Headlines
Loading...
Oleh. Ratty S. Leman

SSCQMedia.Com- Persoalan perayaan natal bersama, selalu hangat diperbincangkan. Terutama di bulan Desember seperti saat ini. Mungkin ada yang bosan, jika topik ini diangkat. Namun, mau bagaimana lagi? Masyarakat tidak paham juga akan arti toleransi. Sehingga dakwah untuk meluruskan pemahaman ini harus diulang terus-menerus oleh para dai.  

Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antar umat beragama, menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024/2025. Pemkot Surabaya, memastikan kesiapan menyambut perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, dengan fokus utama pada pengamanan tempat ibadah dan menjaga kerukunan umat beragama. (JawaPost.com, 13-12-2024)

Setiap tahun, selalu terulang seruan toleransi yang justru bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan hal ini dilakukan oleh Menteri Agama, kepala daerah dan para pejabat lainnya seperti fakta yang terungkap di atas. 

Allah Subhanahu wa ta'ala dengan tegas menyatakan di dalam Al-Qur'an surah Al-Kafirun ayat 6 bahwa:

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

Mengapa yang sekarang terjadi bukannya saling menghormati ritual agama masing-masing, tetapi justru malah mencampuradukkan ibadah agama masing-masing? Hal ini terjadi, karena tidak adanya pemahaman yang benar akan tugas penguasa dan pejabat negara dalam menjaga urusan umat. Termasuk salah satunya adalah kewajiban penjagaan negara atas akidah umat. 

Akidah masing-masing umat, seharusnya jelas. Tetapi karena tidak ada perlindungan terhadap akidah umat di dalam sistem sekuler hari ini, maka negara justru ikut berperan serta melakukan pendangkalan akidah umat. 

HAM (Hak Asasi Manusia), dijadikan sebagai pijakan di dalam beragama. Ditambah lagi dengan masifnya kampanye moderasi beragama, membuat umat Islam semakin menjauh dari pemahaman yang lurus. 

Setiap akhir tahun, umat perlu waspada dan menjaga diri agar tetap dalam keimanan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Umat membutuhkan adanya seruan pengingat setiap tahun, karena kecenderungan masyarakat yang semakin longgar terhadap ajaran agamanya. Hal ini terjadi karena negara tidak memfungsikan dirinya, sebagai penjaga akidah. 

Agama Islam, memiliki definisi yang jelas soal pelanggaran hukum syara. Islam juga memiliki konsep yang jelas dalam interaksi dengan agama lain di luar Islam. 

Prinsip toleransi di dalam Islam telah menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat selama ini. Islam menjadikan para pemimpin dan pejabat negara, untuk memberikan nasihat takwa, agar umat tetap terikat dengan aturan  Islam. Khususnya dalam momentum krusial yang membahayakan akidah umat seperti peringatan hari natal dan tahun baru. 

Negara seharusnya menyiapkan Departemen Penerangan, yang memberikan penjelasan kepada masyarakat bagaimana tuntunan agama Islam dalam menyikapi hari besar agama lain. 

Di dalam sistem Islam, negara memiliki Qadhi Hisbah, yang akan menjelaskan di tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya interaksi umat Islam dengan umat agama lain. Qadhi Hisbah, akan menjelaskan secara khusus, bagaimana aturan Islam terkait perayaan natal dan tahun baru yang nyata-nyata terkait dengan hadharah, yaitu sesuatu yang khas, berkaitan dengan pemahaman akidah tertentu. 

Umat akan mendapatkan penjelasan bagaimana hukumnya, jika ikut hadir dalam ibadah misa agama lain, mengikuti prosesi ibadah agama lain, berpakaian khas dan memakai atribut seperti umat yang lain. Semuanya akan dijelaskan secara gamblang. 

Saat ini, siapakah yang akan menjelaskan pemahaman yang benar menurut Islam kepada masyarakat? Negara berasaskan sekuler, tentu tidak bisa diharapkan. Para pejabatnya justru menfasilitasi pemahaman liberal, sekuler, dan sinkretisme agama. Negara yang seharusnya hadir agar masyarakat terjaga kemurnian agama masing-masing, justru tidak berperan. 

Toleransi, berarti mempersilakan masing-masing umat beragama untuk menjalankan ritual agama, sesuai dengan keyakinannya. Toleransi artinya saling menghormati. Sedangkan fakta yang terjadi saat ini adalah bukan toleransi, tetapi mencampuradukkan keyakinan agama masing-masing. Umat Islam digiring untuk mengucapkan selamat natal kepada umat yang merayakannya. Padahal, toleransi adalah membiarkan mereka melakukan kegiatan agamanya tanpa kita ikut berperan serta di dalamnya, sekalipun cuma ucapan. 

Apakah kita paham, bahwa langit seolah-olah runtuh ketika menyatakan bahwa Allah mempunyai anak, sehingga Allah perlu menegaskan di dalam Al-Qur'an surat Al-Ikhlas? Surat ini, merupakan inti dari konsep tauhid dalam Islam. Yaitu, keyakinan akan keesaan Allah. 

Berikut adalah isi dari Surat Al-Ikhlas : 
Qul huwallāhu aḥad, artinya "Katakanlah (Muhammad), 'Dialah Allah, Yang Maha Esa'"
Allāhuṣ-ṣamad, artinya "Allah tempat meminta segala sesuatu". Lam yalid wa lam yụlad, artinya "(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan". Wa lam yakul lahụ kufuwan aḥad, artinya "Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia." 

Apakah kita akan memberikan ucapan selamat kepada orang-orang yang tersesat, dengan menyatakan Allah punya anak? Tentu saja tidak. 

Jika ucapan selamat saja tidak diperbolehkan, apalagi jika kita ikut hadir di tempat ibadah agama lain, ikut menyaksikan misa, ikut bernyanyi seperti mereka beribadah. Apakah akan ikut berpakaian seperti mereka? Berhias seperti mereka? Tentu saja tidak  karena umat Islam itu khas dengan  yang tampak dari penampilan fisiknya, pemikiran, dan perasaannya. 

Inilah saatnya, para pendakwah menyampaikan seruan dakwah yang mengajak umat memperkokoh keimanan dan ketakwaan, agar terhindar dari bahaya mencampuradukkan agama.

Maka, teruslah berdakwah dan menyebarkan pemikiran yang benar kepada umat Islam. Agar selamat dalam perjalanan kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Aamiin ya mujibassailin. [US]

Baca juga:

0 Comments: