Kisah Inspiratif
Wanita Hebat Itu adalah Mamah
Oleh. Rina Herlina
SSCQMedia.Com- 36 tahun yang lalu, aku lahir di tanah Pasundan tepatnya Ciamis, Jawa Barat. Allah menitipkanku pada rahim seorang ibu yang luar biasa sabar dan kuat dalam menjalani kehidupan. Ya, mamah adalah sosok yang tidak mudah rapuh, pantang menyerah, dan penyabar. Selama yang kuingat, tidak pernah mamah kasar apalagi main tangan kepadaku. Padahal, sebagai anak, bisa dikatakan aku sangat menjadi ujian baginya.
Mamah berasal dari keluarga yang sederhana. Taraf pendidikannya pun rendah. Mamah tidak seperti perempuan kebanyakan yang suka kumpul-kumpul, glamor, apalagi skincare-an. Selama aku bersamanya, tidak pernah kulihat mamah tampil memakai bedak dan lipstik yang berlebihan. Semuanya natural, senatural dirinya dalam memandang dan menjalani hidup.
Dari cara berpakaian pun mamah sangat sederhana. Bahkan, baju bagus mamah bisa dihitung jari. Keseharian mamah hanya berkutat dengan dapur dan mengurus kami anak-anaknya.
Aku adalah anak sulung mamah dan satu-satunya anak perempuan. Aku memiliki dua adik laki-laki, jarak dengan nomor dua sekitar satu setengah tahun, sedangkan jarak dengan nomor tiga kurang lebih empat belas tahun.
Kehidupan masa kecilku terbilang prihatin. Bapak tidak memiliki pekerjaan tetap seperti para suami kebanyakan. Apalagi bapak tidak pernah betah di perantauan, jadilah bapak lebih memilih tinggal di kampung dengan segala macam hiruk pikuk pedesaan. Karena kondisi yang demikian, akhirnya mamah memilih untuk membantu mencari nafkah. Oh ya, setelah usiaku tiga bulan kalau tidak salah, jadi mamah memilih ikut bapak tinggal di daerah pedalaman Tasikmalaya.
Jadi, di kota Ciamis aku hanya numpang dilahirkan, karena setelahnya aku diboyong ke kota kelahiran bapak yaitu Tasikmalaya. Akhirnya aku besar dan tumbuh di sana. Kampung kecil dengan sejuta kenangan itu menorehkan banyak kisah yang harus kulalui bersama mamah, bapak, dan juga adik-adikku.
Kampung bapak sangat terpencil, bahkan aku masih sangat ingat malam-malam kami yang hanya bercahayakan lampu teplok dengan penerangannya yang terbatas, juga akses jalan yang masih tanah merah. Terbayangkan ya, jalan yang masih tanah merah jika turun hujan? Begitulah kehidupan kami dahulu, bahkan untuk mendapatkan air bersih kami juga harus berjalan lumayan jauh karena kami belum memiliki sumur sendiri.
Namun bagi mamah semua itu seolah tidak menjadi masalah yang berarti. Mamah menjalaninya dengan tabah. Bagi mamah keadaan itu tidak terlalu menyulitkannya. Padahal saat itu mamah juga ternyata harus mengurus anak perempuan bapak dari hasil pernikahannya yang pertama. Jadi, menurut cerita yang kudapat, saat bapak bertemu mamah, saat itu kondisinya bapak sedang bekerja untuk mengurus proses perceraian dengan istri pertamanya. Dan dari istri pertamanya tersebut bapak dikaruniai seorang anak perempuan yang saat itu masih bayi.
Nah ternyata jauh sebelum kelahiranku, mamah sudah direpotkan dengan mengurus bayi yang notabene adalah anak mantan istri bapak.
"Hmm luar biasanya hatimu, Mah. Rela mengurus bayi yang bukan darah dagingmu."
Sebegitu tulusnya mamah menerima bapak dengan segala masa lalunya. Bahkan, menurut cerita mamah, hampir tiap pagi mamah itu harus mandi setiap mau salat subuh karena diompolin oleh kakak tiriku. Sedari bayi mamah yang mengurus keperluan kakakku, bahkan tidur pun mamah yang ngelonin. Wajar jika kakakku akhirnya sangat dekat bahkan memanggil mamah dengan panggilan mamah. Kata mamah, saking kakakku itu masih suka ngompol sampai usia sekolah dasar, sampai-sampai ada sekitar tiga kasur rusak akibat seringnya diompolin.
Namun yang paling membuat mamah sedih adalah saat kakak tiriku itu berusia kurang lebih dua belas tahun, tiba-tiba ibu kandungnya hadir kembali dan membawanya pergi untuk tinggal bersamanya. Meski kakakku itu tidak lahir dari rahim mamah, tapi hati ibu mana yang tidak merasakan kesedihan saat sedari kecil anak yang susah payah dirawatnya, tiba-tiba setelah besar diambil begitu saja oleh seseorang yang secara biologis memang dia adalah ibunya. Tapi ke mana saja dia selama hampir dua belas tahun itu, saat anaknya butuh kasih sayang, saat anaknya mau tidur dan minta dikelonin, atau saat anaknya butuh ASI-nya?
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati mamah saat itu. Bahkan, tidak cukup sampai di situ. Saat kakakku kembali ke rumah dalam rangka berkunjung atau sekadar minta uang jajan ke bapak, ternyata saat bertemu lagi dengan mamah, dia tidak lagi memanggil mamah dengan sebutan mamah seperti saat dulu dia masih kecil. Kakakku itu memanggil mamah dengan sebutan "bibi".
"Ya Allah, betapa hancurnya hatimu saat itu ya, Mah. Anak yang kamu sayangi sejak bayi, anak yang kamu curahi dengan kasih sayang meski tidak terlahir dari rahimmu, tahu-tahu saat dia datang lagi justru memanggilmu dengan sebutan bibi."
"Hmm, kenyataan ini pasti berat ya, Mah. Meski seiring berjalannya waktu kamu mampu menyembuhkan lukamu. Kamu selalu berhasil menyembuhkan lukamu, Mah. Aku sangat tahu itu. Meski mamah tidak pernah menceritakannya kepadaku, tetapi sebagai anak, aku tahu bahwa ada banyak luka yang harus mamah tanggung selama menjalani kehidupan berumah tangga bersama bapak. Tetaplah sabar, Mah. Kelak kesabaranmu pasti berbuah manis. Sebab Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar.
ۗ اِÙ†َّ اللّٰÙ‡َ Ù…َعَ الصّٰبِرِÙŠْÙ†َ
..."Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 153)
Payakumbuh, 17 Desember 2024
0 Comments: