Kisah Inspiratif
Di Antara Dua Ibu
Oleh. Rita Mutiara
SSCQMedia.Com-
Pertama kali saya berjumpa dengan ibu kandung pada usia sembilan tahun. Saya terharu, ketika merasakan pelukan erat seorang wanita sambil terisak menangis dan mengatakan, “Saya Mama kandungmu.”
Saya menatap dengan bingung setelah wanita itu melepas pelukannya. Perasaan saya saat itu tidak menentu, usia saya yang masih anak-anak sulit memahami pengakuan bahwa dia ibu kandung saya, padahal baru pertama bertemu.
Setelah pertemuan dengan ibu kandung, membuat saya selalu melamun. Saya mempertanyakan, kenapa saya mempunyai dua ibu. Mengapa semua dirahasiakan. Saya menganggap ibu yang membesarkan saya selama ini adalah ibu kandung, dan kakak perempuan yang selalu menyayangi saya adalah kakak kandung. Ternyata mereka adalah ibu tiri dan kakak tiri saya. Perlakuan mereka selama ini pada saya bukan hanya sayang, tetapi saya dimanja.
Ah! Siapa juga yang membuat stereotipe ibu tiri jahat? Peneliti menyebut stereotipe ibu tiri jahat lahir di istana kekaisaran Roma dari tulisan seorang sejarawan. Salah satu cerita yang kemungkinan menjadi asal-usul ibu tiri yang jahat adalah cerita tentang kekaisaran Roma kuno dan seorang tokoh ikonik, yakni Livia Drusilla, istri kedua Kaisar Caesar Augustus. Lagi-lagi budaya Barat yang menyesatkan sehingga merugikan kaum wanita yang berstatus ibu tiri. Pembahasan cerita saya agak menjauh, tetapi saya ingin mengatakan bahwa tidak semua ibu tiri kejam.
Saya terhibur ketika ibu dari seorang teman saya mengatakan,
“Ibu juga sama, punya ibu tiri. Jadi saudara ibu ada yang seayah tetapi lain ibu.”
Gaya bicara ibu sahabat saya itu, menekankan, bahwa apa yang saya alami, dialami juga oleh orang lain. Jadi tidak perlu merasa janggal atas peristiwa yang saya alami. Perkataan ibu teman saya cukup membantu, saya tidak mempertanyakan lagi, kenapa saya mengalami cerita seperti ini? Saya mulai menerima sepenuhnya, kalau saya punya dua ibu dan bapak menikah dua kali.
Namun, hanya bertemu beberapa kali dengan ibu kandung karena ibu kandung dan suaminya pindah ke Bandung, sehingga lama kami tidak bertemu.
Ucapan permintaan ibu kandung saya yang terakhir mengatakan, “Kalau kamu sudah besar cari Ibu, ya?” Saya hanya menjawab dengan mengangguk perlahan.
Dalam Islam diperintahkan untuk berbuat baik kepada ibu yang telah mengandung kita. Tujuh tahun kemudian, tiba-tiba ibu kandung menjemput saya untuk berlibur ke rumahnya di Bandung. Maka ketika bapak menyuruh saya mengikuti ajakan ibu untuk berlibur, saya menurut. Walaupun ibu kandung tidak membesarkan, tidak menyekolahkan dan tidak hadir ketika saya dalam kesulitan, tetapi karena ibu telah mengandung saya selama sembilan bulan dan Allah menyuruh untuk selalu berbuat baik, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an Surat Luqman ayat 14, maka saya taat.
Liburan semester berikutnya, saya mengunjungi ibu di Bandung tanpa dijemput. Saya pergi tidak sendiri, tetapi bersama dua sahabat saya. Di Bandung banyak saudara yang bisa saya kunjungi. Saya ke rumah nenek terlebih dahulu yang rumahnya di pinggir jalan besar, jadi tidak sulit untuk ditemukan. Baru kemudian ke rumah ibu yang rumahnya di dalam gang.
Rumah ibu ada di tengah kota Bandung di gang kecil. Untuk mencapai ke rumah ibu, ada lima jalan. Dua jalan aspal yang tidak terlalu besar, lalu masuk gang dan beberapa belokan yang harus dilalui untuk sampai di rumah ibu.
Persoalannya waktu saya datang ke rumah ibu untuk pertama kali, setiap hari saya jalan pulang-pergi menempuh jalan yang berbeda-beda. Kadang ibu mengajak mengunjungi saudara atau menemani ibu ke pasar. Pada dasarnya saya mudah lupa jalan sehingga pergi dan pulang menggunakan jalan yang berbeda, membuat saya bingung. Maka butuh waktu 20 menit berputar-putar mencari rumah ibu saya, bersama dua gadis teman sebaya. Namun akhirnya kami bisa sampai.
Ibu menyambut kami dengan senang, demikian juga bapak tiri saya. Kami ditempatkan di satu kamar dengan ranjang besar, cukup untuk kami bertiga. Sering bapak tiri membawakan oleh-oleh makanan yang enak sepulang kerja. Kami sangat menikmati makanan favorit di Bandung, apalagi dulu Bandung udaranya dingin membuat perut mudah lapar.
Kami bertiga memanfaatkan liburan dengan mengisi waktu jalan-jalan di kota Bandung. Mulai saat itu, saya menetapkan kewajiban untuk mengunjungi ibu setiap liburan sekolah. Saya bisa merasakan betapa ibu merindukan saya dan betapa bahagia ibu bertemu saya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا النَّا سُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّا حِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَا لًا كَثِيْرًا وَّنِسَآءً ۚ وَا تَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهٖ وَا لْاَ رْحَا مَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 1)
Saya selalu merasa lapang, bila saat liburan berkunjung ke rumah ibu. Bersyukur pada Allah telah memberi kesempatan bagi saya, untuk menjalin hubungan cinta dengan wanita yang telah melahirkan saya, walaupun karakter ibu kandung saya berbeda dengan ibu tiri saya. Ibu kandung saya pedagang yang menyicilkan barang kepada kenalannya, sehingga ibu saya sering ke luar rumah. Orangnya keras dan tegas, suaranya lantang, gerak tubuhnya sangat gesit. Raut wajahnya sama dengan saya, tetapi bentuk tubuhnya berbeda. Warna kulitnya berbeda, saya putih seperti bapak, sedangkan kulit ibu kecoklatan.
Orang bilang saya lembut, tetapi saya bisa berkata tegas. Baru saya sadari, mungkin karena gen dari ibu, saya bisa marah dengan tegas. Ceritanya begini,
Saya baru saja pindah di sebuah rumah kontrakan dengan suami dan anak saya yang masih bayi. Di sebelah kontrakan saya ada rumah kontrakan yang ditempati dua orang mahasiswa. Rumah kami berdempetan, sehingga suara yang berasal dari kontrakan sebelah akan terdengar ke rumah saya. Suatu malam mereka seperti sedang latihan drama dengan menggunakan pengeras suara. Kemudian terdengar mereka menyanyi diiringi musik dengan suara keras. Saya dan anak bayi saya terganggu, tetapi saya bersabar dan berniat untuk menegur keesokan hari.
Betapa saya terkejut ketika waktu menunjukkan pukul delapan pagi, mereka menyanyi sambil mengenakan celana dalam dan beha di beranda rumah, bibir mereka bergincu merah padahal mereka laki-laki semua. Tidak ada toleran bagi kaum terlaknat, segera saya marah dengan suara lantang. Intinya saya terganggu dengan suara musik yang keras, sehingga saya dan bayi saya tidak bisa tidur. Saya ancam mereka untuk lapor pemilik kontrakan dan Pak RT.
Rupanya gertakan saya cukup berhasil, keesokan hari mereka pindah rumah dengan mengangkut semua barang-barang mereka. Melihat kejadian tersebut saya terpaku, kemarahan saya ternyata membuahkan hasil. Saya langsung teringat ibu kandung saya yang memang mampu marah segarang itu, karakter tersebut tidak dimiliki oleh ibu tiri saya yang lembut. Alhamdulillah Allah telah menolong saya untuk melawan kemungkaran. [Ni]
0 Comments: