Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com-Di dunia yang didominasi oleh kapitalisme, kemiskinan sering kali menjebak individu. Kemiskinan membatasi akses mereka terhadap pendidikan berkualitas yang seharusnya menjadi jalan penting untuk keluar dari kemiskinan. Munculnya kisah seorang siswa di Kota Medan yang harus belajar di lantai karena memiliki tunggakan SPP selama tiga bulan menjadi representasi bagaimana kapitalisme telah merasuki dalam ruang pembelajaran. Ketika aspek finansial lebih mendominasi daripada perhatian terhadap kebutuhan dan hak-hak siswa, risiko penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak sekolah atau institusi pendidikan pun dapat meningkat.
Peristiwa menyakitkan yang dialami oleh seorang siswa kelas IV di Sekolah Dasar Yayasan Abdi Sukma di Kota Medan, Sumatera Utara, mencuat ke permukaan setelah video siswa tersebut menjadi viral di media sosial. Hal tersebut terjadi karena anak tersebut terpaksa duduk di lantai kelas akibat tunggakan biaya sekolah selama tiga bulan. Video tersebut menarik perhatian berbagai pihak, termasuk di antaranya Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, yang mengkritisi tindakan guru yang dianggap tidak etis dan melanggar prinsip-prinsip pendidikan yang menegaskan hak-hak siswa. Hetifah menekankan pentingnya pendidikan yang bermartabat sesuai dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Hetifah juga menyoroti peran pendidikan sebagai tanggung jawab sosial dalam membangun generasi bangsa. Dia menekankan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik di sekolah, termasuk sekolah swasta demi mencegah diskriminasi yang merugikan hak pendidikan anak. Komisi X berharap kasus ini menjadi peringatan untuk memperkuat pengawasan, memastikan akses pendidikan yang bermartabat bagi semua siswa, dan mendorong Pemerintah Daerah memberikan bantuan biaya pendidikan atau subsidi bagi siswa dari keluarga kurang mampu. (Kompas.com/read, 2025/01/12).
Pendidikan merupakan hak asasi setiap individu yang seharusnya dapat diakses oleh siapa pun tanpa adanya diskriminasi. Sanksi yang diberikan oleh guru mencerminkan ketidakadilan yang mendasari sistem pendidikan yang terkapitalisasi. Ketika akses terhadap pendidikan kualitas bergantung pada kemampuan finansial, siswa dari latar belakang ekonomi kurang beruntung dapat terpinggirkan dan dipermalukan akibat kondisi di luar kendali mereka. Dan dengan menempatkan seorang anak dalam posisi merendahkan seperti duduk di lantai sebagai hukuman atas tunggakan SPP tidak hanya melukai harga dirinya, tetapi juga dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan emosionalnya.
Pengalaman tersebut dapat menciptakan stigma dan trauma yang melekat pada anak, dan dapat mempengaruhi kepercayaan diri dan motivasi belajarnya. Oleh karena itu, penulis setuju dengan langkah yang diambil Ketua Komisi X DPR dalam mengkritisi peristiwa tersebut dan mendesak pihak terkait, seperti pemerintah daerah untuk menangani kasus ini dengan serius. Dan penting untuk memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas yang tidak terkendala masalah finansial.
Namun, dalam sistem kapitalisme yang mementingkan nilai pasar, persaingan, dan kepemilikan swasta, baik itu dalam sumber daya alam hingga termasuk dalam bidang pendidikan. Sementara janji kemakmuran yang digaungkan kapitalisme sering kali harus dibayar dengan harga yang mahal. Akibat sebagian orang hidup dalam kelimpahan, banyak yang lain terperangkap dalam belenggu kemiskinan. Karena telah menjadi sifat dasar kapitalisme, dengan fokusnya pada keuntungan dan persaingan, kian memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin.
Salah satu konsekuensi kapitalisme yang paling mencolok adalah hambatan yang ditimbulkannya terhadap akses terhadap pendidikan berkualitas. Kendati masyarakat menyadari bahwa pendidikan itu adalah tiket mereka menuju kehidupan yang lebih baik, gerbang menuju masa depan yang lebih cerah, tetapi bagi mereka yang terjerat dalam kemiskinan, gerbang ini tetap tertutup rapat. Biaya pendidikan yang sangat mahal, ditambah dengan keterbatasan sumber daya di masyarakat kurang mampu, menciptakan hambatan yang tidak dapat diatasi bagi mereka yang ingin terbebas dari belenggu kemiskinan. Siklus ini terus berlanjut hingga menjadi lingkaran setan yang tak berkesudahan.
Selain itu, penyerahan pendidikan kepada sektor swasta merupakan salah satu faktor yang terkait dengan prinsip-prinsip ideologi tersebut. Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme, pemerintah jarang ikut campur dalam penyediaan pendidikan dan lebih mengandalkan swasta yang fokus pada profit. Pengabaian sistemik terhadap kebutuhan pendidikan dalam kerangka kapitalis semakin memperburuk dilema ini, membuat banyak orang merasa tidak berdaya dan putus asa. Jadi, ke mana masyarakat yang kecewa harus mencari pertolongan di saat mereka membutuhkan? Sementara negara menutup mata terhadap penderitaan rakyatnya demi keuntungan ekonomi.
Islam Menangani Masalah dalam Bidang Pendidikan
Dalam Islam, pendidikan dipandang sebagai kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena itu, negara dalam Islam bertanggung jawab penuh dalam menyediakan pendidikan secara gratis bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang status sosial atau kekayaan. Hal ini didasari oleh sistem ekonomi Islam yang sangat adil, berbagai sumber pemasukan negara terdiri dari fai dan kharaj, kepemilikan umum, serta zakat. Dimasukkan ke dalam baitulmal atau "kas negara" dalam tata pemerintahan Islam. Baitulmal berperan sebagai lembaga untuk mengelola, menyimpan, dan mendistribusikan harta benda umat secara adil dan efektif.
Sedangkan dana yang terhimpun di baitulmal digunakan untuk berbagai kepentingan publik, seperti kesehatan, termasuk dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, seluruh aspek pendidikan akan berada di bawah pengawasan negara. Kondisi ini menjamin penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
Oleh karena itu, dengan menerapkan sistem pendidikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, permasalahan seperti siswa yang dihukum karena keterlambatan pembayaran akan tereliminasi, karena dalam Islam pendidikan bukanlah alat untuk komersialisasi, melainkan sebagai sarana yang memenuhi hak setiap individu atas pengetahuan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, penting bagi kita untuk bersama-sama menelusuri akar permasalahan utamanya, yaitu kapitalisme. Dan edukasi tentang bahaya kapitalisme khususnya dalam ranah pendidikan menjadi krusial, agar masyarakat semakin memahami bahwa kapitalisme hanya memberi banyak dampak negatif dalam setiap sendi kehidupan, dan salah satunya adalah mengubah nilai pendidikan menjadi semata-mata transaksi finansial. Dan perubahan yang substansial hanya akan terjadi jika kita menerapkan prinsip-prinsip Islam secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah, yang peduli terhadap kesejahteraan seluruh individu di dalamnya. Sehingga kasus diskriminasi seperti ini tidak akan terjadi lagi di masa depan. Wallahualam. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: