OPINI
Miras, Antara Manfaat dan Kerusakan
Oleh. Ulianafia
SSCQMedia.Com- Deretan kasus akibat miras terus meningkat. Baik kasus pembunuhan, pemerkosaan, kecelakaan, sampai meninggal dunia. Seperti tewasnya tiga orang, akibat menenggak minuman keras oplosan di Desa Kebulen, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. (Tribunnews.com, 8-12-2024)
Sebulan yang lalu, juga terjadi peristiwa penusukan terhadap dua santri oleh pemuda mabuk karena miras di Yogyakarta.
Berbagai keburukan yang telah terjadi akibat miras, sangat menakutkan dan meresahkan masyarakat. Namun, peredaran miras justru semakin meningkat dan meluas.
Miras, Persoalan Sistemik
Keberadaan miras merupakan keniscayaan dalam kehidupan sekuler Kapitalisme. Sebab, standar kebahagian hidup manusia pada kebebasan (liberalisme) yang dipayungi oleh HAM. Setiap individu akan bebas menentukan jalan kebahagian hidup sendiri. Sehingga, halal-haram tidak menjadi standar perbuatan, melainkan hawa nafsu manusia. Jadilah, barang haram bisa diperjualbelikan.
Tujuannya untuk mewujudkan kebahagian hidup manusia secara individu. Dalam arti, jika individu-individu bahagia, maka akan menciptakan masyarakat yang bahagia, kemudian akan terwujudlah negara atau bangsa yang bahagia. Begitulah sederhananya. Maka, jadilah menuhankan kebebasan individu.
Hal ini sepaket dengan sistem ekonomi kapitalismenya, yang tidak mengenal barang halal dan haram. Tetapi, pada nilai barang dan jasa bersifat relatif dan subjektif. Artinya, selama barang dan jasa tersebut ada yang menginginkan dan membutuhkan, maka dianggap benda ekonomi yang boleh diproduksi atau dikonsumsi. Meski berbahaya dan memiliki dampak buruk seperti miras. Selama mendatangkan keuntungan materi, tidak ada pelarangan memproduksi dan mengedarkannya.
Negara hanya akan mengaturnya agar legal dan berizin. Begitulah, miras akan tetap dilegalkan selama itu menguntungkan negara. Di mana industri miras, ikut menyumbang pendapatan bagi negara dalam bentuk cukai. Pada 2021, penerimaan cukai dari minuman mengandung etil alkohol (MMEA), mencapai Rp250 miliar.
Penerimaan cukai MMEA mengalami peningkatan pada 2024 menjadi Rp1,72 triliun atau setara 18,42% dari target APBN 2024. Padahal, penelitian resmi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), menyatakan, bahwa miras memunculkan pemborosan dengan hilangnya produktivitas sebesar 72%, di mana 11% untuk kesehatan, 10% untuk penegak hukum kejahatan akibat alkohol, 5% untuk kecelakaan dan ini masih diperkirakan angka yang sangat rendah.
Ekonom Drajat Hari Wibowo, di AS, menyampaikan, biaya dari minuman keras mencapai 249 milyar dolar AS. PDB Amerika Serikat turun 1,6% jika disimulasikan ke Indonesia, itu menjadi Rp256 triliun kerugian.
Selain itu, miras menjadi bagian tidak terpisahkan dari paket wisata. Usaha wisata akan menyediakan segala fasilitas dan akomodasinya, termasuk miras. Tentu hal ini akan menjadikan miras laten sebagai barang legal. Sebab, pariwisata menjadi salah satu pemasukan APBN, yang tentunya akan terus digenjot untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Miras memang memiliki manfaat, tetapi kerusakan yang ditimbulkan lebih besar. Namun, apalah daya ketika sistem kehidupan yang dijalankan adalah sebuah sistem yang menyandarkan pada keuntungan materi belaka. Maka, kerusakan diluar materi, tidak menjadi pertimbangan dan perhitungan.
Faktanya, pemberantasan peredaran miras hanya sebatas pada penjual skala kecil, yang tidak memiliki izin. Sedangkan yang memiliki izin, seperti 109 izin investasi miras yang telah diterbitkan pemerintah. Maka, mereka tetap bebas beroperasi dan memperjualbelikannya.
Miras dalam Pandangan Islam
"Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (TQS. Alhamdulillah Baqarah: 219)
Rasulullah saw. bersabda, “Khamr itu merupakan induk segala keburukan. Siapa saja yang meminum khamr, Allah tidak menerima salatnya selama 40 hari. Jika peminum khamr mati dan khamr itu ada di dalam perutnya, ia mati dengan kematian jahiliah.” (HR Ath-Thabrani, Ad-Daraquthni, dan Al-Qudha’i)
Islam jelas mengharamkan khamr, karena ia diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulnya. Selain memang ia sebagai induk segala keburukan. Maka, Islam memiliki tiga pilar penerapan syariat dalam sistem kehidupan sebagaimana Allah dan rasulnya perintahkan.
Pilar pertama, pembentukan ketakwaan individu. Setiap individu muslim wajib belajar ilmu agama Islam. Darinya akan menguatkan keimanan dan memahami jati diri sebagai hamba Allah, dengan keyakinan bahwa setiap perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Sehingga, dengan ini akan menekan dorongan untuk bermaksiat dari internal.
Pilar kedua, melalui kontrol masyarakat. Masyarakat Islam akan memahami kewajiban mereka sebagai hamba Allah Untuk beramar makruf nahi mungkar. Sehingga, masyarakat yang memahami syariat Islam, mereka akan saling menasehati dan mencegah kemaksiatan. Mereka saling merangkul untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga, setiap individu akan terhindar dari perbuatan haram dan perilaku maksiat.
Pilar ketiga, negara. Untuk pilar pertama dan kedua tidak akan mampu terwujud secara sempurna kecuali ditegakkan pada pilar ketiga, yaitu negara. Sebab pilar pertama, yaitu individu, hanya terbatas pada pembentukan individu semata. Sedangkan pada gelar kedua pun juga terbatas hanya pada wilayah amar ma'ruf nahi mungkar semata. Maka kedua pilar ini tidak akan mampu mencegah atau menghilangkan kemaksiatan itu sendiri kecuali ia ditegakkan oleh pilar yang ketiga yaitu negara.
Negara atau penguasa sebagai pihak yang memiliki tangan (kekuasaan), maka ia akan menerapkan sistem pendidikan Islam dalam membentuk ketakwaan masyarakat, memberlakukan sanksi bagi pelaku kemaksiatan yang memiliki efek jera (jawazir) dan penebusan (jawabir) sesuai ketentuan syariat. Seperti, cambuk bagi peminumnya dan hukuman takzir bagi produsen, penjual, penuang, pembeli, pemeras, orang yang mengambil hasil (keuntungan) dari perasaannya, pengantar, dan orang-orang yang meminta diantarkan yang ditentukan oleh Khalifah atau Qadhi yang berkuasa.
Dengan demikian, maka negara akan bisa menutup peredaran miras dari dalam kehidupan umat muslim. Sedang bagi orang non muslim, maka negara Islam tetap akan memperbolehkan mereka untuk memproduksi dan mengkonsumsinya, dengan aturan sesuai syari'at. Wallahu'alam. [US]
0 Comments: