Headlines
Loading...
Pengampunan Koruptor: Solusi atau Legalisasi Kejahatan?

Pengampunan Koruptor: Solusi atau Legalisasi Kejahatan?

Oleh. Novi Ummu Mafa

SSCQMedia.Com- Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti setiap sendi kehidupan di bawah sistem demokrasi ini. Meski presiden terpilih sering memulai masa jabatannya dengan janji-janji muluk soal pemberantasan korupsi, kenyataan di lapangan kerap menunjukkan sebaliknya. Bahkan, janji tersebut sering kali menjadi sekadar ilusi, sebagaimana terlihat dalam pernyataan Presiden Prabowo yang menyebutkan bahwa koruptor dapat dimaafkan jika mengembalikan uang hasil korupsinya (cnnindonesia.com, 19-12-2024).

Korupsi yang Sistemik dalam Demokrasi

Korupsi di Indonesia tidak hanya menjadi masalah individu, tetapi juga sistemik. Dari eksekutif hingga legislatif dan yudikatif, semuanya tercemar praktik korupsi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga Januari 2024, telah ada lebih dari 1.600 kasus korupsi yang ditangani (kompas.com, 11-03-2024). Namun, tindak pidana ini justru kian masif dengan aktor-aktor baru yang terus bermunculan.

Sistem demokrasi, yang mengusung konsep pemisahan kekuasaan, malah menjadi lahan subur bagi politik transaksional. Pemilu yang berbiaya mahal menciptakan tekanan bagi para calon untuk mencari dukungan finansial dari para "cukong politik." Ketika terpilih, mereka membayar "utang politik" tersebut melalui kebijakan yang berpihak pada kepentingan pemodal, bukan rakyat.

Janji Prabowo: Solusi atau Legalisasi Korupsi?

Pernyataan Presiden Prabowo mengenai pengampunan koruptor yang mengembalikan hasil kejahatannya memicu kontroversi. Kebijakan seperti ini hanya akan melemahkan efek jera, menciptakan kesan bahwa korupsi bukanlah kejahatan luar biasa. Logikanya, jika seorang pencuri biasa dihukum berat meski barang curian dikembalikan, mengapa hal yang sama tidak berlaku bagi koruptor yang merugikan negara triliunan rupiah?

Selain itu, kasus korupsi yang belum terselesaikan di era sebelumnya, seperti kasus Gateway di Kemenkumham, serta kasus Harun Masiku yang sampai sekarang masih menjadi buronan selama bertahun-tahun. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan dalam memberantas korupsi. Jika keadilan hanya menjadi jargon politik, bagaimana rakyat dapat berharap perubahan yang signifikan?

Mengapa Demokrasi Gagal Memberantas Korupsi?

Demokrasi telah gagal memberantas korupsi karena memiliki beberapa kelemahan mendasar yang melekat pada sistemnya. Pertama, sekularisme sebagai akar masalah. Demokrasi yang berakar pada sekulerisme memisahkan agama dari kehidupan, sehingga kontrol internal berbasis akidah menjadi lemah. Pejabat publik lebih mengutamakan manfaat material daripada nilai moral dan spiritual, menjadikan perilaku korupsi mudah tumbuh subur. Kedua, politik berbiaya tinggi. Sistem demokrasi membutuhkan biaya politik yang besar, yang pada akhirnya menghasilkan pemimpin yang tidak bebas dari kepentingan sponsor. Ketergantungan ini menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus karena para pejabat merasa harus "membalas budi" kepada pihak yang mendanai kampanye mereka. Ketiga, sanksi yang lemah. Hukuman bagi koruptor sering kali tidak menciptakan efek jera. Bahkan, sel tahanan koruptor dikenal lebih nyaman dibandingkan tahanan biasa, menciptakan ketimpangan keadilan di mata rakyat. Akumulasi dari ketiga faktor ini menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah sistem yang efektif untuk memberantas korupsi secara sistematis.

Solusi Islam: Sistem Khilafah

Islam melalui penerapan sistem khilafah, yang dalam sejarahnya telah terbukti mampu menekan korupsi secara sistematis. Mekanisme utama yang diterapkan meliputi kontrol internal berbasis akidah, kepemimpinan yang amanah dan efisien, serta sanksi yang tegas dan menjerakan. Sistem Islam menanamkan akidah sebagai landasan utama kehidupan, sehingga seorang pemimpin akan selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. dalam setiap tindakannya. Dengan kesadaran ini, mereka akan menjauhi perilaku korup yang bertentangan dengan ajaran agama.

Selain itu, Islam menetapkan bahwa pemimpin adalah pelayan umat, bukan pedagang kebijakan. Proses pengangkatan pemimpin dilakukan melalui musyawarah yang berlandaskan syariat, sehingga terhindar dari biaya politik yang mahal dan korupsi transaksional.

Untuk memberikan efek jera, hukum takzir dalam Islam memberikan fleksibilitas kepada khalifah untuk menetapkan sanksi yang sesuai tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Misalnya, Khalifah Umar bin Khattab pernah menyita harta pejabat yang diduga korup, dan dalam kasus tertentu, hukuman mati diterapkan jika korupsi menyebabkan kerugian besar bagi umat. Kombinasi mekanisme ini menjadikan sistem khilafah efektif dalam memberantas korupsi hingga ke akarnya.

Firman Allah SWT yang artinya, "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (TQS. Al-Baqarah: 188).

Hanya dengan kembali kepada syariat Islam, kita dapat mewujudkan masyarakat yang bebas dari korupsi dan kehidupan yang penuh berkah. Wallahualam bissawab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: