Headlines
Loading...
Oleh. Ilaaazyy

SSCQMedia.Com- Sayup-sayup terdengar teriakan bayi dari dalam ruangan bersalin itu. Sosok perempuan yang masih terbaring lemas dengan darah yang masih menggenang disekitarnya pun tampak bahagia. Kini ia sudah menjadi seorang bunda bagi putri pertamanya. Papa dari bayi cantik itu kini masih berusaha mencari pendonor darah bagi sang istri. Kelahiran yang pertama banyak menguras darahnya, hingga ia butuh setidaknya 2 kantong darah golongan A. 

Bayi cantik itu sudah dibersihkan oleh para perawat. Sedangkan ibunya kini makin melemah. Perjuangan semua ibu pada saat melahirkan memang tak bisa ditandingi. Dengan terengah-engah, sesosok pria dengan baju basah akibat diguyur hujan menyerahkan 2 kantong darah kepada pihak rumah sakit. Kebetulan stok darah golongan A habis di rumah sakit itu. Sehingga pria itu harus berkeliling ke beberapa rumah sakit untuk mencari darah dengan golongan A, karena saat ia mencari di PMI terdekat, ia tidak menemukan darah golongan A. 

Saat perjalanan dari rumah sakit terakhir, ia terus mengapit 2 kantong darah itu karena masih beku. Ia ingin ketika sampai di rumah sakit dimana istrinya melahirkan, darah itu sudah bisa digunakan. Namun tetap saja, 2 kantong darah itu belum mencair sepenuhnya, namun karena keadaannya darurat, dokter pun langsung menyalurkannya ke dalam tubuh perempuan itu. 

Itulah kisahku saat melahirkan Syifa, anak semata wayangku. Berkat kekuatan yang Allah berikan kepadaku, aku bisa kembali menatap putri kecilku. Ayahnya pun pasti sangat menyayanginya. 

~•~•~•~

Di daerah perbatasan antara Bogor dan Tangerang Selatan keluarga kecilku tinggal. Rumah usaha hasil jerih payahku dan suami. Syifa tumbuh dengan baik. Awalnya, ibu mertuaku mengira bahwa Syifa tidak bisa berbicara, ternyata setelah beberapa bulan ia bisa mengeluarkan beberapa ocehan pertamanya. Namun ada sedikit keanehan padanya. Saat ia sedang marah, sedih, ataupun kesakitan, ia tidak menangis. Syifa akan terdiam, lalu badannya akan berubah menjadi biru karena ia menahan nafas. Setelah badannya mulai membiru ia akan pingsan. 

Aku menyadarinya saat kami memutuskan pergi ke rumah sakit terdekat, saat itu kubiarkan ia duduk sendiri di kursi tunggu. Namun fokusku teralihkan sehingga tidak memperhatikannya. Saat aku kembali mengarahkan pandanganku ke arahnya ia sudah tak sadarkan diri karena kakinya ternyata terjepit bangku rumah sakit. Aku pun segera memanggil suster yang berada tak jauh dari tempatku. Syifa pun segera diberikan pertolongan pertama, tak lama ia pun terbangun. 

Tak hanya itu, saat mulai mengikuti kegiatan TPA di mushola sekitar rumah, ia pun mengalami hal yang sama. Saat itu Syifa dijahili oleh temannya, ia pun ke kamar mandi yang terdapat di mushala itu. Tak lama ia pingsan hingga masuk ke selokan tempat wudhu.

Saat mulai memasuki TK, aku berpesan kepadanya agar saat  marah,  sedih, atau kesakitan, jangan pernah ia tahan. Ia pun menurutiku. Namun, kini Syifa sangat sensitif. 

"Syifa, kata Bu guru, Syifa buat temannya nangis? Apa benar?" tanyaku perlahan.

"Enggak, Bunda, Syifa gak jahatin mereka, mereka duluan yang nakalin Syifa!" Teriaknya.

Kini Syifa saat marah suka meledak ledak, ia tidak bisa mengendalikan emosinya itu. Aku pun berusaha membantunya untuk berubah, dengan memasukkannya ke SDIT. Aku mau ia mulai mengenal Al-qur'an sejak dini. Agar saat ia merasa kecewa, ia punya pegangan terbaik yang dapat menuntunnya ke hal yang lebih baik. Tidak seperti kebanyakan anak seumurannya yang saat kecewa akan meluapkannya dengan hal yang tidak baik. 

  ~•~•~•~

"Alhamdulillah, ananda Syifa telah menyelesaikan hafalan Al-qur'an nya," ucap wali kelas Syifa. 

"Alhamdulillah ... Terima masih ibu dan bapak guru sudah membantu Syifa untuk menyelesaikan hafalannya," ucapku tak kuasa membendung kegembiraan itu. 

Anak kesayanganku sebentar lagi khatam 30 juz. Selesai bertemu dengan wali kelas Syifa, aku pun segera menghubungi suamiku yang berada di luar kota.

"Assalamu'alaikum, Mas! Alhamdulillah Syifa khatam 30 juz hafalannya. Mas bisa gak pulang sebelum acara khatamannya besok?" tuturku panjang lebar.

"Alhamdulillah, insyaallah Mas usahain. Sebelum acaranya mulai, Mas dateng. Tapi jangan kasih tau Syifa kalau papanya mau dateng." jawab suamiku dari seberang telfon.

"Terima kasih, ya, Mas. Ya sudah ..., aku mau pulang dulu ya! Assalamu'alaikum, jaga kesehatan ya mas!" ucapku sambil menutup panggilan telepon itu. 

~•~•~•~

Sesampainya di rumah aku mulai kembali dengan rutinitasku sebagai ibu rumah tangga. Membersihkan rumah dan juga menyiapkan makan siang untuk Syifa nanti. Setelah selesai aku pun istirahat sejenak sambil menonton televisi. Namun aku tidak terlalu fokus dengan saluran berita yang kini di sajikan oleh televisiku. Karena aku sibuk menyetrika baju seragam Syifa yang besok ia kenakan. 

Kringgg... Kringgg ...! (Suara telepon rumah berbunyi).

"Assalamu'alaikum, iya dengan siapa?" tanyaku pada si penelepon. 

"Apakah dengan Ibu Anindya? Saya dari pihak rumah sakit, ingin mengabarkan bahwa beberapa saat yang lalu terjadi gempa besar di sekitar daerah Sulawesi yang mengakibatkan suami dari bu Anindya meninggal. Saat ini tim kami sedang menyiapkan penerbangan jenazah beliau menuju rumah ibu. Saya berbelasungkawa atas meninggalnya suami ibu." 

Setelah itu aku menangis tak kuasa lagi memendam kesedihanku. Hingga para tetangga menghampiriku, dan menenangkanku. 

Proses pemakaman suamiku berjalan dengan lancar dibantu para tetangga. Syifa pun tampak lebih diam dari biasanya. Di hadapan Syifa aku tidak boleh menunjukkan kelemahanku. Kini hanya aku yang Syifa punya. Jadi aku harus lebih kuat agar dapat menjadi sandaran untuknya.

~•~•~• 

Keesokan paginya.
Lantunan ayat terakhir surah An-Nas terdengar syahdu di telinga para pendengarnya. Bukan hanya sekadar ayat, tapi itu adalah setoran akhir hafalan 30 Juz dari seorang anak kecil bernama Syifa. Bukan hanya ibunya yang bangga tetapi semua yang menyaksikan acara sederhana yang dilakukan di masjid kecil itu. 

"Ya Allah, Terima kasih telah menganugerahkan ia kepadaku," ucapku saat Syifa memelukku. Air mata pun tak kuasa terbendung, kini pipi para hadirin pun ikut basah. Kucium kening putri kecilku itu berkali-kali, pelukanku pun semakin erat dan hangat. 

"Terima kasih ya, Sayang, sudah mau berjuang untuk menghafalkannya, disaat teman-teman sebayamu asyik bermain, asyik dengan dunianya sendiri. Semoga kamu bisa menjaganya, agar kelak membawamu ke surga-Nya," tuturku. 

"Bunda, Ifa menghafalkan Qur'an bukan untuk Ifa sendiri. Semua Ifa lakuin buat Bunda sama Papa. Ifa gak mau nyusahin bunda sama papa. Ifa mau Papa seneng di sana," jawab Syifa sambil menunjuk ke awan tempat papanya berada. 

"Nanti kita kumpul di surga-Nya Allah ya, Bunda. Bareng Papa!" ucap gadis kecil itu. [My]

Baca juga:

0 Comments: