OPINI
Negara Berlepas Tangan, Aspirasi Rakyat Diabaikan
Oleh. Ummu Fernand
SSCQMedia.Com
Petisi menolak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang ditandatangani oleh lebih dari 113.000 orang sudah diterima Sekretariat Negara (Setneg). Penyerahan petisi itu dilakukan pada aksi damai di depan Istana Negara. Peserta aksi berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, akademisi, hingga kelompok budaya Jepang (Wibu) dan Korea (K-popers) (www.beritasatu.com, 20-12-2024).
Memberatkan Rakyat
Menjelang berakhirnya tahun 2024, penolakan kenaikan PPN menjadi 12 persen yang rencananya akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 semakin nyaring terdengar. Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu memastikan, dampak kebijakan ini terhadap inflasi dan ekonomi akan sangat minimal. Pemerintah mengklaim bahwa hanya menargetkan barang-barang pangan mewah atau premium untuk dikenakan PPN 12 persen.
Sebagai upaya mengurangi beban masyarakat, pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah langkah kompensasi melalui berbagai paket stimulus ekonomi. Langkah tersebut mencakup pemberian bantuan pangan, diskon tarif listrik, pembebasan pajak penghasilan selama satu tahun untuk buruh di sektor tekstil, pakaian, alas kaki, dan furnitur, serta pembebasan PPN untuk pembelian rumah tertentu.
Sungguh miris, di tengah penolakan keras masyarakat atas rencana penolakan PPN yang telah ditetapkan, pemerintah tetap bersikeras melaksanakan program baru tersebut. Meski pemerintah memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN, namun sejatinya kebijakan tersebut tetap memberatkan rakyat. Bahkan meski ada program bansos dan subsidi PLN dalam jangka waktu tertentu, dampak buruk kenaikan PPN tetap tak terelakkan. Inilah salah satu contoh dari kebijakan penguasa yang populis otoriter.
Kapitalisme Biang Kerusakan
Pemerintah merasa cukup memberikan kompensasi kebijakan dengan bansos, subsidi listrik, dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN. Padahal kebijakan tersebut tetap membawa kesengsaraan bagi rakyat. Protes rakyat dalam bentuk petisi kenaikan PPN pun diabaikan.
Penguasa populis otoriter lahir dari sistem demokrasi kapitalisme. Sekularisme yang menjadi asas dari sistem ini telah menjadikan manusia sebagai pembuat aturan, termasuk aturan bernegara. Muncullah konsep ekonomi kapitalisme yang memberikan kebebasan kepemilikan kepada siapa saja yang mampu menguasai. Sedangkan pemimpin memberikan jalan kepada para oligarki untuk menguasai harta publik, yang sejatinya merupakan harta milik rakyat, untuk meraih kemaslahatan dari harta tersebut.
Kekayaan alam dari harta publik yang seharusnya bisa menjadi salah satu sumber pemasukan negara untuk melayani rakyat, juga legal dikomersialisasi pihak swasta (pemilik modal). Hal ini menyebabkan negara tidak memiliki pemasukan selain dari pajak dan utang. Alhasil, pajak digenjot dan rakyat pun semakin menderita.
Inilah konsekuensi penerapan sistem demokrasi kapitalisme dengan corak pemimpin populis otoriternya. Padahal sejatinya, manusia tidak mampu untuk membuat aturan untuk dirinya, apalagi untuk umat manusia. Jika manusia memaksakan diri untuk membuat aturan, maka bisa dipastikan akan muncul berbagai bentuk kemudaratan sebagaimana yang telah terjadi hari ini.
Kembalikan pada Aturan Islam
Sesungguhnya yang berhak membuat aturan atas umat manusia hanyalah penciptanya, yakni Allah Swt., diantarnya adalah aturan ekonomi negara, politik, sosial, dan lain sebagainya. Islam menjadikan penguasa sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung).
Rasulullah saw. bersabda, "Imam adalah raa'in (pengurus) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya al-Imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya." (HR. Muttaqin 'Alayhi dan lainnya)
Berdasarkan kedua hadis tersebut, maka tanggung jawab penguasa dalam Islam adalah mengurus rakyat dan mewujudkan kesejahteraan atas mereka, individu per individu. Penguasa juga merupakan perisai (pelindung), sehingga mereka tidak boleh menyusahkan rakyatnya, bahkan menzalimi rakyatnya.
Berdasarkan sistem ekonomi Islam, negara menyejahterakan rakyatnya dengan berbagai mekanisme, salah satunya adalah dengan adanya konsep kepemilikan umum (publik). Di mana Islam menetapkan bahwa kekayaan alam berupa SDA yang berlimpah merupakan harta publik, sehingga wajib dikembalikan kepada rakyat untuk kemaslahatan mereka. Negara hanya diberi mandat untuk mengelolanya dengan sebaik-baiknya hingga terdistribusi secara merata kepada masyarakat.
Ini merupakan salah satu bentuk aktivitas mengurus dan melayani rakyat. Negara bahkan tidak boleh mengambil sepersen pun dari pengelolaan kekayaan alam milik rakyat tersebut. Dalam baitulmal, hasil pengelolaan harta publik masuk ke dalam pos kepemilikan umum.
Adapun terkait pajak, negara dalam Islam (Khilafah) tidak boleh menjadikannya sebagai sumber pemasukan utama. Syariat Islam juga mengatur terkait pajak (dharibah), namun implementasinya jauh berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme. Pajak (dharibah) adalah salah satu pemasukan baitulmal, pos kepemilikan negara. Syariah membolehkan penguasa (khalifah) memungut pajak hanya jika Allah Swt. memerintahkan, dengan syarat penarikannya berdasarkan perintah dari khalifah yang sejalan dengan perintah Allah kepada kaum muslim untuk menyerahkan harta tersebut, bukan karena perintah khalifah semata.
Semua hal yang diwajibkan syariah atas baitulmal atas kaum muslim untuk dibiayai dari harta yang ada di baitulmal. Jika harta yang ada di baitulmal tidak mencukupi, maka khalifah boleh memungut pajak dari kaum muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut. Seperti membiayai orang-orang fakir, miskin, ibnu sabil, pelaksanaan kewajiban jihad, pelayanan kesehatan, pendidikan, gaji pegawai, dan sebagainya.
Jika harta baitulmal telah terisi, maka pungutan pajak harus dihentikan. Semua aturan ini bersumber dari syariat Islam, dan akan dijalankan oleh pemimpin dengan profil Islam, yakni berkepribadian Islam, bertakwa, welas asih, dan tidak antipati terhadap rakyat di bawah naungan Khilafah Islamiah. Wallahualam bissawab. [Ni]
0 Comments: