Headlines
Loading...
Oleh. Rina Herlina 

SSCQMedia.Com- Setiap anak pasti punya keinginan untuk membahagiakan kedua orang tuanya, terutama ibu. Ya, sosok ibu selalu menjadi sosok spesial bagi setiap anak, tidak terkecuali bagiku. Meski mamah tipikal ibu yang tidak terlalu suka menampakkan kasih sayangnya, namun aku bisa merasakan dan tahu banget jika mamah itu menyayangiku. Mamah selalu berdoa yang terbaik untukku, mamah selalu berharap kehidupanku selalu baik-baik saja.

Begitulah seorang ibu, pengorbanannya begitu luar biasa. Dia akan rela melakukan apa saja demi kebahagiaan buah hatinya. Sebagai anak, tentu saja aku juga ingin membalasnya. Aku ingin bisa membahagiakannya. Namun, saat ini aku memang belum mampu membahagiakan mamah. Aku hanya baru bisa mendoakan yang terbaik untuknya. 

Padahal, kehidupan mamah di kampung begitu sulit. Ya, kampungku terpencil bahkan di pelosok. Akses jalan masih buruk. Kehidupan orang-orang di kampung hanya sekadar bertani. Namun seperti kita ketahui, nasib petani hari ini sangat mengenaskan. Lebih banyak buntungnya ketimbang untung.

Bapak sudah mulai sakit-sakitan, tenaganya sudah tidak sekuat dulu saat aku masih kecil. Saat ini, usiaku saja sudah tiga puluh enam tahun. Wajar, jika tenaga bapak sudah menurun. Bahkan kesehatannya juga menurun. Bapak sudah ketergantungan obat. Beberapa penyakit mulai menggerogoti tubuhnya.

Otomatis, mamah memang harus ekstra menopang perekonomian. Mamah masih setia dengan warung kecilnya. Dulu, hasil warung bisa untuk biaya sekolah aku dan kedua adikku. Sekarang hanya cukup untuk makan, itu pun kadang tekor. Mamah harus putar otak, agar warungnya tetap bisa eksis di antara banyaknya warung yang muncul "bak jamur di musim hujan".

Kelelahan mamah, selain karena harus ikut menopang perekonomian keluarga, mamah juga harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah seorang diri. Ya, praktis setelah di tahun 2014 aku memutuskan ikut suami ke Payakumbuh, Sumbar, seluruh pekerjaan rumah memang harus mamah yang mengerjakan. Bisa kubayangkan betapa lelahnya mamah, setiap hari harus berjibaku mengurus warung dan pekerjaan rumah yang tidak pernah ada habisnya. 

Pernah suatu ketika, aku menelepon mamah, ingin tahu kabarnya. Dulu hape kami masih sama-sama hape jadul, belum bisa video call. Aku bertanya bagaimana keadaannya, aku juga bertanya sedang musim apa. Meluncurlah cerita mamah. Kata mamah saat itu, di kampung sedang terjadi musim kemarau yang cukup panjang. Itu berarti, air sumur kami mulai mengering. Padahal, air sumur itu sangat urgen keberadaannya. Air sumur itu kami gunakan untuk keperluan memasak, mencuci, mandi, dan lainnya.

Kata mamah, karena kemarau cukup panjang, akhirnya mamah terpaksa mencari sumber mata air yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Jadi, jika kemarau datang, kami terpaksa berjalan jauh, menapaki jalan setapak yang menurun saat berangkat, dan mendaki saat pulang. Medannya cukup melelahkan, apalagi untuk seusia mamah. Namun, apa boleh buat, semua keadaan sulit tersebut terpaksa dijalani. Karena kami tidak memiliki sumber mata air lagi kecuali yang jauh tersebut. Bayangkan, jam 3.00 pagi mamah sudah bangun karena harus membuat gorengan, setelah itu membereskan rumah dan segala tetek bengeknya. Setelah pekerjaan di rumah beres, barulah mamah pergi mencuci baju ke tempat sumber mata air yang cukup jauh tersebut. 

Seketika itu, hatiku diliputi kesedihan yang mendalam. Aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya mamah kala itu. Terbayang saat mamah harus memikul cucian baju yang berat untuk dibawa pulang dengan melalui medan yang sulit dan mendaki. Ah, Mah, saat itu hatiku menjadi gerimis. Aku menangis sesenggukan. Aku merasa menjadi anak yang tidak berguna. Aku biarkan mamah seorang diri menjalani hidup yang sulit. Seharusnya sebagai perempuan satu-satunya, aku berada di dekatmu dan menjadi temanmu untuk berbagi banyak hal.

Engkau begitu tabah menjalani setiap episode kehidupanmu. Aku hampir tidak pernah mendapatimu meratap dan marah kepada Allah atas setiap kondisi yang Allah hadirkan. Apa pun masalahnya, mamah selalu bisa melewatinya dengan tabah. Aku belajar banyak hal darimu, Mah. Engkau adalah guru kehidupan terbaikku.

Setelah mengetahui kondisimu yang sedang sulit kala itu, dan aku terus kepikiran tentang mamah yang harus memikul cucian cukup jauh. Kebetulan saat itu aku sedang ada rezeki. Maka, aku memohon izin kepada suami untuk membelikan mamah mesin cuci. Alhamdulillah suami mengizinkan. Akhirnya aku kirim uang kepada adikku, dengan tujuan minta tolong kepadanya agar membelikan mesin cuci. Menurutku setidaknya itu bisa meringankan sedikit pekerjaan mamah. Semoga mamah senang menerimanya.

Akhirnya mesin cuci yang dimaksud pun tiba. Saat aku menelepon kembali, mamah sangat senang dan mengucapkan terima kasih. Juga meminta maaf karena sudah merepotkan katanya. Padahal, apalah artinya sebuah mesin cuci dibandingkan pengorbanannya untukku dari mulai mengandung, menyusui, mengajariku berjalan, menyuapi dengan penuh kasih sayang, dan masih banyak pengorbanannya yang lain.

Padahal, jika seluruh isi dunia ini aku bisa persembahkan untuk mamah, tetap tidak akan pernah bisa membalas semua pengorbanannya. Meski begitu, tetap saja aku selalu meminta kepada Allah agar bisa membahagiakan mamah dengan materi. Aku ingin sekali bisa memberangkatkan mamah dan bapak ke Tanah Suci. Aku tidak tahu kapan bisa terjadi, namun aku tetap berharap dan berdoa, semoga Allah berkenan mengabulkannya.

Kini mamah semakin menua, sementara aku masih belum bisa memberinya kebahagiaan yang bersifat materi. Qadarullah, kehidupan rumah tanggaku pun begitu sederhana. Kami tidak dititipi materi berlebih. Ini pasti karena Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk keluargaku.

Maaf ya, Mah, sampai saat ini aku masih belum bisa membahagiakan kalian. Bahkan, aku memilih untuk jarang memberi kabar karena tidak mau membuat kalian khawatir. Aku takut jika terlalu sering menelepon, kalian jadi tahu tentang keadaanku di tanah rantau ini. Baik-baik di sana ya, Mah, semoga kelak kita bisa berkumpul lagi. Semoga aku bisa mengurus kalian saat usia kalian mulai senja. Saat kaki tidak mampu lagi menopang tubuh, saat itu aku ingin berada di sisi kalian. Aku ingin menemani masa tua kalian. Semoga Allah berkenan mengabulkan. Amin. [Ni]

Payakumbuh, 21 Desember 2024

Baca juga:

0 Comments: