Headlines
Loading...
Krisis Kelaparan Melanda, Akses Pangan Tak Merata?

Krisis Kelaparan Melanda, Akses Pangan Tak Merata?

Oleh. Ummu Faiha Hasna
(Pena Muslimah Cilacap)

SSCQMedia.Com- Ketahanan pangan di berbagai wilayah di tanah air sangat beragam kondisinya. Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional, wilayah Papua menjadi wilayah yang paling rentan dalam ketahanan pangan. Berbagai agenda swasembada pangan dilakukan dari satu masa pemerintahan ke masa pemerintahan yang lain. Akan tetapi, hingga hari ini belum juga mampu menyelesaikan persoalan pangan di Papua. 

Adanya bencana kekeringan dan embun beku yang kerap melanda wilayah Kabupaten Puncak ini membuat tanaman sulit tumbuh dan mengancam ketersediaan stok pangan masyarakat. Bahkan, dikabarkan setidaknya ada enam jiwa yang dilaporkan meninggal dunia dan sekitar tujuh ribu lima ratus orang di Distrik Agandugume terancam mati kelaparan (metrotvnews.com, 8/8/2024).

Di masa presiden Prabowo Subianto, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran sebesar 15 triliun rupiah untuk membangun lumbung pangan nasional, daerah, dan desa (kompas.com, 10/12/2024).

Komitmen pemerintah membangun ketahanan pangan hingga ke pelosok tentu sudah sering didengar masyarakat. Sebagaimana pemerintahan sebelumnya, pembangunan lumbung pangan nasional/food estate bahkan dimasukkan dalam Proyek Strategis  Nasional (PSN).

Namun, alih-alih menyejahterakan rakyat, proyek tersebut beberapa kali gagal. Dewi Sartika, Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, Pemerintah Indonesia sepertinya tidak kapok-kapok dalam membangun kembali sistem pertanian dalam membangun model food estate yang sudah terbukti berulang kali gagal (kpa.or.id, 15/10/2024).

Ketidakseimbangan akses pangan yang terjadi hari ini, sejatinya menunjukkan gagalnya penguasa dalam menjamin kesejahteraan dan pemenuhan pangan rakyatnya. Semua ini tidak lepas dari tata kelola yang digunakan negara dalam menjamin kebutuhan pangan rakyat yang sangat buruk. Pasalnya, negeri ini kaya akan SDA yang sangat mampu menunjang kebutuhan pangan seluruh rakyat. Bahkan, kekayaan sumber daya alam tersebut tersebar di berbagai provinsi termasuk Papua. 

Hanya saja, pengelolaan pangan di bawah aturan sekuler kapitalisme yang diterapkan di negeri ini semakin mengukuhkan penguasaan lahan oleh korporasi. Sebab, model pertanian dengan pelibatan korporasi ini bisa dipastikan adanya pemberian izin konsesi untuk pengelolaan lahan kepada pihak korporasi. Sebagaimana proyek food estate dan proyek lumbung pangan lainnya. Akhirnya, terjadi ketimpangan kepemilikan lahan antara petani dan korporasi. Selain itu, dampaknya adalah pihak korporasi menguasai rantai produksi hingga distribusi pangan.

Maka, wajar, di kehidupan hari ini masyarakat juga semakin sulit memenuhi kebutuhan pangannya karena harganya yang dipastikan mahal. Apalagi, kondisi ini diperparah dengan pemimpin sekuler yang menempatkan penguasa hanya sebagai regulator dan fasilitator bagi para korporasi. Negara lalai terhadap tanggung jawabnya dalam menjamin pemenuhan pangan rakyat individu per individu. Negara tampak bergerak saat sudah ada kejadian bencana kelaparan.

Sementara itu, negara tidak memiliki pengolahan data yang menunjukkan wilayah mana saja yang berpenghuni. Negara semestinya mampu membangun infrastruktur yang memadai agar bisa memudahkan akses pangan dalam memberikan dukungan terhadap pertanian/perkebunan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Namun, nyatanya kepemimpinan populis otoritarian tidak melakukan hal tersebut.  Mereka justru menunjukkan sikap sekehendak hati terhadap rakyat dan melepaskan rakyat hidup dalam kesengsaraan.

Oleh karena itu, selama aturan hidup kapitalisme yang diterapkan di negeri ini persoalan ketimpangan akses pangan akan mudah terjadi. 

Tentu, ini akan jauh berbeda dengan aturan hidup dalam kepemimpinan Islam yakni daulah yang hadir untuk menjalankan syariat Islam secara sempurna sekaligus mengurusi seluruh urusan umat termasuk pangan. Ketahanan dan kemandirian pangan menjadi hal yang mutlak diwujudkan daulah. Peran utama untuk mewujudkannya ada di pundak penguasa.

Rasulullah saw. bersabda, bahwa "Imam atau khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Ahmad dan Bukhari).

Seorang imam/khalifah tidak boleh mengalihkan peran ini kepada pihak lain apalagi korporasi. Dan untuk merealisasikannya akan mengacu pada syariat Islam yang berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunah.

Islam memposisikan sektor pertanian sebagai salah satu pilar ekonomi karena berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, daulah akan memberikan perhatian besar terhadap sektor ini dengan mengoptimalkan pengelolaannya agar kebutuhan seluruh rakyat, individu per individu terpenuhi. Daulah akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dengan meningkatkan produktivitas lahan. Negara bisa mengupayakan intensifikasi dan menyebarluaskan teknologi terbaru dan paling unggul kepada para petani. Selain itu, daulah bisa membantu pengadaan benih unggul, pupuk, dan sarana produksi pertanian lainnya. 

Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dilakukan negara dengan mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang mati. Bahkan, negara akan memberikan modal tanpa kompensasi kepada mereka yang ingin mengelola tanah mati. Biaya tersebut diambil dari Baitulmaal (kas negara) pos kepemilikan negara.

Kebijakan tersebut dilakukan pemerintah semata untuk kemaslahatan rakyat bukan untuk kepentingan segelintir pihak oligarki maupun kepentingan penguasa sendiri serta tanpa menimbulkan kemudaratan.

Adapun dalam hal distribusi, Daulah Islam akan menerapkan prinsip cepat, sederhana, dan merata. Negara tidak akan membiarkan ada satu wilayah pun yang tidak mampu mengakses bahan pangan.

Dalam Daulah Islam, tidak akan terjadi ketidakseimbangan atau ketimpangan ekonomi seperti yang terjadi dalam tata kelola kapitalisme. Hal ini didukung dengan kepemimpinan Islam oleh penguasa yang memiliki kepribadian Islam, ketakwaan, welas asih, dan tidak antipati terhadap rakyatnya.

Sungguh, hanya dengan hadirnya kepemimpinan Islam yang sejatinya mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara merata dan mudah diakses, karena pemimpin dalam Islam akan meriayah rakyatnya dengan baik sehingga kesejahteraan benar-benar terwujud dan dirasakan bagi umat  yang ada di dunia. 

Wallahualam bissawab. [An]

Baca juga:

0 Comments: