Hikmah
Kita Ini Milik Allah
Oleh. Eka Suryati
SSCQMedia.Com-
Sudah beberapa bulan aku menjadi anggota komunitas Sahabat Surga Cinta Qur'an (SSCQ). Bersama sahabat di SSCQ, aku bertilawah setiap hari, tidak lupa membaca terjemahannya. Begitulah hari-hari berlalu. Dan kini setiap hari rasanya makin indah, hidup menjadi lebih bermakna. Tak perlu ada kata bosan pada setiap keadaan, karena bisa kita isi dengan bertilawah. Ada rasa syukur di hati karena Allah jua yang memberi izin diri ini bergabung di Komunitas Sahabat Surga Cinta Qur'an.
Dalam challenge ODOJ kali ini, seperti biasa, melakukan tilawah lalu membuka terjemahannya. Lalu diriku tertegun ketika sampai pada QS. Ali 'Imran ayat 145:
وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ اَنۡ تَمُوۡتَ اِلَّا بِاِذۡنِ اللّٰهِ كِتٰبًا مُّؤَجَّلًا ؕ وَ مَنۡ يُّرِدۡ ثَوَابَ الدُّنۡيَا نُؤۡتِهٖ مِنۡهَا ۚ وَمَنۡ يُّرِدۡ ثَوَابَ الۡاٰخِرَةِ نُؤۡتِهٖ مِنۡهَا ؕ وَسَنَجۡزِى الشّٰكِرِيۡنَ
”Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Padahal sudah sering membacanya, namun ada kesan tersendiri di hati saat membacanya kali ini. Mencoba mendalami makna dari ayat yang dimaksud, maka kucoba membuka juga tafsirnya. Ternyata ada sebab mengapa Allah menurunkan ayat tersebut. Yah, turunnya ayat ini karena pada Perang Uhud, sebagian pasukan muslim berlari menjauhi medan perang, mereka lari dari pertempuran karena takut akan kematian yang membayang di depan mata jika menghadapi pertempuran.
Mereka lupa bahwa perang adalah kewajiban untuk membela agama dari musuh-musuh Islam. Mereka juga lupa bahwa seandainya pun mereka mati di medan pertempuran itu, maka pahala yang besar sudah pasti Allah berikan sebagai hadiah, karena mereka mati syahid. Dan yang paling penting mereka lupa bahwa setiap yang bernyawa itu tidak akan mati dengan sebab apa pun, kecuali dengan izin Allah semata.
Kita dan mereka yang dikisahkan dalam ayat tersebut sering lupa ajal sudah ditetapkan Allah baik waktu maupun tempat dan penyebabnya. Jika dikehendaki Allah, mereka mati dalam pertempuran itu, maka mereka akan mati, dengan menjadi syuhada. Namun jika belum waktunya, tentu saja tak akan menemui kematian, walau musuh siap menghadang. Ajal tidak bisa ditunda atau diminta untuk dipercepat, Allah jua yang berhak atas seluruh hidup dan kehidupan ini.
Lalu, Allah memberikan bimbingan kepada umat Islam bagaimana seharusnya berjuang di jalan Allah dengan firman-Nya:
”... Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu ....” (TQS. Ali 'Imran, 145)
Artinya bahwa setiap orang Islam harus meluruskan dan membetulkan niatnya dalam melaksanakan perjuangan. Kalau niatnya hanya sekadar untuk memperoleh balasan dunia, biar bagaimanapun besar perjuangannya, maka balasannya hanya sekadar yang bersifat dunia semata. Dan barang siapa yang niatnya untuk mendapat pahala akhirat, maka Allah akan membalasnya dengan pahala akhirat. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur yaitu orang-orang yang mematuhi perintah-Nya dan selalu mendampingi Nabi-Nya.
Ayat tersebut sangat relevan dengan kejadian-kejadian yang menimpa hidup kita. Dalam percakapan sehari-hari sering kali kita meniadakan takdir Allah ini, seakan-akan ada yang bisa mengambil nyawa kita tanpa seizin Allah. Tradisi jahiliah tanpa sadar diterapkan karena ingin menghindar dari kematian. Seakan-akan kita bisa menunda kematian seseorang, atau sesuatu bisa menyebabkan orang tersebut mati.
Seperti kejadian yang dialami seseorang yang melakukan tradisi tebus anak dari dukun atau menjual anak ke orang lain karena wajahnya yang sangat mirip dengan orang tuanya. Ketika anak laki-laki dari kisah ini begitu mirip dengan ayahnya, maka ibunya berusaha menjual anaknya (hanya istilah dalam tradisi tertentu). Maksudnya adalah untuk menghindari salah satunya dari kematian. Astaghfirullahal ‘adzim, memang ada orang lain bisa menjadi penyebab kematian orang lain? Padahal sudah jelas si anak maupun bapaknya memiliki takdirnya masing-masing. Dan takdirnya tak akan tertukar. Hal-hal seperti ini yang harus kita luruskan agar tak banyak dari kita yang terjerumus pada lembah kemusyrikan.
Lalu ada yang meyakini dalam keadaan tertentu orang yang meninggal itu akan mengajak orang lain, sehingga harus dilepas ayam dan sebagainya, yang tentu saja itu bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat seseorang meninggal, lalu tak lama kemudian keluarganya yang lain menyusul, percayalah itu semua memang takdir Allah. Sudah seperti yang digariskan Allah. Dan orang meninggal itu tidak punya kekuatan atau kekuasaan apa pun untuk mencabut nyawa atau mengajak orang lain menjemput kematiannya.
Semoga kita semua memahami dan meninggalkan segala tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kita mutlak milik Allah. Hidup dan mati kita cuma Allah yang dapat menentukan. Tak ada satu pun yang dapat menyebabkan kematian kita, melainkan semuanya sudah diizinkan Allah. Berserah diri secara totalitas kepada Allah, jangan pernah percaya pada takhayul, khurafat, apalagi pergi ke dukun untuk meminta perbaikan nasib. Jangan ya, jangan pernah menduakan Allah dengan apa pun. Jadilah hamba Allah yang selalu menjunjung tinggi ajaran tauhid. [Ni]
Kotabumi, 13 Desember 2024
0 Comments: