tempat kost. Aku sampaikan niatku ke ibu setelah dua minggu liburan di rumah.
"Bu, mohon izin aku balik ke Surabaya, ya? Aku ingin menambah belajar di perpustakaan agar lebih paham," pintaku pada ibu. Kebetulan Bapak sedang membaca koran tak jauh dari ibu.
"Masih dua pekan lagi kok mau balik, sudah tak kerasan di rumah?" canda Bapak.
"Bukan begitu, Pak, Bu. Aku suka kok liburan di rumah. Tapi kalau kelamaan takut pelajaran lupa," jawabku.
"Lala juga mau balik ke Surabaya?" tanya ibu
"Tidak, Bu. Kebetulan ada hajatan, kakak sepupu Lala akan menikah katanya. Jadi besok aku pulang sendiri. Rencana berangkat pagi saja biar gak panas," ujarku.
Alhamdulillah, Bapak Ibu mengizinkan aku balik Surabaya, tanpa banyak rintangan. Ternyata ada panggilan jiwa yang meronta ingin dipenuhi.
Ada beberapa teman kost yang tak pulang. Jadi aku ada temannya. Titis dan Nana sedang aktif mengkaji Islam. Aku penasaran lalu tanya-tanya. Mereka penuh semangat bercerita, hingga aku terpana ingin tahu lebih dalam tentang Islam.
"Mbak Lilik, daripada banyak pertanyaan, yuk ikut saja!" ajak Nana.
"Tapi aku gak punya jilbab seperti kalian," ujarku
"Coba pakai punyaku, Mbak. Aku ada banyak, ada yang besar juga. Yuk ke kamarku, Mbak bisa pilih," ucap Titis ramah sekali.
MasyaAllah, ketika Allah menghendaki, semua jadi mudah. Ada beberapa pilihan jilbab Titis yang cukup aku pakai. Jadilah aku ikut datang ke pengajian bersama Titis dan Nana.
"Jangan melakukan sesuatu yang tak ada ilmunya. Allah menurunkan Al-Quran As-Sunnah kepada Rasulullah saw sebagai pedoman hidup manusia," jelas Ustazah Rahma. Itulah ilmu yang aku dengar pertama kali. Aku tersentak, jadi aku harus mengaji Islam agar tahu landasan melakukan aktivitas.
"Silakan buka QS Al Ahzab: 59. Tolong dibacakan, Mbak Nana" pinta ustazah sopan.
"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS Al Ahzab : 59).
Aku makin terpesona, oh begitu ya, dengan mengaji akan ditunjukkan dalil suatu amal. Ternyata isinya tentang perintah memakai jilbab. Hukumnya wajib artinya aku juga harus memakai jilbab? Sementara ini aku berdosa dong karena belum memakainya? Sambil memperhatikan keterangan ustaz, dadaku bergoncang. Takut dosa.
"Apakah ada yang kurang jelas dari penjelasan saya? Ada yang mau ditanyakan?" tanya Ustazah setelah menjelaskan panjang lebar tentang kewajiban berjilbab bagi muslimah.
Aku ingin bertanya, banyak hal belum aku pahami. Maklum belum pernah mengaji. Di desa aku baru paham tentang kewajiban salat dan puasa saja. Tak ada seorang pun memakai jilbab di desaku. Aku pertama kali melihat 2 orang teman Analis yang memakai jilbab. Jadi sungguh menjadi ilmu baru bagiku.
"Ustazah, maafkan saya baru ikut mengaji hari ini. Terima kasih saya mendapatkan ilmu baru bahwa mengenakan jilbab adalah wajib bagi muslimah. Bagaimana dengan saya yang selama ini tidak memakai karena tidak tahu?" tanyaku dengan nada ketakutan.
Ustazah menjelaskan dengan sangat baik dan membuatku tenang. Namun bersemangat untuk terus mengaji dan berupaya untuk berjilbab dengan baik.
Hidayah Itu Hadir Wasilah Ibuku
Aku merenung sepanjang perjalanan pulang, teringat bagaimana ibuku seolah memaksa agar aku memilih kuliah di Unair. Ternyata ada hikmah besar di balik pertentangan batin yang aku rasakan saat itu.
Allah mengujiku satu tahun untuk belajar dengan rasa tak suka. Sungguh sebuah beban yang tak enak, inginnya keluar dan berlari kencang. Tapi Allah menguatkan aku untuk bertahan, ternyata ada hadiah manis di baliknya. Allah memberikan hadiah ilmu agama yang indah sekali. Aku ditunjukkan ilmu Qur'an secara langsung. Melihat, mendengar dan merasakan sekaligus.
Allahku, meleleh hatiku saat itu. Aku jadi berterima kasih pada ibuku yang bersikeras memintaku pilih Analis. Apa pun alasan ibuku, beliau jadi wasilah aku bertemu Titis dan Nana yang mengajakku mengaji dan bertemu Ustazah Rahma.
Aku bertekad untuk menyampaikan ilmu yang aku dapat dari pengajian pada ibu. Ibuku jalan hidayahku, ibuku jalan surgaku. Aku sangat berharap ibuku bisa merasakan indahnya Islam seperti yang aku rasakan. MasyaAllah, Allah begitu baik. Ketika aku mudik, aku ceritakan pengalaman baruku kepada ibu. Luar biasa, Allah memberikan pemahaman buat ibuku. Ibu menerima dengan mudah, ibu tak menganggapku aneh meski penampilanku berubah.
"Kalau perintah Gusti Allah harus begitu, ya kita harus manut (taat)," ucap Ibu.
MasyaAllah, siapa yang tak meleleh mendengar ucapan ibuku yang biasanya banyak alasan. Ketika aku menunjukkan dalil Quran, beliau takluk. Semoga hidayah Islam ini terus di dadaku, juga ibuku.
Wallahualam bissawab. []
Surabaya, 18 Desember 2024
0 Comments: