Headlines
Loading...
Oleh. Novi Ummu Mafa

I. Suami

Hari itu, kereta bawah tanah penuh sesak. Aku berjalan lebih dulu, beranggapan bahwa dia akan mengikutiku seperti biasa. Tapi saat menoleh, dia tak lagi di sana. Aku mengira dia hanya tertinggal sebentar. “Nanti juga dia akan muncul,” pikirku. Tetapi, malam semakin larut, dan dia tak kunjung datang.

Aku mulai menyadari, mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan rutinitasku untuk benar-benar melihatnya. Istriku, selalu tampil sederhana, hanya mengenakan baju lama yang sudah mulai pudar warnanya. Dia tidak pernah berdandan, karena uang hanya cukup untuk makan. Bahkan untuk dirinya sendiri, dia tak pernah meminta apapun.

Aku teringat betapa sering aku melampiaskan amarahku padanya saat stres karena beban kerja. Namun, meski begitu, Dia tidak pernah mengeluh. Setiap kali aku kembali ke rumah dengan wajah lesu dan penuh kekesalan, dia selalu menyambutku dengan senyum lembut dan kata-kata penuh syukur. "Syukur alhamdulillah, suamiku pulang," katanya, meski aku tahu kadang dia merasa kesepian.

Dia selalu bersyukur dengan apa yang ada, dengan segala kekurangan yang kami miliki. Tak pernah keluar ucapan keluh kesah darinya, dia tetap setia mendampingiku, merasa cukup dengan apa yang aku beri.

II. Anak Perempuan

Ibu selalu terlihat biasa saja. Rambutnya beruban, tubuhnya kecil, dan dia tidak pernah berbicara panjang lebar. Aku menganggapnya sederhana, bahkan membosankan. Tapi saat dia hilang, aku baru sadar betapa besar perannya dalam hidupku.

Aku ingat bagaimana dia selalu sabar menasihatiku, meski aku tak pernah menurutinya. Suatu pagi, ketika aku baru saja keluar dari kamar dengan pakaian yang menurutnya terlalu ketat, dia menghela napas panjang.

"Iza, kenapa kau tidak mau mendengarkan ibu nak?" katanya dengan suara lembut namun penuh harap.

Aku hanya mengangkat bahu, mengerlingkan mata ke cermin, dan berkata, "Ibu nggak paham, ini namanya gaul, ibu. Semua teman aku juga gini kok."

Ibu tak menjawab. Hanya diam membisu meski matanya menyiratkan kesedihan. Sambil memegang pundak ku ibu berkata, "Ganti lah, Nak. Ibu tak tenang jika kamu berpakaian seperti itu?" 

Aku membalikkan tubuh, hingga tangannya jatuh dari pundakku. Tak ingin mendengar lagi. "Ah, Ibu terlalu cerewet. Jangan atur-atur hidup aku."

Aku hidup dengan gaya bebas, hedonis, bergaul dengan teman-teman yang tidak peduli dengan nilai-nilai yang diajarkan agama. Bahkan, saat aku enggan salat, ibu selalu mengingatkan dengan penuh kesabaran, "Iza, kamu harus salat, sayang. Ini bukan tentang aku atau ayah. Ini tentang hubunganmu dengan Allah - Sang Maha Pencipta, Nak ."

Aku mendengus, "Ibu nggak paham, deh. Aku capek kalau terus dipaksa begini."

Ibu hanya diam, menatapku dengan tatapan kosong, meski pun aku tahu dia terluka. 
"Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu," katanya, sebelum berlalu pergi meninggalkanku.

Namun, aku sering melupakan satu hal. Bahwa "Surga itu terletak di telapak kaki ibu." (HR. Bukhari dan Muslim). Setelah ibu hilang, aku mulai mengerti betapa besar pengorbanannya. Aku juga lupa bahwa aku adalah seorang ibu nantinya. Kini, aku sadar bahwa ibu adalah segalanya. Aku menyesal tak pernah perlakukan dia dengan sebaik-baiknya, sebelum semuanya terlambat seperti sekarang ini.

III. Anak Laki-Laki

Aku sedang duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diriku setelah seharian bekerja. Selama ini hidupku hanya mengejar materi saja dan aku tidak peduli dengan selainnya. Saat itu, aku mendengar suara pintu terbuka. Aku berpikir ibu akan kembali, tapi yang kutemukan hanyalah keheningan yang mencekam.

"Dia sudah lama tidak pulang, kan?" tanya ayah dengan nada serak.

Aku menatap ayah, masih bingung dan gelisah. 
"Iya, sudah hampir dua hari. Tapi... kenapa kita baru mulai mencemaskan dia sekarang, Ayah?"

Ayah terdiam sejenak, "Aku... aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusanku". Tapi dia selalu di sana sendiri dan selalu memberi tanpa meminta apapun. Aku sering marah-marah padanya tanpa alasan. Aku merasa... kehilangan dia sekarang dan aku sangat menyesal."

Aku menatap ayah, merasakan kepedihan yang sama. 
"Aku juga, Ayah. Dulu aku selalu menganggap dia cuma ada di rumah untuk urusanku, tapi aku tidak pernah tahu kalau dia juga butuh perhatian. Aku terlalu fokus pada hidupku sendiri."

"Dia selalu sabar," kata ayah, suaranya bergetar. 
"Dia menahan semuanya, tanpa mengeluh sedikit pun. Aku... aku harusnya lebih perhatian."

Aku terdiam, menahan air mata. "Ibu selalu bilang, ''Jangan pernah lupakan yang penting dalam hidupmu." Tapi aku selalu mengabaikannya.

"Dan sekarang kita hanya bisa menyesali semuanya," jawab ayah dengan suara rendah.

Kami berdua terdiam, berusaha menerima kenyataan yang belum sepenuhnya kami pahami.

IV. Kehilangan

Aku tak pernah membayangkan bahwa di tengah kesibukan kami, Ibu akan hilang begitu saja, tanpa ada yang benar-benar memperhatikannya. Dia hanyalah bagian dari latar belakang kehidupan kami yang sibuk dalam dunia yang fana dan hina. Ibu selalu ada untuk kami, namun tak pernah benar-benar kami lihat.

Ibu hilang dalam kekacauan banjir bandang, terseret arus deras yang menerjang stasiun kereta bawah tanah. Kami baru menyadari bahwa, dalam banjir itu, kami juga telah kehilangan sesuatu yang lebih besar dari sekadar tubuhnya. Kami kehilangan kesempatan untuk menunjukkan betapa kami mencintainya, betapa kami menyesal tidak pernah memperlakukannya dengan layak.

Ketika akhirnya kami menemukannya, di antara puing-puing dan reruntuhan, tidak ada kata-kata yang bisa menggantikan penyesalan yang menguasai hati kami. Ibu, wanita yang selama ini kami abaikan, kini hanya meninggalkan kenangan yang terlanjur terlambat kami hargai.

Lamongan, 19 Desember 2024

Baca juga:

0 Comments: