Kisah Inspiratif
Menerima Perpisahan
Oleh. Ratty S Leman
SSCQMedia.Com- Kullu nafsin dzaiqotul maut adalah ayat Al-Qur'an yang artinya "Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian". Ayat ini terdapat dalam surah Al-Ankabut ayat 57, surah Al-Imran ayat 185, dan surah Al-Anbiya ayat 35.
Ibuku bernama Sumini. Lahir di Solo, 10 November 1942. Tanggal 10 November adalah Hari Pahlawan menurut kalender nasional. Bukan kebetulan jika ibuku lahir di bulan pahlawan ini. Ibuku memang pahlawanku. Jasa-jasanya tak akan pernah aku lupakan.
Ibuku pernah bercerita, beliau menikah di usia 22 tahun di tahun 1964. Saat itu adalah usia yang termasuk telat nikah untuk ukuran gadis desa. Teman-teman sebayanya sudah banyak yang menikah di usia sekitar 17 tahun.
Setelah 5 tahun pernikahan, Ibuku belum dikarunia anak. Tentu saja beliau bingung. Berbagai ikhtiar dan doa dilakukan oleh beliau, hingga suatu saat Bu Dhe yang seorang perawat wafat saat melahirkan anak bungsunya di tahun 1968. Ibuku dengan persetujuan Bapakku mengasuh anak Bu Dhe dan Pak Dhe. Mereka berharap dengan mengambil anak mereka bisa mempunyai keturunan. Istilah Jawanya, 'memancing' agar punya keturunan.
Alhamdulillah harapan itu dikabulkan Allah. Di tahun 1969 aku dilahirkan. Tentu saja orangtuaku bahagia karena akhirnya bisa mempunyai anak kandung. Berturut-turut akhirnya Ibuku mempunyai anak di tahun 1971, 1972, 1976, dan 1982. Kami akhirnya berkumpul 6 bersaudara. Keluarga besar jika disebut hari ini.
Kalau orang zaman dulu memang aku lihat anaknya banyak-banyak. Ada yang 5, 6, atau 7. Tidak seperti jaman sekarang yang cukup 2 anak. Anak 3 atau 4 dinilai banyak. Inilah keberhasilan program KB yang digencarkan pemerintah. Melalui berbagai media seperti film, surat kabar, majalah, televisi, radio, dan tontonan lainnya dikampanyekan bahwa keluarga kecil itu akan lebih bahagia dibandingkan dengan keluarga yang anaknya banyak.
Keluarga kecil digambarkan sebagai keluarga yang bahagia dan sejahtera, sedangkan keluarga besar digambarkan sebagai keluarga yang tidak bahagia karena anak-anak sering bertengkar atau terjadi konflik, makan kurang, perhatian dan kasih sayang kurang, dan gambaran negatif lainnya.
Fakta sebenarnya tidak begitu. Namun pemerintah saat ini telah berhasil membentuk pemahaman, dua anak cukup baik laki-laki maupun perempuan sama saja. Ibuku tidak malu mempunyai anak banyak karena memang begitu keadaan di sekitarnya. Orangtuanya mempunyai anak banyak. Saudara-saudaranya juga mempunyai anak banyak, teman-temannya dan tetangga-tetangganya juga mempunyai anak banyak.
Ibuku, pahlawan kami. Berjuang mengandung, melahirkan, merawat, mengasuh, membesarkan, mengajar, dan mendidik anak dengan segenap kemampuannya secara mandiri. Zaman dahulu jarang orang yang punya pembantu kecuali orang kaya. Namun Alhamdulillah, ibuku selalu ada yang membantu, yakni saudara, keponakan, atau sepupu dari desa untuk membantu kerepotan sehari-hari. Tugas mencuci, menjemur, menyetrika, memasak, menyapu, mengepel, dan membereskan rumah ada saudara yang membantu. Tugas Ibu fokus mengasuh, merawat, dan mendidik putra dan putrinya.
Kami enam bersaudara 3 laki-laki dan 3 perempuan. Bisa dibayangkan betapa repotnya mempunyai anak banyak dan jarak usia yang hampir berdekatan. Namun herannya, mengapa orangtua kita sanggup ya mempunyai banyak anak tetapi beres semuanya? Sedangkan aku, mempunyai tiga anak saja terasa sangat repot.
Benarlah jika ada ungkapan, "Seorang Ibu sanggup mengurus banyak anak, tetapi banyak anak yang tak sanggup mengurus hanya seorang Ibu. Tak jarang Ibunya terlantar, kesepian, dan menderita karena ditinggalkan oleh kesibukan anak-anaknya.
Pendidikan sekuler dan kapitalistik telah berhasil membentuk pemikiran anak-anak saat ini bahwa nilai keberhasilan seseorang adalah hal-hal yang bersifat materi, seperti kekayaan, jabatan, dan pekerjaan. Jarang yang menilai keberhasilan seseorang dilihat dari kesalehannya, baktinya kepada kedua orangtua, keluhuran budi, sopan santun, akhlak mulia, dan nilai-nilai spiritualitas lainnya.
Keadaan anak-anak adalah bagaimana didikan orangtua mereka. Kami dididik dan dibesarkan dengan harapan menjadi anak saleh yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Alhamdulillah, kami semua berusaha menjadi anak saleh yang bisa berbakti kepada kedua orangtua. Hanya saja selalu ada kendala dan keterbatasan diri.
Kami terpaksa tinggal berjauhan dari orangtua karena mendapatkan pekerjaan atau suami yang mengharuskan bekerja di tempat yang jauh dari orangtua. Bakti kami mungkin hanya sekadar memberi uang tak seberapa setiap bulannya dan doa. Alhamdulillah anak laki-laki semua tinggal di kota yang sama dengan kedua orangtua sehingga harapannya orangtua terkontrol dan terjaga. Namun kesibukan mencari nafkah keluarga seringkali membuat anak-anaknya tak bisa fokus untuk merawat orangtua.
Mereka laki-laki yang harus berjuang mencari nafkah untuk anak istrinya. Istrinya pun sibuk dengan pekerjaan dan anak mereka masing-masing. Inilah nasib orangtua yang berada di sistem sekuler, kapitalistik, dan materialistik saat ini. Seingin-inginnya anak membahagiakan kedua orangtua, mereka terbatas ruang dan waktunya untuk berbakti karena mereka adalah bagian dari mesin produksi atau mesin pencetak uang.
Bagaimana sistem Islam mengatur hal yang demikian? Anak-anak bisa hidup bahagia dan sejahtera masa depannya. Orangtua juga bisa bahagia dan sejahtera di masa tuanya. Hanya anak-anak yang dididik dengan ajaran agama yang benar dan selalu ditekankan tentang perlunya keutamaan "birrul walidain" (berbakti kepada kedua orangtua) yang sanggup mengemban amanah dari Allah ini.
Jika orangtua kita telah berusia lanjut maka kewajiban anak-anaklah merawat dan menjaga mereka seperti saat kita masih kecil. Bukankah kita selalu mendoakan kedua orangtua kita dengan doa yang sama "Rabbighfirli waliwalidayya war-ham-humaa kamaa rabbayaanii shagiiraa", yang artinya, "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil."
Semoga bakti kami ketika mereka masih hidup diterima Allah sebagai amalan anak saleh yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Saat ini mereka berdua telah tiada. Bapak wafat terlebih dahulu di usia 56 tahun pada tanggal 11 Januari 1998. Ibu usianya lebih panjang. Beliau wafat di usia 75 tahun pada tanggal 12 Januari 2017.
Kedua orangtua kami telah tiada, tetapi kasih sayangnya terasa sampai hari ini. Kami menyayangi mereka berdua dan ingin selalu bersama. Namun itu tak mungkin, karena kami harus menerima takdir perpisahan. Dunia yang bersifat sementara telah memisahkan kami. Kenangan kebiasaan dan pengalaman indah bersama orangtua melekat di sanubari. Semoga institusi keluarga kami bisa berlanjut di akhirat nanti. Berkumpul bersama di Surga Adn seperti firman Allah dalam surah At-Thur ayat 21, yakni "Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya."
Ibuku telah mengukir jejak sejarah tentang surga di dunia, semoga kelak kami benar-benar merasakan Surga Firdaus yang kekal abadi. Kami menerima dengan ikhlas sunatullah perpisahan sementara ini untuk kelak dikumpulkan kembali dalam kedamaian abadi jika tugas kami di dunia Allah nilai cukup dan saatnya untuk kembali ke kampung akhirat nan kekal abadi. Semoga kita semua bisa mengumpulkan bekal terbaik untuk dipersembahkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Amin ya mujibassailin. [My]
0 Comments: