Headlines
Loading...
Oleh. Dwianti Nur Fadhilah

SSCQMedia.Com- Siang ini kegembiraan mereka seolah menulariku. Semangat mereka menjawab salah hingga menghafal surat-surat pendek yang kuajukan, patut dihargai ribuan bintang. Tapi di antara anak-anak yang aktif merespon pelajaranku, adalah dia yang duduk tepat di hadapan meja guru. Dia begitu tenang dan terlihat sangat damai. Tak terganggu sama sekali dengan teriakan kawan-kawannya. Bahkan, godaan dan gangguan teman-temannya tak juga membuatnya terusik sedikit pun. 

Hingga teman-temannya kesal dan akhirnya melapor padaku, "Us, ada yang tidur."

Aku tak marah dengan laporan itu. Apalagi saat aku tau siapa yang tertidur saat jam pelajaranku. Bocah laki-laki yang kutahu adalah santri dari pondok yang memang disediakan khusus untuk siswa-siswi SDIT Al Mustanir sebagai fasilitas tambahan bagi mereka yang ingin lebih dekat dengan Allah.

"Sudah biar, Mas. Kecapekan itu. Ndak papa," jawabku santai.

"Yang lain tetap fokus ke Ustadzah, ya. Siapa yang mau jadi anak pintar?" ujarku dengan suara cukup keras agar bisa didengar seluruh siswa di kelas.  

Sontak semua mengajukan diri dengan mengangkat tangan. "Sayaaa!"

Alhamdulillah kelas kembali bisa kukendalikan meski sempat tak terkontrol. Aku sadar betul, anak-anak kelas satu butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah seperti ini. Dengan pelajaran yang lebih banyak tentunya. Begitupun tugas-tugasnya.

"Us, jangan nulis ya?! Tanganku capek. Dari tadi tugasnya nulis terus." Suara satu siswiku dengan wajah polosnya penuh harap agar pintanya dikabulkan.

Akhirnya kuisi pelajaran di jam terakhir itu dengan tebak-tebakan dan kisah Nabi Muhammad saw. Waktu berlalu cepat. Beberapa menit sebelum pulang, bocah yang sedari tadi tertidur itu akhirnya bangun. Ia mencoba untuk fokus dengan pelajaranku meski sudah di ujung waktu.

"Us, pensilku hilang," lapor seorang siswaku yang lain kebingungan.

"Pensilnya seperti apa, Mas?"

"Ujungnya udah aku rautin semua, Us. Nggak terlalu panjang."

“Teman-teman," ujarku meminta perhatian seisi kelas.

"Siap!" jawab mereka kompak.

"Ustadzah boleh minta tolong?"

"Boleeehh"

"Tolong bantu Ustadzah cari pensilnya mas Haris ya?"

"Ndak mau."

"Ayo, Us. Pulang!"

"Siap, Us. Kayak gimana pensilnya?" satu tanggapan yang paling berbeda dengan jawaban penolakan yang lain. Dan ucapan itu berasal dari Aldy. Bocah laki-laki yang tadi menghabiskan waktu pelajaranku hampir seluruhnya dengan tidur lelap.

Ya, hanya dia yang bersedia dan dengan sigap menggeledah setiap sudut di dekat bangkunya bila mungkin pensil itu jatuh di sana. Namun hingga waktu habis, tak ditemukan juga pensil yang kami cari meski sudah dibantu siswa-siswi yang lain juga. Dengan terpaksa kuminta Haris mengikhlaskan pensil itu. Dan alhamdulillah dia mau karena dia juga ingin cepat pulang.

Siang hari sepulang dari sekolah, aku menerima sebuah pesan dari bundanya mas Aldy, "Ustadzah, tadi Mas Aldy di kelas pripun?"

"Kecapekkan, Bun. Waktu jam saya, tidur. Hehe."

"Tidur lagi ya? Kemarin juga tidur katanya, waktu qiroaty."

"Tidak apa, Bun. Baru adaptasi. Di pondok kan diminta bangun pagi. Kakak kelasnya yang pondok juga kemarin ada yang tidur waktu kelas saya. Masyaallah. Semoga sehat-sehat selalu ya, Nak …"

"Iya, Us. Baru mengubah siklus. Biasanya di rumah bangunnya siang. Hehe. Tapi setelah jam pulang udah fresh, Us, udah nggak ngantuk lagi?"

"Iya, sudah aktif lagi. Membantu temannya cari pensil yang hilang, tadi. Hehe … super heronya muncul."

"Iya, pahlawan munculnya di akhir cerita, ya?"

"Iya, kayak polisi India. Upss!"

"Dari kemaren dapat cerita, tentang mas Aldy yang lucu-lucu, gemes. Jadi kangen… yang sifat heroicnya muncul. Sip."

"Iya. Mas Aldy luar biasa. Lucu, pintar, baik hati pula."

"Alhamdulillah. Semoga jadi anak yang bermanfaat, saleh, ya Kak. Mohon bimbingannya untuk Mas Aldy di sekolah ya, Us."

Sebuah obrolan singkat yang cukup dalam bila kucoba resapi bagaimana usaha keras seorang bunda menahan rindu pada anaknya. Seolah sang bunda ingin mengungkapkan bahwa, 

"Berpisah denganmu adalah hal terberat bagiku. Namun aku tak ingin kau tumbuh menjadi anak yang lemah karena kasih sayangku yang selalu bisa kau rasakan setiap waktu."

"Aku ingin kau tumbuh menjadi anak sholih yang pemberani, cerdas dan tentunya mulia hati. Untuk itu aku rela berpisah denganmu untuk semetara waktu. Bukan karena aku tak sayang padamu, Nak. Justru karena kasih sayangku yang sungguh luar biasa untukmu. Aku rela menahan rindu bersua denganmu agar kau bisa lebih maju. Namun di balik itu, aku selalu menanyakan kabarmu pada mereka yang dekat denganmu. Itu caraku mengobati rinduku padamu putra kebanggaanku. Bunda sayang kamu meski kau tak selalu tau akan hal itu."

Hari ini aku belajar dari kisah Aldy. Belajar bahwa kasih ibu tak pernah lekang oleh waktu. Sekalipun harus rela menahan rindu. Namun perhatiannya tak pernah lepas dari memikirkan apa kabar putranya hari itu. Aku paham akhirnya bagaimana sosok Aldy begitu berbeda dari anak kebanyakan. Begitu mulia hatinya hampir tak kuduga pada diri Aldy yang begitu aktif, kadang juga jahil, tapi juga pintar. Rupanya semua itu tak lepas dari bundanya yang luarbiasa. Terutama doa tulus sang bunda yang tak terputus dikirim untuk Aldy di manapun ia berada. 

Aku pun belajar, bahwa jarak bukanlah masalah bagi dua insan yang saling mencinta. Sebab doa yang dipanjatkan pada Sang Pencipta adalah cara paling tepat untuk mengikat hati mereka agar selalu dekat. [My]

Klaten, 17 Desember 2024

Baca juga:

0 Comments: