cerpen
Menantang Bara, Menggapai Cahaya
Oleh. Novi Ummu Mafa
SSCQMedia.Com-
Dinda melangkah dengan berat hati menuju rumah Bari, kakaknya. Ia tahu, meminta bantuan bukanlah hal yang mudah, apalagi dari saudara yang sering kali memandang remeh dirinya. Namun, keadaan memaksanya. Tabungan semakin menipis, biaya hidup kian melejit, dan kebutuhan pendidikan Hana, putrinya yang mondok di pesantren, menjadi beban yang harus segera diatasi.
Sesampainya di rumah Bari, Dinda disambut dengan senyum tipis dan sinis. Kakaknya itu duduk santai di sofa, memegang secangkir kopi hangat. Bari, seorang pria dengan pekerjaan mapan, menjadi tempat Dinda berharap meskipun ia sering kali harus dikecewakan.
“Kak, Dinda ke sini mau minta tolong ....” Dinda membuka pembicaraan dengan suara pelan.
“Tolong apa lagi, Din?” tanya Bari datar dengan bergumam pelan.
“Dinda lagi butuh uang buat bayar biaya mondok Hana, Kak. Tabungan sudah habis, dan Hana juga butuh biaya di pondok. Dinda janji, nanti kalau ada rezeki, Dinda pasti balikin.”
Bari memutar tubuhnya, menatap Dinda dengan alis terangkat. “Din, apa suamimu belum dapat kerja juga? Suamimu kan sarjana. Masak kerja nggak dapat-dapat? Uang pesangonnya kemarin ke mana?”
Dinda menunduk, menahan tangis yang mulai tak terbendung. “Uang pesangon Hasan sudah sangat menipis buat bayar pondok Hana, Kak. Sekarang dia masih terus cari kerja, tetapi di zaman sekarang susah, Kak. Lowongan kerja lebih banyak untuk orang dalam. Politik uang di mana-mana, dan Hasan juga terbatas usia. Kita sudah berusaha ....”
“Ah, alasan! Dari dulu juga aku bilang, itu salahmu sendiri,” potong Bari tajam. “Salahmu menolak dijodohkan sama Ilham, PNS di kejaksaan. Malah pilih suami miskin tetapi sok alim. Itu pilihanmu, jadi terima risikonya!”
Kalimat itu menghujam hati Dinda seperti belati. Ia hanya terdiam membisu, tak tahu harus menjawab apa lagi. Dalam doanya yang lirih, ia bergumam, “Ya Rabb, kata-Mu dunia ini lebih hina daripada sayap nyamuk, tetapi mengapa manusia begitu sombong dan angkuh perkara dunia yang tak seberapa? Apakah sepenting itu dunia hingga saudara sendiri kehilangan arti?”
Dengan hati yang pedih, Dinda berpamitan. Bari hanya mengangguk ringan, tak ada tanda-tanda iba di wajahnya.
Sesampainya di kontrakan, Dinda mendapati Hasan sedang menidurkan Alif, putra bungsu mereka. Wajah Hasan yang lelah tampak tenang, meski Dinda tahu di balik itu ia menyimpan beban yang sama beratnya. Dinda duduk di sudut kamar, menatap tembok dengan tatapan hampa. Air matanya perlahan mengalir.
Hasan menghampiri Dinda setelah memastikan Alif tertidur nyenyak. “Dik, kenapa? Kakak Bari nggak bantu?” tanyanya, meski ia sudah menduga jawabannya.
Dinda mengangguk pelan. Dengan suara bergetar, ia berkata, “Mas, tabungan kita tidak cukup untuk menutupi kebutuhan bulan ini. Adik minta izin buat bantu kerja, Mas. Mungkin kalau adik kerja lagi, kita bisa menutupi kebutuhan. Hana di pondok juga butuh biaya. Dan berutang sana-sini pun tak ada gunanya”
Hasan menatap istrinya dengan penuh penyesalan. Ia menggenggam lembut tangan Dinda, seraya menahan air mata yang nyaris tumpah. “Dik, aku tahu ini berat bagimu. Kalau bukan karena aku, hidupmu pasti tidak seperti ini.”
“Mas, jangan bilang begitu ....” potong Dinda dengan cepat.
Hasan melanjutkan, “Aku tahu kamu anak orang berkecukupan. Hidupmu dulu serba nyaman, tetapi karena menikah denganku, kamu harus merasakan susahnya kehidupan. Maafkan suamimu ini, Dik, yang belum bisa membahagiakanmu dan anak-anak. Tabungan semakin habis, dan aku masih belum bisa dapat kerja. Tetapi percayalah, aku terus berusaha.”
Dinda terdiam, hatinya terenyuh mendengar kata-kata Hasan. Ia tahu suaminya telah berjuang sekuat tenaga, dan ia tak pernah menyalahkan Hasan atas apa yang mereka hadapi sekarang.
Hasan melanjutkan, “Dik, aku paham kegundahanmu. Tetapi aku mohon, tetaplah fokus menjadi ibu untuk Hana dan Alif. Adik itu ummun wa rabbatul bait. Madrasah pertama untuk anak kita. Dunia ini cuma sementara, Dik. Akhirat selamanya. Kita hidup di zaman yang penuh ujian, kehidupan sekarang ibarat menggenggam bara api. Karena bukan bertumpu pada hukum dan syariat Allah Swt.. Ingatlah, Dik,
"Akan tiba suatu masa ketika orang yang tetap teguh berpegang pada agamanya ibarat seseorang yang menggenggam bara api di tangannya." (HR. Tirmidzi)
“Itulah hidup kita di zaman sekuler kapitalis ini, Dik. Kita harus kuat dan jangan sampai goyah. Kalau Adik sibuk kerja, pendidikan, karakter dan urusan anak-anak kita pasti jadi tak karuan. Jangan sampai kita korbankan amanah itu demi mengejar sesuatu yang fana.”
“Tetapi, Mas ... kebutuhan kita ... bagaimana kalau tidak cukup?” Dinda berusaha memotong pembicaraan, namun Hasan dengan segera menenangkannya.
“Doakan aku, Dik, supaya cepat dapat kerja. Dan yakinlah, selama kita terus berjalan di jalan Allah, pasti akan ada solusi. Tidak ada duka maupun bahagia yang abadi. Semua akan berganti.”
Malam itu, Dinda merenung panjang. Ia menatap Alif yang tidur pulas, lalu teringat Hana yang tengah berjuang menuntut ilmu di pesantren. Ia bergumam dalam hati, “Ironi nasib ibu di zaman ini. Ingin kerja untuk mencukupi kebutuhan, tetapi pendidikan dan urusan anak jadi telantar.”
Dengan hati yang remuk redam, namun penuh tekad, Dinda berdoa, “Ya Allah, kuatkan hamba-Mu yang lemah ini. Jadikan aku ibu tangguh yang mampu mendidik anak-anak dalam iman Islam, meski kezaliman dunia terus menekan dari segala arah. Berikan kami rezeki yang halal lagi berkah, dan lindungi keluarga kecil kami dari segala fitnah dunia.”
Hari-hari berlalu dengan kesulitan yang sama, tetapi Dinda mulai menemukan kekuatan dalam setiap langkahnya. Ia tahu perjuangan ini berat, namun dengan doa dan kepercayaan kepada sang Ilahiah, ia yakin badai pasti berlalu. Sebab dunia hanyalah ladang ujian, dan akhiratlah tempat istirahat yang sesungguhnya.
”Tiada kehidupan yang sejati selain kehidupan akhirat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[Ni]
Lamongan, 18 Desember 2024
0 Comments: