Benarkah Bansos dan Subsidi Hilangkan Derita Kenaikan PPN?
Oleh. Endang Mulyaningsih
SSCQMedia.Com-Tahun baru disambut rakyat Indonesia dengan pajak baru. Rakyat kecil tentu resah. Naiknya pajak berarti makin menambah beban kehidupan mereka.
Keberatan dan protes terkait hal itu pun disampaikan berbagai kalangan. Kebijakan kenaikan PPN ini dianggap tidak prorakyat. Naiknya PPN akan makin mempersulit hidup rakyat.
Menanggapi maraknya kritikan atas kebijakan tersebut, pemerintah mengubah kebijakannya. Namun, bukan membatalkan kenaikan pajak, melainkan hanya mengenakannya pada barang tertentu. Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa kenaikan PPN sebesar 12 persen hanya diberlakukan terhadap barang dan jasa mewah. Adapun untuk barang dan jasa selain yang tergolong mewah, tidak ada kenaikan PPN. Keputusan ini dikatakan dalam rangka mengutamakan kepentingan rakyat banyak, melindungi daya beli masyarakat dan mendorong pemerataan ekonomi (bbc.com, 1-1-2025).
Kenaikan PPN 12 persen hanya dikenakan pada barang-barang mewah, sementara barang selain itu tidak berlaku kenaikan pajak. Apakah pernyataan ini dapat memberi jaminan tidak akan berimbas pada harga barang-barang lainnya?
Rasanya sulit. Pada kenyataannya, kenaikan harga pada satu komoditas kerap kali merembet kepada yang lainnya. Untuk mengatasi adanya gejolak kenaikan harga yang akan terjadi, pemerintah mengantisipasi dengan memberikan bantuan kepada masyarakat. Pemerintah menyiapkan Bansos serta diskon biaya listrik selama 2 bulan untuk meringankan beban masyarakat.
Namun, hal itu tidaklah efektif dan hanya sebagai pelipur lara sesaat. Dengan kenaikan harga di mayoritas barang kebutuhan masyarakat, maka Bansos dan diskon listrik selama dua bulan tidak akan memberikan efek perbaikan terhadap ekonomi masyarakat.
Hal ini disebabkan kenaikan harga jauh melambung dibanding besarnya Bansos yang diguyurkan. Belum lagi Bansos ini hanya diperuntukkan orang orang tertentu bukan semua masyarakat.
Kebijakan semacam ini adalah kebijakan populis otoriter. Sifatnya hanyalah tambal sulam dan tidak menyelesaikan masalah dari akarnya. Kebijakan ini jelas ciri khas dari penerapan sistem Kapitalisme yang saat ini dipraktikkan di negeri ini.
Terlebih lagi, dalam sistem Demokrasi Kapitalisme, pajak merupakan sumber pokok pendapatan negara yang utama. Pemerintah melakukan berbagai cara untuk menggenjot sektor pajak sedemikian rupa. Berbagai celah dimanfaatkan agar pajak dapat diterapkan sehingga pendapatan negara meningkat.
Negara bahkan tak ragu menarik pajak dari rakyatnya sendiri hingga dalam jumlah yang sangat tinggi. Rakyat seperti diperas dengan berbagai pajak yang memberatkan. Pajak dari keringat rakyat itu digunakan untuk membiayai roda kehidupan negara ini dan membiayai program pemerintah.
Meskipun pemerintah sudah memungut pajak dari rakyat, nyatanya imbal balik yang didapatkan rakyat tidak sebanding. Sering kali didengungkan bahwa pajak untuk kepentingan bersama.
Berbagai pembangunan dapat dilakukan bila rakyat membayar pajak dengan taat. Namun, ternyata tidak demikian. Rakyat tetap kesulitan dalam mengakses kebutuhan pokoknya. Berbagai fasilitas yang katanya untuk rakyat, ternyata juga terbatas alias harus membayar dengan mahal.
Belum lagi ternyata pajak dijadikan lahan korupsi yang empuk. Korupsi yang seolah membudaya telah merambah ke seluruh sendi-sendi kehidupan negeri ini. Di mana di situ ada uang, di situlah korupsi turut ambil bagian, termasuk dalam perpajakan.
Dari waktu ke waktu kondisi ini terus berulang dan tidak pernah ada solusi tuntas yang diberikan. Sistem saat ini jelas tak mampu menyelesaikan persoalan, malah menjadi sumber masalah dan penderitaan di tengah masyarakat.
Kembali pada Islam
Sebagai muslim, sudah seharusnya kita mengembalikan dan mencari solusi setiap permasalahan kehidupan pada Islam. Kita meyakini bahwa Islam memiliki semua solusi bagi semua permasalahan hidup manusia.
Berkaitan dengan pajak, Islam menetapkan syariat bahwa pajak bukan sumber pendapatan negara yang utama. Pajak memang ada, tetapi hanya diberlakukan dalam keadaan mendesak. Ketika kas negara kosong, sementara ada kondisi darurat yang harus segera diatasi, dan kewajiban negara memenuhi kebutuhan pokok rakyat terhambat sehingga dikhawatirkan muncul kemudharatan ( bahaya) maka pajak dapat diambil dari rakyat.
Penarikan pajak itu juga tidak diterapkan atas semua kalangan. Pajak hanya diambil dari mereka yang mampu atau kaya. Selain itu, pemberlakuan pajak juga tidak terus-menerus (temporer). Ketika kas negara sudah terisi, kebutuhan darurat terpenuhi, maka pajak akan dihentikan.
Berkaitan dengan kepemimpinan, Islam menjadikan penguasa sebagai _raa'in_ yang berkewajiban untuk mengurusi semua urusan rakyatnya. Dalam hal ini, negara bertugas memenuhi kebutuhan rakyatnya. Negara wajib mengurusi setiap urusan rakyatnya sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam adalah penggembala, dia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya." (HR. Bukhari).
Profil pemimpin seperti digambarkan Islam ini yang akan menentukan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Pemimpin yang seperti itulah yang diinginkan dan dibentuk dalam Islam.
Dalam menyelenggarakan negara dan mengurusi kebutuhan rakyatnya, Islam mengajarkan bahwa sumber pendapatan yang bisa dimasukkan dalam _Baitulmal_ banyak sekali. Di antaranya adalah dari pos zakat, sumber daya alam yang melimpah, kharaj, jizyah, fai', ghanimah, dan sebagainya.
Sumber pemasukan tersebut sangat mencukupi sehingga negara akan mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya secara mandiri. Dengan begitu, negara tidak akan melakukan pungutan yang akan menyusahkan rakyat.
Harusnya para penguasa muslim mengambil dan menerapkan sistem Islam ini sebagai solusi menyelesaikan carut marutnya kondisi kita saat ini.
Semoga Allah membukakan hati para pemimpin untuk mau mengambil dan menetapkan Islam dalam bernegara. Wallahualam biasawab. [ry].
0 Comments: